Pembangkangan Terawan

Pembangkangan Terawan

Penjelasan Prof. Irawan Yusuf, PhD selaku promotorProf. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) membuat lega pasca kredibilitas Universitas Hasanuddin (Unhas) ikut terseret dalam pusaran polemik.

Menurut Prof. Irawan, dikutip dari detikcom metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau brain wash yang diperkenalkan Terawan belum dapat dijadikan terapi alternatif untuk menggantikan terapi standar melainkan peran utama brain wash hanya meningkatkan cerebral flood flow pada stroke kronik, memperbaiki suplai darah ke jaringan yang infark sehingga oksigen, nutrisi dan obat bisa sampai serta memperpanjang window period, gejala klinis membaik sehingga terapi lain dapat dilakukan secara terencana. Kesimpulan Prof Irawan tidak memiliki perbedaan signifikan dengan umumnya para pakar mengenai DSA yang selama ini disepakati untuk tujuan diagnostik bukan sebagai sarana terapi apalagi untuk pencegahan stroke.

TERKAIT:  IKA Unhas, Narasi Kultural dan Operasi Senyap Kekuasaan  

Hal senada disampaikan Prof. Dr. Moh. Hasan Mahfoed, Sp (K), Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (Perdosi) dan juga dosen Fak. Kedokteran Airlangga saat diminta kesaksian sebagai ahli di depan MKEK IDI menjelaskan mengenai praktek DSA di bidang neorologi selama ini digunakan untuk diagnosis gangguan pembuluh darah otak rutin dilakukan di RS tipe A untuk diagnostik namun bukan sebagai sarana terapi apa lagi sebagai pencegahan stroke. Menurut Prof Irawan, mantan Dekan Fak. Kedokteran Unhas, jebolan S-3 dalam bidang molecular and cellular cardiac electrophysiology di School of Medicine Universitas Hiroshima, Jepang dikutip dari detikcom menyebut kontroversi menjadi tajam akibat kesimpulan yang ditonjolkan terlalu berlebihan karena metode DSA dianggap alternatif terapi stroke yang standar.

Persoalannya menjadi krusial karena Terawan diduga menerapkan metode DSA atau dalam istilah Terawan disebut brain wash (cuci otak) sebagai terapi alternatif bagi penderita stroke atau setidaknya membiarkan pemahaman tersebut berkembang di publik. Bagi IDI ini masalah serius karena pemahaman yang keliru berpotensi membahayakan hingga mengancam nyawa pasien. Untuk bisa dikategorikan sebagai terapi alternatif, metode brain wash harus melalui tahapan yang ketat berdasarkan metode standar atau evidence based. Di sini pangkal masalahnya.

TERKAIT:  Ada Sofjan Wanandi & Chairul Tanjung di MWA Unhas

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang menjalankan tugas kemahkamahan profesi serta pembinaan etika anggota IDI bermaksud memastikan metode DSA atau brain wash yang diperkenalkan Terawan sebagai terapi alternatif stroke telah memenuhi standar atau belum. Untuk itu MKEK berulangkali meminta Terawan menjelaskannya di depan MKEK bahkan berproses sejak 2013 namun yang bersangkutan tidak datang. Penolakan Terawan secara etika dipandang sebagai pembangkangan terhadap otoritas MKEK. Membiarkan praktek ini terus berlangsung tanpa jaminan ilmiah bisa membahayakan hingga mengancam nyawa pasien membuat MKEK tidak punya pilihan untuk menghentikan praktik brain wash kecuali merekomendasikan pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI.

Permasalahan yang sepenuhnya urusan medis ini ditarik ke mana-mana dan digiring ke ranah politik. Pernyataan birokrat, politisi hingga jurnalis senior yang memosisikan Terawan sebagai pihak yang terzalimi IDI digoreng dan dibumbuhi macam-macam di media membuat publik sulit membedakan antara fakta ilmiah dengan opini. Padahal untuk memahami masalah ini tidak harus berlatar belakang medis atau memiliki tingkat pendidikan tertentu. Masalahnya sangat simpel dan menjadi krusial karena sikap keras kepala Terawan yang mengabaikan panggilan MKEK untuk menpertanggungjawabkan secara ilmiah metode yang diterapkannya. (rt)