Pengetahuan Senyap, Tak Berjejak?

Orasi Ilmiah SYL

* Catatan Kecil untuk Orasi Ilmiah SYL

Ucapan selamat atas penganugerahan gelar Profesor Kehormatan kepada Dr. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si., M.H. selanjutnya SYL datang dari berbagai kalangan. Karangan bunga nampak sepanjang jalan dari pintu masuk Unhas hingga rektorat, tempat prosesi pengukuhan berlangsung. Usai orasi ilmiah yang dihadiri elit Unhas serta publik yang menyaksikan secara daring selanjutnya bisa ditebak ucapan selamat hingga ekspresi kekaguman bertebaran di media sosial, tak terkecuali sejumlah opini ditulis oleh sahabat dan kolega beliau di media online menunjukkan derajat ketokohan serta kepopuleran SYL.

Meniti karir dari bawah sebagai lurah, camat, bupati, kepala dinas, wakil gubernur hingga menjabat Gubernur Sulsel dua periode adalah bukti keuletan, kedisiplinan serta semangat pantang menyerah diakui SYL karena gemblengan orang tuanya, Kolonel H. Muhammad Yasin Limpo. Pasca menerima penganugerahan gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Hasanuddin, mantan politisi senior Golkar yang kini memilih berlabuh di partai besutan Surya Palo menjadi obyek pemberitaan di medsos, media lokal dan nasional mengulas prestasinya hingga pernak-pernik kehidupannya.

Catatan ini tidak bermaksud memperpanjang puja-puji terhadap SYL, melainkan mencoba melihat sejauh mana gagasan yang ditawarkan dalam orasi ilmiah dengan judul, “Hibridisasi Hukum Tata Negara Positivistik dengan Kearifan Lokal dalam Mengurai Kompleksitas Pemerintahan” kompatibel dengan isu “tacit knowledge” sebagai prasyarat pengangkatan Profesor Kehormatan sebagaimana dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 154/E/KP/2013 serta Permendikbud No.38 Tahun 2021.

Selain memuat kriteria kandidat Profesor Kehormatan yakni mereka yang bukan berasal dari kalangan akademisi dan memiliki prestasi luar biasa, surat edaran maupun Permendikbud juga mengisaratkan kandidat penerima gelar Profesor Kehormatan memiliki karya yang sifatnya “tacit knowledge” yang berpotensi dikembangkan menjadi “explicit knowledge”.

Dalam Permendikbud No.38/2021 mengenai penguasaan kandidat akan “tacit knowledge” tidak seketat dalam aturan sebelumnya (Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 154/E/KP/2013).

TERKAIT:  Bro 120, Wajah Baru Pam Swakarsa di Makassar?

Meskipun demikian meletakkan “tacit knowledge” sebagai isu sentral dalam catatan ini tetap relevan melihat nyaris seluruh materi orasi ilmiah SYL berisi penjelasan mengenai keberhasilannya selama puluhan tahun berkarir sebagai birokrat serta politisi karena memanfaatkan falsafah kearifan lokal Bugis-Makassar.

SYL sendiri menyebut pengetahuan yang dipraktekkannya terutama selama menjabat gubernur dan menteri sebagai pengetahuan senyap (tacit knowledge). Bahkan dengan bangga menyebut dirinya sebagai profesor lapangan dengan maksud menjelaskan ke publik pengalamannya menggabungkan penerapan hukum tata negara positivistik dengan model kearifan lokal leluhurnya orang Bugis-Makassar sebagaimana judul orasi ilmiahnya.

Memahami “tacit knowledge” akan lebih mudah lewat penjelasan Michael Polanyi, polymath kelahiran Budapest, Hongaria yang memiliki peran penting dalam perkembangan teori kimia, ekonomi serta filsafat.

Istilah “tacit knowledge” pertama kali diperkenalkan Polanyi sebagai respon, tepatnya kritik terhadap paradigma positivisme yang menurut Polanyi justru melahirkan pengetahuan palsu. Bagi Polanyi, masalah utama positivisme itu epistemologi.

Kritik Polanyi pada Positivisme ditujukan terhadap pandangannya mengenai obyektivitas. Positivisme melihat obyektivitas sebagai tujuan. Dan tujuan itu hanya bisa dicapai bila metode yang dipakai untuk memahami realitas lepas dari personalitas manusia. Lewat gagasan “tacit knowledge” Polanyi mendobrak keangkuhan postivisme yang mereduksi epistemologi menjadi sebatas pengolahan data-data empiris semata. Premis dasar ini menurut Polanyi yang menjadi cikal bakal munculnya gerakan intelektual yang mengabaikan cita rasa estetis, nilai-nilai moral serta ikatan-ikatan sosial karena tidak bersandar pada bukti empiris.

Sementara apa yang disebut sebagai “tacit knowledge” oleh Polanyi merupakan pengetahuan yang bersifat personal. Lahir sebagai respon atas positivisme yang menafikan peran subjek dalam menghasilkan pengetahuan. Bagi Polanyi, manusia sebagai subjek berperan penting dalam menghasilkan pengetahuan dan karenanya manusia adalah tuan atas ilmu pengetahuan. Menafikan peran personal manusia dalam ilmu pengetahuan sama dengan menafikan keberadaan pengetahuan itu sendiri.

TERKAIT:  Di Lahan Eks Kebun Binatang, Jeruk Makan Jeruk?

Gagasan SYL mengenai perkawinan silang antara hukum tata negara yang positivistis dengan nilai kearifan lokal Bugis-Makassar berdasarkan pengalaman personalnya selama 40 tahun sebagai birokrat menemukan pembenaran dalam tesis Michael Polanyi mengenai “tacit knowledge”. Dalam orasi ilmiah yang disampaikannya, SYL misalnya mengutip falsafah kepemimpinan tradisional Bugis-Makassar, “Siri’na tumabbuttaya niyaki di pammarentaya, pakrupanna gauka niyaki ri tujaiya. Parentai taua di erok na,”. Falsafah ini menurut SYL menunjukkan kalau masyarakat Bugis-Makassar telah mengenal demokrasi sejak abad ke-17 jauh sebelum revolusi Prancis yang menjadi tonggak penting perkembangan demokrasi di eropa.

Dengan membaca judul orasi ilmiah SYL publik bisa membayangkan materi yang akan berkisar pada pengalamannya membumikan kearifan lokal Bugis-Makassar terutama yang terkait dengan hukum serta ketatanegaraan untuk mengurai kompleksitas pemerintahan. Sayang bayangan publik banyak yang meleset. Sepanjang orasi ilmiahnya, SYL hanya mengutip sejumlah falsafah Bugis-Makassar yang salah satunya, “Parentai taua ri erok na” yang dikutipnya berulang-ulang namun sama sekali tidak diikuti penjelasan, setidaknya gambaran dalam hal apa pengetahuan senyap yang dimilikinya itu diterapkan.

Problem serius orasi ilmiah SYL bukan saja ketika tidak menunjukkan dalam konteks apa “tacit knowledge” yang dimilikinya diterapkan, tapi juga bagaimana gagasan “tacit knowledge” yang dimilikinya ditransfomasi menjadi “explicit knowledge” sebagaimana pesan dalam Permendagri 38 maupun Surat Edaran 154. Meskipun berbasis pengalaman bukan berarti “tacit knowledge” tidak bisa ditranfer pada pihak lain. Para pakar manajemen menawarkan jalan keluar yang disebutnya “knowledge management” untuk mengubah pengetahuan dari tacit menjadi explicit, sehingga pengetahuan yang tadinya hanya diketahui oleh satu orang dapat di share dan menjadi pengetahuan umum. Momentum orasi ilmiah ini seharusnya bisa dimanfaatkaan SYL untuk menjelaskan ke publik pengetahuan senyap yang selama ini dipraktekkannya.

Selain tidak dijelaskan dalam hal apa saja “tacit knowledge” diterapkan beberapa penjelasan SYL justru terkesan inkonsisten. Dalam hal ketahanan pangan misalnya, SYL yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertanian mengklaim telah mengupayakan adanya data tunggal dalam mengoperasikan kebijakan pertanian karena sadar perencanaan harus berbasis evidens dan seterusnya. Apa yang dijelaskan SYL ini justru mengukuhkan paradigma positivisme dan menegasikan “tacit knowledge” yang tidak berbasis empirisme. Sialnya pada saat yang sama SYL tidak menunjukkan bagaimana kearifan lokal Bugis-Makassar yang diklaim sebagai “tacit knowledge” ikut berkontribusi signifikan dalam hal ketahanan pangan.

TERKAIT:  Advokat Pemberani di Pusaran Skenario Sambo

Hal lain yang penting diberi catatan adalah kegemaran SYL berselancar di arena yang tidak dikuasainya dengan maksimal sehingga seringkali terpeset. Dalam mengelaborasi “tacit knowledge” SYL tergoda meminjam sudut pandang Critical Legal Studies Movement, gerakan yang dimotori para pemikir kritis yang mendeklarasikan perlawanan terhadap mazhab formalisme hukum. Isu sentral yang diusung gerakan ini menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dengan perdebatan politik. Sebagai sebuah gerakan pemikiran CLS (Critical Legal Studies) tidak hanya merujuk pada mazhab postmodernism yang nampak relevan dengan konsep “tacit knowledge” melainkan memanfaatkan paradigma ilmu sosial “kiri” seperti Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, neo-Marxis hingga Strukturalisme. Jadi sulit menempatkan Critical Legal Studies Movement sebagai justifikasi atas eksistensi “tacit knowledge” yang sedang dibicarakannya.

Sebagaimana dikemukan sebelumnya kalau rezim Permendikbud No.38 Tahun 2021 menyangkut penguasaan luar biasa akan “tacit knowledge” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Profesor Kehormatan tidak seketat dalam Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 154/E/KP/2013. Dengan memiliki kompetensi atau prestasi yang luar biasa seseorang dipandang layak serta berhak atas gelar Guru Besar Kehormatan atau Profesor Kehormatan dari sebuah perguruan tinggi.

Selamat untuk Prof. Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si., M.H. semoga selalu mendapat rahmat serta perlindungan Allah SWT dalam setiap langkahnya. ????????