Putusan MK yang membolehkan seseorang yang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi capres maupun cawapres asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah tak ayal memperkuat kecurigaan publik bahwa sejak awal pengajuan masalah ini ke MK bagian dari skenario meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra tertua Jokowi yang sementara menjabat Wali Kota Solo sebagai cawapres yang baru berumur 36 tahun.
Kecurigaan publik bahwa pengajuan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) mengenai batas minimal usia capres dan cawapres jauh hari sudah diperdebatkan untuk menghindarkan MK dijadikan instrumen politik untuk mempertahankan dinasti politik kekuasaan.
Direktur Setara Institute, Hendardi tanpa tedeng aling-aling menyebut pengajuan uji materi ini sarat akan nuansa politik, utamanya kepentingan dinasti politik keluarga Presiden Jokowi. Dikutip dari Kompas,com: “Sebagai open legal policy, kata Hendardi, batas usia capres-cawapres seharusnya diatur oleh presiden dan DPR sebagai institusi yang berwenang membuat undang-undang”.
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia open legal policy merupakan bentuk kebebasan pembuat undang-undang dalam mengambil kebijakan dalam proses pembentukan hukum. Meskipun MK tidak menetapkan tolak ukur atau batasan suatu kebijakan mengenai open legal policy atau bukan namun faktanya dalam kasus permohonan uji materi pasal terkait parliamentary threshold, MK memutuskan sebagai bentuk open legal policy yang berada di luar domain MK yang seharusnya dikembalikan pada pembuat undang-undang untuk mengubahnya jika dipandang perlu atau bertentangan dengan prinsip demokrasi serta penghormatan pada HAM.
Putusan MK yang meskipun tidak mengubah batas umur minimal 40 tahun untuk capres dan cawapres namun dengan frasa tambahan, “pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah,” memicu debat terutama diantara pakar hukum karena putusan ini dianggap problematik.
Terdapat empat putusan terkait uji materi batas usia wapres dan cawapres dan terutama putusan terakhir dipandang memiliki cacat bawaan kerena pertimbangan putusan memuat sejumlah kontradiksi dengan tiga putusan sebelumnya. Dalam kalimat Yusril disebutnya terdapat penyelundupan hukum pada putusan yang ke empat. Untuk sementara kita abaikan dulu debat menyangkut isu ini.
Hal lain yang sejak awal menjadi perdebatan adalah soal open legal policy. Di satu sisi para pakar menganggap putusan MK tersebut keluar dari pakem karena mengabaikan open legal policy yang telah menjadi preseden. Namun di sisi lain mereka juga menyimpulkan bahwa apa pun putusan MK harus dihormati dan bersifat final.
Konsekuensi hukum putusan MK ini jika pada akhirnya dimanfaatkan misalnya oleh Gibran Rakabuming sebagai tiket melenggang maju mendampingi salah satu capres dalam kontestasi Pilpres mendatang akan membuat para pakar bingung karena akan sulit menjelaskan masalah tersebut dalam kerangka normativitas.
Bagi penganut aliran legisme yang melihat hukum sebatas tumpukan peraturan atau berpegang teguh pada asas “Lex Dura Sed Tamen Scripta” yang tidak mentolerir penafsiran hukum apapun selain dari sudut pandang tekstual cenderung mengabaikan analisis yang mengaitkan subtansi atau spirit konstitusi yang memuat prinsip demokrasi serta penghormatan pada HAM.
Dalam membedah putusan penganut legisme lebih menekankan aspek formal sebuah putusan tinimbang mempermasalahkan subtansi putusan atau pesan terselubung dibalik teks yang justru bermuatan politik untuk melanggengkan kekuasaan seperti pada putusan MK mengenai perubahan batas minimal umur cawapres.
Dalam konteks laju perkembangan masyarakat yang menuntut partisipasi politik serta regenerasi kepemimpinan nasional yang lebih cepat, usia minimal 35 bagi cawapres bukan masalah. Hanya saja momentum politik akan lengsernya Jokowi dari kursi kekuasaan setelah menjabat 2 periode tidak bisa tidak publik langsung mengaitkannya dengan upaya Jokowi melanggengkan dinasti politiknya.
Melihat gelagat yang tidak sehat bagi kehidupan demokrasi yang memanfaatkan hukum sebagai instrumen untuk kepentingan politik, Yusril meminta Gibran bersikap bijak untuk tidak mencalonkan diri sebagai cawapres meskipun pasca putusan MK peluang untuk itu terbuka.
Catatan ini tidak berpretensi menunjukkan jalan keluar terhadap situasi krusial yang dihadapi saat ini dengan keluarnya putusan MK, melainkan bermaksud menunjukkan cara berpikir positivistis yang menyulitkan bangsa ini lepas dari jebakan feodalisme maupun otoritarianisme karena para yuris sibuk memelototi hal-hal yang bersifat teknis dan prosedural.
Jika hari ini hakim MK mempertontonkan dengan vulgar bagaimana memanfaatkan hukum sebagai instrumen politik, suka atau tidak besok-besok giliran pembuat undang-undang yang menunggangi hukum sebagai alat politik untuk memuluskan kepentingannya atau bahkan menghabisi lawan politiknya lewat produk hukum.
Hal lain yang penting diberi ruang dalam membahas isu ini adalah anggapan seakan hanya bagian kasat mata dari undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi yang boleh dikoreksi MK karena proses penerbitan sebuah undang-undang bersifat partisipatif dan memperoleh legitimasi DPR sebagai representasi rakyat sehingga merupakan open legal policy yang tidak boleh lagi diutak-atik.
Melalui kewenangan uji materi yang dimilikinya MK idealnya berhak mengoreksi produk undang-undang selama secara subtansial dipandang bertentangan dengan semangat konstitusi yang mengusung pesan demokrasi, kesetaraan serta penghargaan pada hak asasi.
Hakim MK adalah corpus intelektual yang selain memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni juga dibekali kearifan dan terutama sikap tak memihak (imparsial).
Sebagai mahluk agung, publik mengharapkan putusan hakim MK berfungsi sebagai guidance bagi bangsa menuju kehidupan demokratis dan berkeadilan.
Semua ini hanya bisa diwujudkan lewat pola rekrutmen yang super ketat yang memungkinkan putra terbaik bangsa yang dalam menjalankan tugas sanggup menolak intervensi maupun tawaran walau sekadar tumpangan payung.