Menjelang kontestasi politik 2024 sudah terlihat kepala daerah yang sibuk menggelar kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar. Event semacam ini dianggap jamak bahkan “wajib” untuk menunjukkan pada semua orang kalau pemimpin bersangkutan memiliki dukungan politik besar untuk menghadapi kontestasi berikutnya.
Mengumpulkan massa dalam jumlah besar dalam suatu event dianggap memiliki korelasi signifikan dengan keterpilihan seorang tokoh sekalipun menyerempet risiko. Aksi “tarik tambang” yang melibatkan ribuan peserta demi rekor MURI yang menelan korban jiwa misalnya justru berpotensi memukul balik citra kepala daerah bersangkutan.
Tulisan ini tidak bermaksud memperpanjang diskusi “tarik tambang maut” yang kabarnya raib entah ke mana, melainkan mengajak publik mendiskusikan ulang tugas serta kewajiban kepala daerah terutama kaitannya dengan janji atau visi misi yang mereka tawarkan ke publik saat berkampanye.
Dengan menggeledah kembali visi misi kepala daerah akan menyegarkan ingatan publik akan janji mereka saat kampanye sekaligus membandingkannya dengan apa yang telah mereka capai di akhir periodenya. Penilaian ini sekaligus menjadi momentum bagi setiap orang untuk memastikan apakah yang bersangkutan ke depannya masih pantas memimpin atau tidak.
Pemimpin yang gagal merealisasikan janjinya yang tuangkan dalam visi misi saat kampanye secara etik tidak pantas lagi mencalonkan diri untuk periode berikutnya, bahkan sebaiknya mengundurkan diri dari jabatannya sebelum masanya berakhir.
Visi misi kepala daerah merupakan “kontrak politik” dengan pemilihnya yang harus dipertanggungjawabkan setelah terpilih. Janji kepala daerah saat berkampanye yang dirumuskan dalam visi misi yang secara normatif merujuk pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional wajib dijabarkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai pedoman penyusunan perencanaan pembangunan tahunan pemerintah daerah.
Apa yang dimuat dalam visi misi kandidat dirumuskan secara ketat dalam bentuk program yang dipandang strategis untuk peningkatan kesejahteraan serta bersifat solutif terhadap masalah mendasar yang dihadapi warga. Akibatnya, sikap ingkar pemimpin terhadap janji saat kampanye bukan saja cedera janji secara perdata tapi juga pelanggaran etik sekaligus menyimpangi peraturan perundangan.
Lalu mengapa kepala daerah justru sangat gandrung menggelar kegiatan yang justru menghabiskan energi besar tapi tidak menyentuh permasalahan utama yang dihadapi masyarakat?
Semua kepala daerah sebenarnya menyadari tugas utama mereka bukan aktivitas yang bernuansa selebrasi yang melibatkan massa dalam jumlah ribuan melainkan apa yang mereka rumuskan dalam visi misi mereka saat kampanye.
Bila tak yakin tengok misalnya visi misi Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto saat kampanye di berbagai platform media sosial seperti youtube. Di sana publik tidak akan menemukan misalnya, penyelenggaraan kegiatan yang melibatkan ribuan orang seperti tarik tambang karena itu tidak punya nilai apa-apa di mata publik. Sebaliknya Program Revolusi SDM, Revolusi pendidikan, Sombere & Smart City, Penataan total sistem BUMN dan pembentukan Makassar Incorporation dan seterusnya yang jika didengarkan sekarang, meminjam istilah Kang Sobary, lebih mirip bualan “politisi kelas salon”.
Bagi warga Kota Makassar yang setiap tahun berjibaku dengan banjir atau saban hari berjuang di tengah kemacetan, sampah yang menumpuk, tawuran dan begal yang mengancam, kekurangan air bersih serta berbagai macam kesemrawutan khas kota besar menuntut wali kota memprioritaskan masalah ini.
Kondisi ini dipahami betul oleh pemimpin kota yang datang silih berganti namun hingga akhir masa jabatannya resultannya tetap saja nol. Kota Makassar tetap saja menjadi langganan banjir, tawuran, macet, sampah berserakan dari wali kota ke wali kota. Dan anehnya mereka tetap saja percaya diri serta menganggap diri berhasil karena misalnya telah mewujudkan kota baru dari hasil reklamasi. Padahal mereka tanpa sadar telah berkontribusi merusak lingkungan serta menyingkirkan dan mengasingkan masyarakat setempat dari habitatnya.
Bila kesuksesan diukur dari keberhasilan menyiapkan ruang bagi korporasi multinasional atau memfasilitasi oligarki ekonomi menancapkan fondasi membangun infrastruktur yang bukan untuk kepentingan rakyat, mengumpulkan massa untuk event yang bernuansa selebrasi atau sekedar menceburkan diri dalam banjir sambil membawa santunan maka setiap orang memiliki kualitas sebagai kepala daerah. Apalagi jika sekedar berperan mengeluarkan izin membangun atau menimbun laut dan daerah resapan untuk kota baru serta perumahan elit, Kota Makassar tidak membutuhkan wali kota, cukup dijalankan oleh birokrasi.
Harus diakui problem kota besar di negara berkembang umumnya memiliki karakteristik yang sama. Kota besar di dunia ketiga dikepung kriminalitas, kemacetan, kesulitan air bersih, pemukiman kumuh, banjir dan bukan perkara mudah yang bisa dituntaskan dalam dua periode jabatan yang dimungkinkan dijabat seorang wali kota. Namun setidaknya publik bisa menyaksikan dan merasakan pemimpinnya bekerja maksimal. Bukan sebaliknya “mengabaikan” tugas utamanya dan sibuk dengan acara seremonial yang bersifat selebrasi.
Saat banjir para pemimpin ini sibuk bersafari membantu warga tentu bukan hal buruk tapi bukankah seharusnya prioritas pencegahan banjir dikerjakan di luar musim hujan. Halnya dengan tawuran, pembentukan Satgas baru sibuk dibicarakan setelah korban berjatuhan.
Tindakan pemerintah kota Makassar tak ubahnya petugas pemadam kebakaran yang sibuk memadamkan api tapi tidak ambil pusing dengan langkah pencegahan di situasi tenang.
Di kedai kopi pinggiran kota, ditemani secangkir kopi dan sepiring besar pisang goreng saya memutar ulang pemaparan visi misi Wali Kota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto di saluran youtube yang dengan berapi-api yang dikemas dalam slogan, “Makassar Kota Dunia yang Sombere & Smart City“.
Untuk mewujudkan mimpinya, Danny Pomanto menyodorkan visi antara: Pertama, “Revolusi SDM dan Percepatan Reformasi Birokrasi”. Terkait visi pertama ini, Danny menawarkan misi berupa, “Revolusi SDM dan percepatan reformasi birokrasi menuju SDM kota yang unggul dan pelayanan publik kelas dunia bersih dari indikasi korupsi,” dengan program strategis yang meliputi antara lain “Revolusi pendidikan di mana semua anak harus sekolah, penguatan keimanan umat, 1.000 beasiswa Anak Lorong Berprestasi, dan10.000 skill training gratis. Kemudian, ada program percepatan tata pemerintahan Sombere and Smart City yang bersih dari indikassi korupsi dan program menuju pendapatan asli daerah (PAD) Rp 2 triliun”. Kedua, “Rekonstruksi Kesehatan, Ekonomi, Sosial dan Budaya”. Terkait misi, “Rekonstruksi Kesehatan, Ekonomi, Sosial dan Budaya Menuju Masyarakat Sejahtera dengan Imunitas Ekonomi dan Kesehatan Kota yang Kuat untuk Semua”.
Untuk membumikan gagasannya terkait misi kedua ini, Danny Pomanto menyodorkan program strategis berupa, “Gerakan masyarakat penguatan imunitas kesehatan dan ekonomi, penguatan fasilitas perllindungan dan pelayanan kesehatan masyarakat, dan penyediaan dengan kemudahan akses 100.000 peluang kerja dan peluang bisnis baru”. Selanjutnya ada “Penataan total sistem BUMN dan pembentukan Makassar Incorporation, pembuatan Perda Omnibus Makassar Kota Dunia, dan percepatan programm Jagai Ana’ta dan program smart milenia serta social mitigation”. Lalu ada juga “Program penataan total Destinasi Budaya dan Sejarah. Terakhir, program penguatan City Branding dan peningkatan festival dan mice bulanan dalam skala nasional dan internasional.
Ketiga, “Restorasi Ruang Kota”. Terkait misi ketiga ini, Danny Pomanto menawarkan, “Restorasi ruang kota yang inklusif menuju kota nyaman kelas dunia yang ‘Sombere and Smart City’ untuk semua“.
Program strategis yang mencakup ini meliputi, “Penataan total Sistem Persampahan, pembenahan total sistem penanganan banjir dan penanganan kemacetan, serta pembangunan infrastruktur dan kawasan Waterfront City berbasis mitigasi dan adaptasi lingkungan.
Selanjutnya, peningkatan jejaring Smart Pedestrian dan Koridor Hijau Kota, peningkatan Lorong Garden dan pembentukan 5.000 Lorong Wisata, serta percepatan pembangunan sistem dan infrastruktur Sombere and Smart City yang inklusif. Termasuk program percepatan Makassar menjadi Liveable City dan Resilent City serta pembangunan gedung Sombere and Smart New Balaikota and New DPRD.
Sambil sesekali mengintip jalanan kota yang disesaki kendaraan dengan warna langit yang mulai menghitam saya masih mendengar visi misi Pak Danny disertai rasa cemas akan datangnya hujan. Sesaat kemudian tanpa sadar lamunan mengantar saya pada masa kecil ketika dengan bersemangat menyaksikan pertunjukan penjual obat keliling di bawah tenda saat hari pasar yang sambil bermain sulap dan jualan berjanji akan mengeluarkan buaya ajaib yang mengerti bahasa manusia dari dalam peti. Hingga tenda diturunkan pertanda pementasan usai buaya yang dijanjikan tak pernah nongol.
Tiap lima tahun kontestasi politik berlangsung. Wali kota boleh datang silih berganti dengan program strategis mengatasi banjir, kemacetan serta berbagai kesemrawutan kota. Namun sebelum tahun berganti warga akan kembali tersadar kalau janji pemimpinnya tak lebih dari bulan politik.
Rakyat yang sabar walau sesekali menggerundel tak bisa berbuat banyak karena wakil mereka di DPR sama saja, eksekutif dan legislatif bak kembar siam yang tak saling mengoreksi.
Selamat berakhir pekan semoga sehat dan bahagia selalu????