Sidang terdakwa pengguna atau pemakai sertifikat palsu Eks Kebun Binatang kembali digelar di Pengadilan Negeri Makassar hari ini, Rabu, 28 September 2022 dengan agenda pembacaaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang pada persidangan sebelumnya tidak hadir karena sakit.
Menanggapi dakwaan JPU, Andi Azis Maskur, S.H., Ketua Tim Penasihat Hukum (PH) terdakwa Ernawati Yohanis (EY) meminta kesempatan pada majelis hakim untuk menyampaikan nota keberatan (eksepsi) pada sidang berikutnya.
Sebelum disampaikan secara resmi pada persidangan berikutnya, Andi Azis berkenan membocorkan pada awak media materi eksepsi PH terdakwa untuk diketahui publik karena menurutnya sejak awal kasus Eks Kebun Binatang sudah menjadi perhatian publik.
Andi Azis yang sejak awal mendampingi terdakwa EY melihat penetapan tersangka “dipaksakan”. Dugaan menggunakan atau memakai sertifikat palsu berawal ketika terdakwa EY menerima kuasa dari Ahimsa Said (terdakwa dengan berkas splitsing), ahli waris M. Said pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) 2412 tahun 1984 yang obyeknya terletak di Kelurahan Karuwesi Utara atau lebih dikenal sebagai lahan Eks Kebun Binatang seluas 59.699 m2. Selaku penerima kuasa dari ahli waris M. Said terdakwa EY mengajukan permohonan secara resmi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar untuk mengecek Sertifikat 2412 atas nama M. Said atas saran pihak BPN setelah sebelumnya berulangkali melakukannya secara informal.
Karena tidak memperoleh jawaban resmi, atas saran serta penjelasan beberapa pihak terdakwa EY mengetahui adanya kewenangan pembatalan sertifikat yang dapat dilakukan di luar mekanisme pengadilan. Selanjutnya terdakwa EY mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri atau Kementerian ATR/BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 110 jo. Pasal 108 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999 berupa Permohonan Bantuan Pengecekan dan Pembatalan SHGB No. 20017, SHGB No.20026, SHGB 20027/ Kelurahan Karuwesi Utara atas nama PT Phinisi Multi Property yang terbit 2013 dan 2014 karena bertindih dengan SHM 2412 tahun 1984.
Sialnya, tindakan terdakwa EY mengajukan permohonan pembatalan berdasarkan aturan yang berlaku justru dijadikan sebagai bukti oleh Kepala BPN Kota Makassar yang kala itu dijabat oleh Yan Septedyas, S.T., S.H., dengan delik pengguna atau pemakai sertifikat palsu ke penyidik Polda Sulsel. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa EY meringkuk dalam tahanan Kantor Kepolisian Negara hingga saat ini.
Praktik di mana Kepala BPN sendiri bertindak sebagai pelapor langsung dalam konflik antar warga padahal BPN sendiri tidak berkepentingan langsung dengan obyek sengketa mungkin pertama kalinya terjadi di republik ini. Tindakan BPN turun langsung sebagai pelapor dan menceburkan diri sebagai pihak dalam konflik menunjukkan ketidaknetralan BPN selaku birokrasi negara yang seharusnya bersikap adil.
Dengan bertindak sebagai pelapor, BPN menjadi perpanjangan tangan pemilik modal yang merasa dirugikan kepentingannya dengan keberadaan SHM 2412 tahun 1984 yang terbit 28 tahun lebih awal dibanding SHGB milik PT Phinisi Multi Property.
“Kepemihakan” institusi pertanahan secara tidak langsung juga diakui oleh JPU dalam surat dakwaannya bahwa, “penggunaan sertifikat 2412 yang diduga palsu ini menimbulkan kerugian secara materil PT Phinisi Multi Property sebesar 762.787.000.000,- (tujuh ratus enam puluh dua milyar tujuh ratus delapan puluh tujuh juta rupiah)”.
Materi eksepsi yang dibocorkan Andi Azis pada awak media menyangkut dakwaan JPU yang menurut tim lawyer prematur. Mengutip pandangan pakar, Andi Azis menjelaskan bahwa seseorang hanya bisa dihukum atas dakwaan menggunakan surat palsu manakala yang bersangkutan benar-benar mengetahui bahwa surat yang digunakannya palsu. Pengetahuan ini penting karena unsur kesengajaan menghendaki pengetahuan dan keinginan (willen en wetten). Dengan demikian harus ada unsur pengetahuan dari orang yang mempergunakan surat palsu tersebut, seolah olah surat itu benar dan bukan palsu. Hal ini harus tergambar dalam uraian dakwaan JPU.
Apakah terdakwa EY benar-benar mengetahui SHM 2412 atas nama M. Said yang terbit tahun 1984 itu palsu atau tidak sebenarnya sudah terjawab dengan tindakan terdakwa EY mengajukan permohonan pengecekan berulangkali namun tidak memperoleh jawaban resmi dari pihak BPN. Sebaliknya tindakan terdakwa EY mengajukan Permohonan Pembatalan SHGB yang terbit belakang karena alasan bertindih dengan SHM 2412 dimungkinkan dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri atau Kementerian ATR/BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 110 jo. Pasal 108 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999.
Apakah boleh seseorang didakwa melakukan kejahatan menggunakan surat palsu padahal yg bersangkutan justru mengikuti atau melaksanakan aturan yang berlaku dengan mengajukan Permohonan Pengecekan dan Permohonan Pembatalan sesuai prosedur yang berlaku?
Atau apakah tindakan terdakwa EY melaporkan pemilik SHGB dengan dugaan pemalsuan surat ke penyidik Mabes Polri karena alasan SHGB tersebut terbit belakang di atas obyek SHM merupakan kejahatan?
Menjadikan SHM 2412 tahun 1984 sebagai dasar untuk mengajukan pengecekan atau pembatalan SHGB yang terbit setelahnya di atas obyek yang sama maupun sebagai dasar pelaporan kemungkinan terjadinya pemalsuan dalam proses penerbitan SHGB yang terbit setelahnya tidak bertentangan dengan undang-undang sehingga tidak bisa disimpulkan sebagai perbuatan menggunakan atau memakai sertifikat palsu selama terdakwa EY tidak benar-benar mengetahui kalau Sertifikat 4212 yang digunakannya palsu.
Lantas kapan akta otentik atau SHM bisa diyakini palsu atau tidak otentik?
Sebelum membahas masalah tersebut penting untuk diingatkan bahwa status SHM berbeda dengan surat lain kaitannya dengan kepemilikan tanah atau bangunan. Sebagai bukti kepemilikan yang menempati kasta tertinggi dalam hierarki alat bukti keberadaan SHM tidak mudah didelegitimasi apalagi dinyatakan palsu. Dibutuhkan prosedur yang ketat untuk memastikan SHM palsu, salah satunya harus dinyatakan terbukti lewat putusan inkrach pengadilan. Hasil uji laboratorium forensik (labfor) sekalipun tidak serta merta menjadi bukti SHM palsu karena harus terlebih dahulu diuji di depan persidangan.
Sebagai bukti kepemilikan terkuat atas tanah atau bangunan SHM harus dipandang benar sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
Tidak adanya putusan inkrach pengadilan mengenai SHM 2412 terbukti palsu atau bukti lain yg menjadi dasar keyakinan terdakwa bahwa sertifikat yang digunakannya dalam pengajuan Pemohonan Pengecekan dan Pembatalan SHGB tersebut palsu dalam konstruksi dakwaan JPU menunjukkan bahwa dakwaan JPU prematur.
Istilah prematur dalam konteks surat dakwaan menurut Azis Maskur: “secara umum bermakna dakwaan JPU disusun dan atau dibuat terlalu singkat dan terburu-buru seakan mengejar setoran padahal belum saatnya untuk diajukan ke depan persidangan”. Pendek kata apa yang dimaksud dakwaan prematur dalam konteks perkara ini adalah sebelum merumuskan dakwaan mengenai pemakaian sertifikat palsu oleh terdakwa, JPU belum menemukan bukti bahwa terdakwa benar-benar mengetahui sertifikat yang digunakannya palsu.
Tidak dihadirkannya atau dijelaskannya alat bukti yang seharusnya menjadi dasar pengetahuan terdakwa EY bahwa SHM 2412 benar-benar palsu sebelum digunakan dalam konstruksi dakwaan JPU menurut Andi Azis Maskur menjadi fakta tak terbantahkan dakwaan JPU prematur.