Citra Danny Terlilit Tali Tambang

Berita kematian peserta lomba tarik tambang yang digelar IKA wilayah Sulawesi Selatan dalam rangka pelantikan pengurus berbuntut panjang. Media nasional seperti Kompas, Tempo dan detik merasa perlu  turun gunung memblow up kasus ini agar diketahui publik. Sebaliknya media lokal umumnya memilih tiarap, terdapat satu dua yang justru sibuk melakukan klarifikasi seakan insiden ini merupakan peristiwa biasa atau, “murni kecelakaan,” meminjam istilah Danny Pomanto dalam pernyataannya di media tidak lama setelah kejadian.

Kasus ini makin hangat seiring pernyataan yang dilontarkan Anggota Komisi II DPR-RI, Ahmad Ali yang mendesak polisi mengusut peristiwa ini. Politisi Partai NasDem asal Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah ini menganggap ada kejanggalan jika sampai polisi memberikan izin terhadap penyelenggaraan tarik tambang yang melibatkan 5.000 orang di tengah jalan beraspal.

Mengapa kasus kematian satu orang dieksplorasi sedemikian rupa oleh media nasional hingga dikomentari tokoh nasional dari luar Sulsel?

Apakah karena nama Wali Kota Makassar yang akrab disapa Danny Pomanto yang juga menjabat Ketua IKA wilayah Sulsel yang menjadi magnet bagi media. Terkait nama Danny ini rumor adanya pihak yang ingin memanfaatkan momentum tersebut untuk menggerus reputasi Danny sebagai salah satu kandidat kuat pada kontestasi Gubernur Sulsel 2024 mendatang berhembus cukup kencang.

TERKAIT:  The EndGame, Game Yang Membosankan

Tulisan ini mencoba melihat masalah ini dalam spektrum yang lebih lebar dan berusaha menghindari argumen spekulatif berbasis rumor.

Sepintas ancaman penerapan delik kealfaan dalam kasus ini tidak terlalu mencemaskan karena sampai hari ini tidak muncul keberatan pihak keluarga korban. Malah sebaliknya pihak korban tampaknya sudah ikhlas menerima kepergian almarhum dan menganggap masalah sudah selesai. Hal ini bisa dibaca pada pernyataan pihak keluarga yang meminta foto serta video korban saat kejadian tidak lagi dishare masyarakat di media sosial.

Meskipun kasus kematian akibat kealfaan umumnya diselesaikan secara adat di tingkat penyelidikan pada institusi kepolisian dengan alasan kedua bela pihak telah berdamai. Namun akan menjadi rumit bila peristiwa tersebut ikut menyerempet nama tokoh publik serta penanganan kasusnya berada di bawah sorotan media. Dalam situasi seperti itu penyidik “dipaksa” mengikuti prosedur yang berlaku. Ini terlihat pada sikap institusi kepolisian yang langsung membuat pernyataan akan melakukan penyelidikan begitu mengetahui dalam lomba tarik tambang yang diselenggarakan IKA Unhas tersebut mengakibatkan korban jiwa.
Konsekuensi pernyataan institusi kepolisian ini menjadi tidak sederhana apa lagi munculnya pernyataan Kapolsek setempat bahwa pihaknya tidak mendapat pemberitahuan meskipun belakangan pendapat tersebut dibantah pihak Polrestabes Makassar.

TERKAIT:  Perempuan Tersangka Penipuan Miliaran di Luwuk Banggai Menyebut Perempuan Lain Sebagai Aktor Intelektual

Ketika fakta baru terus bermunculan seperti tali tambang yang putus sebelum acara dimulai (Kompas.com, 19 Desember 2022) atau bukti mutakhir berupa rekaman camera CCTV yang beredar luas menunjukkan kalau korban terpental dan kepalanya membentur pembatas jalan dari beton akibat tersabet tali tambang berkecepatan tinggi makin menguatkan asumsi publik akan rendahnya standar keamanan serta keselamatan yang diterapkan panitia. Jika berdasarkan hasil penyelidikan ditemukan minimal dua alat bukti bahwa kematian terjadi akibat kealfaan atau kelalaian panitia maka upaya penghentian proses penyelidikan semakin sulit. Apalagi kalau syarat restorative justice berdasarkan aturan tidak dipenuhi.

Apa yang disebut penyelesaian dengan prioritas pemulihan kondisi korban pada keadaan semula atau restorative justice tidak secara otomatis bisa dilaksanakan hanya karena terjadi perdamaian antara pelaku dengan korban atau keluarganya.

Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif memuat aturan yang sangat ketat. Tidak cukup dengan hanya modal perdamaian antara pelaku dengan korban atau keluarganya tapi juga regulasi menetapkan syarat materil yang salah satunya menyebutkan hanya kasus yang tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan atau tidak ada penolakan masyarakat yang boleh diselesaikan lewat restorative justice.

TERKAIT:  Hari Bumi dan Antroposentrisme yang Membeku di Kepala Pejabat

Tulisan ini dibuka dengan menunjukkan intensitas pemberitaan oleh media nasional plus pernyataan Anggota DPR-RI Komisi II dari Partai NasDem tentu dengan maksud menunjukkan fakta kalau kasus ini mendapat perhatian luas masyarakat.

Meskipun demikian tafsir atas frasa, “tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan atau tidak ada penolakan masyarakat,” sepenuhnya merupakan kewenangan penyidik kepolisian. Namun penyidik akan sangat hati-hati menabrak aturan ini, karena jika sampai terjadi, penyidik tanpa sadar meletakkan preseden sebagai rujukan penyelesaian kasus setelahnya.

Terlepas kasus ini berlanjut atau diselesaikan lewat mekanisme restorative justice, citra Danny terlanjur terseret sebagai pemimpin yang tidak cakap memimpin IKA Unhas.

Sebagai wali kota, Danny bertanggung-jawab atas 1,427 juta warga Makassar yang menuntutnya bekerja secara profesional dan tidak melanggar aturan. Sementara sebagai Ketua IKA Unhas wilayah Sulsel, Danny bertanggung-jawab secara moral menjaga citra serta nama baik institusi IKA Unhas yang memiliki puluhan ribu alumni yang tersebar hingga ke pelosok.

Kematian satu warga Makassar pada kegiatan yang digelar IKA Unhas wilayah Sulawesi Selatan secara etik menghancurkan legitimasi Ir. Moh Ramdhan Pomanto memimpin IKA Unhas yang merupakan komunitas kaum terdidik.