Foto: Dr. Jamaluddin Koedoeboen, S.H.,M.H.
Alkisah Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, Gubernur dan anggota legislatif Romawi marah besar saat seorang serdadu kembali dari cuti tapi tak bersama dua temannya. Serdadu ini pasti membunuh temannya, demikian telah diputuskan. Eksekusi pancung langsung digelar, sebab titah penguasa harus disegerakan.
Menjelang eksekusi dua serdadu yang disangka telah mati tiba-tiba muncul, komandan serdadu selaku algojo menunda eksekusi lantas menghadap sang gubernur. Di atas mimbar Piso berseru, Hukum telah ditetapkan dan keadilan harus ditegakkan walau langit akan runtuh (Fiat Justitia Ruat Caelum).
Komandan serdadu sebagai algojo akhirnya dipancung, menolak perintah penguasa adalah pembangkangan. Halnya dengan dua serdadu yang muncul belakangan ikut dieksekusi karena menjadi penyebab kematian dua serdadu serta komandannya.
Kisah ini diceritakan Seneca, penyair Romawi dalam “De Ira” (Kemarahan) yang merupakan sub judul dari naskah drama, “Piso’s Justice”. Dari kisah kelam ini adagium fiat justitia ruat caelum menjalar ke seluruh dunia dan dikutip banyak akademisi dan praktisi hukum namun mengabaikan konteks yang melatarinya.
Pesan menyangkut pentingnya kepastian dalam penegakan hukum tidak boleh didasarkan pada amarah merupakan inti kisah ini.
Drama perseteruan SYL versus Firli Bahuri dalam kasus yang melilit Kementerian Pertanian menjadi kehilangan nilai obyektivitas ketika Firli masih tetap menjabat sebagai Ketua KPK sementara kasus dugaan pemerasan menyangkut dirinya sudah berlanjut ke tahap penyidikan.
Untuk menghindari konflik of interest serta obyektivitas jalannya penyidikan sejumlah kalangan mengharapkan Firli bersikap ksatria dengan mengundarkan diri atau non-aktif sebagaimana yang ditunjukkan SYL.
Dr. Jamaluddin Koedoeboen, S.H.,M.H., yang juga alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang dikenal luas publik karena sering muncul di media nasional dan puluhan tahun berkarir di Jakarta secara blak-blakan mendesak Firli Bahuri non-aktif dari jabatannya sebagai Ketua KPK agar penyidik tidak terkendala secara teknis maupun psikologis dengan status Firli sebagai Ketua KPK.
Firli menurut Jamal seharusnya meniru sikap ksatria yang telah ditunjukkan SYL yang memilih mundur sebagai menteri ketika kasus yang diduga melibatkan dirinya sudah memasuki tahap penyidikan.
Sikap Firli yang tetap ngotot mempertahankan posisinya sebagai Ketua KPK memicu kecurigaan publik kalau yang bersangkutan berusaha berlindung dan menjadikan statusnya sebagai Ketua KPK sebagai tameng untuk mencegah kemungkinan terseret sebagai tersangka.
Dengan tetap menggengam kekuasaan sebagai Ketua KPK, Fitli memiliki kewenangan bertindak subyektif serta berpotensi mengabaikan prinsip due process of law terhadap kasus SYL yang penyidikannya ditangani KPK.
Apa yang menjadi pesan dalam kisah di atas menjadi sangat mungkin terjadi dalam perseteruan SYL versus Firli Bahuri.
Demi mencegah kemungkinan instrumen kekuasaan sebagai Ketua KPK disalahgunakan dan keputusan diambil dalam keadaan marah pilihan terbaik Firli mundur secara ksatria atau dimundurkan dari KPK.