Meraba Arah Sistem Pileg 2024 Lewat Diskusi WAG

Foto: Dicomot dari WAG “King Gladiator”

Sistem Pemilu Legislatif  2024 sebentar lagi dieksekusi MK. Rupanya situasi ini membuat gamang Caleg yang sejak awal siap tempur dengan sistem proporsional terbuka. Kondisi serupa ternyata juga membuat puyeng hakim MK. Kegamangan itu nampak dari pertanyaan Saldi Isra ke ahli dalam sidang MK yang banyak dikutip media.

Saldi meminta ahli yang diajukan Pemohon untuk melepaskan sementara pandangan serta keyakinannya akan keunggulan sistem proporsional tertutup dan menjelaskan waktu yang tepat untuk perubahan dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup.

Menurut Saldi dibutuhkan waktu yang tepat untuk melakukan perubahan demi menghindari turbulensi yang terjadi secara tiba-tiba mengingat pemilu sebentar lagi dengan persiapan yang hampir rampung.

Bila pernyataan Saldi bisa dipandang mewakili mayoritas Majelis Hakim MK yang menyidangkan permohonan ini  maka bisa diduga MK akan mengambil jalan kompromi dengan mempertahankan sistem lama dengan kemungkinan diikuti klausul pembatasan hanya untuk Pemilu 2024 untuk mempersiapkan transisi menuju sistem proporsional tertutup pada Pemilu berikutnya.

Sementara di WA Group terjadi perdebatan sengit mengenai plus–minus sistem proporsional terbuka versus proporsional tertutup yang belakangan memunculkan gagasan pentingnya menimbang hybrid sistem.

Terkait hybrid sistem ini beredar di WA Group skema sistem pemilu yang oleh beberapa kalangan dipandang sebagai wujud kompromistis. Pesan apa yang ingin disampaikan, apakah ini bocoran putusan MK, atau justru bertujuan membangun opini untuk mendikte putusan MK yang sebentar lagi akan dibacakan.

TERKAIT:  Kasus Mangkrak, PH Korban Penipuan 2,4 Miliyar Kembali Pertanyakan Kinerja Polres Banggai

Skema sistem Pileg yang beredar ini menurut analis politik yang merupakan alumni Fisip Unhas, Herman Lilo dalam diskusi WA Group “King Gladiator” adalah, “Model Mixed Member Propostional mengikuti New Zealand. Selain New Zealand sistem yang sama juga diterapkan di Jerman”.

Diskusi yang berlangsung seru ini awalnya dipantik Presidium KAHMI Maros yang juga seorang akademisi, Dr. Azhary Ismail, S.E.,M.Si yang akrab dipanggil Ryand lewat isu kemungkinan pemberlakuan mixed sistem sebagai jalan kompromi antara pendukung proporsional terbuka dengan proporsional tertutup.

Isu yang diumpan Ryan mendapat tanggapan serius Lilo dengan menjelaskan kerumitan pelaksanaan model hybrid di saat injury time. Begini pandangan Lilo: “Kerumitan Sistem Ganda Campuran ini karena satu pemilih memiliki dua hak suara (one man two vote), suara untuk partai politik (party vote) kemudian suara untuk memilih caleg (electorate vote). Untuk pemilih logo partai bisa saja berbeda dengan partai asal Caleg. Akibatnya limpahan suara partai ini menjadi jatah nomor urut 1 (putra mahkota)”.

Bila alasan kerumitan yang menjadi penyebab penolakan mixed sistem, mengapa pilihannya tidak sekalian pada sistem proposional tertutup yang jauh lebih simpel.

Berdasarkan data, Pemilu 2019 menjadi bukti betapa sistem proporsional terbuka mengakibatkan jumlah suara tidak sah mencapai 17.503.953, atau setara 11,12%. Selain masalah suara tidak sah proses perhitungan memakan waktu lama karena harus menghitung dan mencatat nomor calon atau nomor partai dan meletakkan pada kolom yang benar.

TERKAIT:  Personal Branding dan Ancaman Terhadap Kualitas Leadership dalam Pilkada Langsung

Pengajar Hukum Tata Negara pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STH Indonesia Jentera) Fritz Edward Siregar, selaku ahli yang dihadirkan Pemohon di depan Majelis Hakim Mk dalam sidang pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjelaskan panjang lebar kelemahan sistem proporsional terbuka yang selain menyangkut surat suara tidak sah juga terkait potensi manipulasi suara: “Potensi manipulasi suara rentan terjadi pada proses perhitungan suara dalam proses pencatatan pada kolom nama calon atau nama partai. Dalam proses rekapitulasi, persoalan yang sering terjadi di TPS pada saat rekapitulasi adalah perpindahan suara dari satu calon kepada calon lain dalam satu partai.” Dikutip dari https://www.mkri.id/index.php?

Kembali ke sistem proporsional terbuka, sistem ini diberlakukan sejak masa reformasi untuk mengurai benang kusut yang membelit partai karena dominannya elit partai yang mengakibatkan ruang partisipasi politik masyarakat diamputasi. Namun di luar dugaan pemberlakuan sistem proporsional terbuka mengakibatkan kotak pandora menganga dan menyemburkan permasalahan yang tidak kalah rumitnya.

Setelah melewati empat kali pemilu, borok sistem proporsional terbuka tumpah ke mana-mana. Politik uang yang marak dan tak terkendali dari pemilu ke pemilu melahirkan wakil rakyat yang tak memahami peran serta kewajibannya. Bermodal popularitas dan logistik yang melimpah sejumlah pesohor dan pedagang melenggang ke panggung politik tanpa pernah bersinggungan dengan aktivitas politik sebelumnya. Akibatnya parlemen didominasi pebisnis, selebriti serta makelar yang tak memahami tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat.

TERKAIT:  Demokrasi dan Eksistensi Kotak Kosong dalam Pilkada

Peran partai politik untuk menentukan anggota legislatif yang cakap dan berintegritas lewat sistem proporsional tertutup dirampas melalui persaingan brutal di lapangan. Aturan dengan sanksi berat, peran pengawas pemilu hingga keterlibatan aparat penegak hukum di lapangan tak mampu membendung politik uang yang bersambut dengan keinginan sebagian masyarakat membuat pemilu tak ubahnya pasar taruhan yang dilegalkan.

Desakan publik untuk mengubah sistem pemilu agar lebih bermartabat untuk melahirkan wakil rakyat yang kompeten dengan memperbesar ruang partai politik dihadang dengan argumen realitas oligarki partai yang hanya akan menggeser politik uang dari transaksi langsung dengan pemilih ke jual beli nomor urut yang dikendalikan partai.

Kemungkinan besar transaksi nomor urut Caleg dalam sistem proporsional tertututp sulit dipungkiri namun partai akan sangat hati-hati karena di bawah sorotan publik kualitas Caleg usungan partai tidak bisa disembunyikan. Potensi partai akan ditinggalkan pemilih karena mengabaikan tuntutan publik hingga ancaman kembali ke sistem proporsional terbuka akan memaksa partai berjalan sesuai koridor.

Lantas ke mana arah putusan MK akan berpihak?

Menanggapi pertanyaan ini, Lilo sepakat, melihat tingkat kerumitan serta waktu yang tersisa, MK akan mengambil jalan aman dengan tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan catatan hanya untuk Pemilu 2024 sebagai transisi menuju sistem proporsional tertutup pada pemilu berikutnya.