Terlibat percakapan dan perdebatan di dua Grup WhatsApp IKA Unhas terbersit kecemasan melihat keinginan sejumlah kawan alumni yang terobsesi menempatkan alumninya pada posisi politik tertentu serta jabatan strategis di pemerintahan karena harapan bisa membantu alumni sekaligus mengangkat nama baik serta gengsi Unhas hingga setara dengan universitas besar lainnya di Indonesia.
Cara pandang yang melihat jalur politik sebagai jalan pintas yang efektif untuk berkontribusi pada sesama alumni dan almamater dinilai tidak terlalu relevan untuk konteks hari ini serta ke depannya.
Melihat politik sebagai jalan pintas selain tidak realistis mengingat organisasi alumni bukan entitas tunggal yang pilihan politik anggotanya mudah diarahkan juga berpotensi berakhir tragis. Bisa dibayangkan karena harapan kelak bisa berkontribusi ke alumni dan almamater lalu kita support ramai-ramai ke panggung politik justru bisa menjebak yang bersangkutan dalam praktik kejahatan karena tersandera tuntutan balas jasa.
Mumgkin ada baiknya gagasan itu dicermati ulang karena: Pertama, apa yg kita keluhkan tidak jauh beda dengan keprihatinam alumni universitas besar lainnya termasuk alumni luar negeri. Pengangguran merupakan momok di negeri ini. Kedua, martabat dan nama besar Unhas tidak hanya ditentukan oleh jabatan politik alumninya melainkan salah satunya terlibat dalam isu penyelamatan bumi yang sedang digarap secara global.
Hari ini publik internasional memiliki agenda bersama untuk menjaga bumi dari ancaman kehancuran dini akibat kebijakan yang keliru pemerintah suatu negara hingga tingkah laku norak pejabat publik, elit politik dan kaum jet-set. Ke depannya pemimpin dunia dan masyarakat global bersinergi melindungi bumi termasuk dalam hal pemberian sanksi pada prilaku tak ramah lingkungan, terutama pemimpin negara dan pejabat publik yang berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem.
Kosa kata milenial Amerika dan Eropa hari ini bukan lagi pada isu kebebasan melainkan bergeser ke isu kepedulian lingkungan. Kaum milenial cemas akan bahaya pemanasan global yang mengancam masa depan mereka sehingga selalu waspada dan sangat protektif terhadap segala hal yang berpotensi menghancurkan ekosistem termasuk menolak produk berbahan baku yang berasal dari aktivitas tak ramah lingkungan.
Disahkannya peraturan larangan impor produk turunan minyak sawit dan minyak kedelai yang terkait deforestasi oleh Uni Eropa tidak lepas dari tekanan publik di negara tersebut yang menghendaki praktik pengrusakan lingkungan yang berlangsung tanpa kendali dihentikan. Di Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi jutaan hektar hutan disulap menjadi lahan sawit.
Dalam konteks dimana bumi laksana biduk raksasa tempat seluruh warga dunia berlayar bersama menuju tanjung harapan kesalahan kecil satu orang berpotensi membuat perahu tenggelam tidak bisa ditolirer. Politisi dan pejabat publik yang mengoleksi moge serta mobil mewah dengan konsumsi bahan bakar fosil dalam jumlah besar di tengah kemacetan Jakarta adalah bajingan tengik yang mempercepat terjadinya kerusakan ekosistem yang berkontribusi langsung terhadap pemanasan global.
Sebaliknya seorang anak muda belasan tahun berkeliling eropa mengingatkan para pengambil kebijakan akan bahaya pemanasan global adalah pahlawan bagi penduduk bumi. Siapa berani membantah kalau Greta Thunberg lebih populer dan dielu-elukan masyarakat dunia dibanding presiden Amerika atau pimpinan tertinggi negara Uni Eropa.
Bila anak muda belasan tahun mampu mencuri perhatian dunia karena aksi mulianya, mengapa Unhas tidak menceburkan diri secara serius dalam isu ini.
Bukankah dengan terlibat dalam agenda global penyelamatan bumi Unhas sekaligus bisa menunjukkan eksistensinya sebagai universitas kelas dunia, setidaknya dalam hal keseriusannya dalam isu penyelamatan lingkungan.