Sosial Media dan Matinya Kepakaran

Sosial Media dan Kepakaran

Ketika memutuskan bersosial media saya menyadari begitu banyak konsekuensi yang mungkin saya hadapi. Saya kira juga berlaku pada kawan-kawan. Dari kemungkinan akun diretas hingga dilaporkan telibat delik penghinaan atau penistaan yang berujung tuntutan hukum setiap saat menganga. Karena itu kita selalu waspada pada kemungkinan terjebak pasal bermasalah ini.

Sungguh tidak mudah menghindari jebakan ini di tengah keragaman berpikir serta sengkarut kepentingan. Tapi toh hingga hari ini kita baik-baik saja. Tak perlu cemas dengan semua itu.

Di antara orang-orang yang super sensitif dan mudah tersinggung jauh lebih banyak kawan yang tidak gampang merasa tercemar hanya karena silang pendapat atau panutannya dikritik.

Ada banyak guru besar dan profesional yang tidak ambil pusing didebat mahasiswa semester awal atau mereka yang sok tahu dengan bermodal percaya diri.

Di masa keemasan media sosial setiap pendapat berhak eksis, didengar serta berpotensi lebih baik dibanding pendapat para expert sekalipun. Terlepas dengan segala problem yang ditimbulkannya media sosial berhasil memaksa demokrasi meradikalisasi diri dan mendengar mereka yang dulu terpinggirkan oleh suara arus utama. Mereka yang selama ini terdengar sumbang dan diabaikan kembali menemukan panggung.

TERKAIT:  Darurat Covid, Antara Radikalisme Agamben dan Kecemasan Harari

Tesis ‘The death of expertise’ dari Tom Nichols sebaiknya diletakkan sebagai lonceng peringatan betapa berbahayanya kalau kepakaran dimusnahkan. Tapi tidak berarti apa yang selama ini disebut kepakaran harus kembali didudukkan sebagai satu-satunya otoritas.

Tesis ‘The death of expertise’ yang diajukan Tom Nichols sebagai respon atas prilaku publik Amerika yang mengabaikan kepakaran dan berpaling pada mereka yang sok tahu bukan khas Amerika, seluruh dunia sedang dilanda demam jenis ini. Kepakaran sedang menghadapi sakratul maut.

Ketidakpercayaan publik pada kepakaran bukan semata-mata karena kehadiran internet atau ledakan media sosial yang melahirkan prilaku narsis dimana setiap orang merasa berhak mengekspresikan diri dan merasa pantas menerima segala puja-puji.

Hilangnya kepercayaan publik pada kepakaran kata Tom Nichols juga disebabkan komersialisasi pendidikan dan jurnalisme yang buruk. Akibatnya publik beralih ke media sosial yang menawarkan kecepatan, viralitas serta kemampuan berinteraksi dengan pembacanya.

Sialnya media sosial yang memungkinkan setiap orang mengirim informasi membuat platform ini setiap saat memproduksi berton-ton sampah informasi yang dalam ‘The Third Way’ karya Anthony Giddens diibaratkan sebagai juggernaut. Truk besar atau juggernaut ini mengangkut berton-ton sampah informasi sehingga tidak bisa dibendung membuat publik sulit membedakan mana hoaks dan mana informasi yang benar.

TERKAIT:  Status Quo

Hal yang sama telah diingatkan para pakar sebagai era post truth, era di mana pendapat masyarakat tidak lagi dibentuk oleh fakta dan rasio, melainkan oleh sentimen dan kepercayaan.

Adakah kecemasan para nabi abad 21 ini membuat umat medsos stres, tidak saya kira. Kita masih baik-baik saja bukan. Saya tidak ambil pusing dengan lagak para pesohor yang wara-wiri di beranda saya. Dengan style ngangkang hingga bertingkah aneh sengaja menyerupai pengemis sambil bagi-bagi duit karena berharap subscribe sudah dianggap jamak.

Menghadapi hoaks dengan segala turunannya tidak sulit, hanya butuh menahan keingintahuan kita lebih jauh. Apa pentingnya misalnya membuka link berita dengan judul, “Malam Pertama Atta-Aurel Sewa Kamar 150 Juta Per Hari”. Dengan membaca judul beritanya kita tidak akan pernah lupa kalau ada manusia yang narsisnya sudah sampai diubun-ubun. Jika kelak kita membutuhkan beritanya tinggal menjentikkan jari google sanggup memunculkannya sebelum mata kita berkedip.

TERKAIT:  Pelajaran dari Rara

Jika butuh formula yang lebih rumit menghadapi era yang oleh para nabi kontemporer disebut dengan beragam istilah, ‘The Death of Expertise’ oleh Tom Nichols atau juggernaut dalam metafor Anthony Giddens di buku ‘The Third Way’ serta apa yang disebut Post-Truth maka tidak pilihan kecuali melipatgandakan kemampuan literasi yang kita miliki.

Apa yang disebut sebagai tradisi literasi menurut para pakar bukan sekedar kemampuan membaca, menulis dan bercakap tapi juga kemampuan memilah dan memilih informasi yang kita butuhkan dan mengubahnya menjadi tindakan sosial yang bermanfaat bagi khalayak.

Belakangan sebagian facebooker terlihat panik akibat kena tag konten terindikasi pornografi. Para korban merasa perlu membuat semacam public notice kalau semua itu terjadi di luar kendalinya.

Mengapa mesti risau pada hal-hal yang semua orang tahu adalah aib bahkan tergolong kejahatan yang tidak mungkin kita diunggah. Kalau anda merasa terganggu dengan semua itu cukup mencari informasi di google cara mengatasinya, selesai.

Saya kira sesimpel itu bermedia sosial.