Foto: Dicomot dari internet
Berulang kali diminta menulis semacam kiat menjadi advokat akhirnya saya sanggupi. Tentu saja dengan catatan jika yang diharapkan adalah kiat menjadi advokat sukses tentu sangat tidak mudah bagi saya yang dalam pandangan umum tidak memenuhi kriteria itu.
Mengapa seorang advokat bisa sukses sementara yang lain tidak atau belum. Dengan pengalaman 20 tahun menjalani profesi advokat saya tentu bisa menjelaskannya.
Banyak yang bertanya mengapa misalnya Hotman Paris Hutapea, Ruhut Sitompul atau sebut saja mereka yang oleh publik atau media disebut advokat top, papan atas padahal menurut sebagian orang tingkat kecerdasannya tergolong biasa saja. Sementara pada saat yang sama beberapa advokat yang menurut penilaian publik termasuk dalam kategori brilian, berintegritas tapi faktanya tidak sesukses mereka yang oleh publik dinilai berpengetahuan standar.
Pertama mungkin kita perlu terlebih dahulu memberi batasan makna sukses yang sedang kita bicarakan yang penekanannya lebih mendekati definisi umum terkait profesi advokat yakni sukses secara finansial.
Publik terutama dalam dekade terakhir melihat profesi advokat identik dengan kehidupan glamour, kaya, berani atau kurang lebih dekat dengan gaya hidup para selebriti. Tak pelak pandangan ini secara diam-diam ikut memprovokasi anak-anak muda yang memilih berkarir sebagai advokat.
Tidak bisa dipungkiri umumnya mereka yang berminat berkiprah sebagai advokat terinspirasi oleh mereka yang dalam penilaian publik terbatas tadi pas-pasan secara intelektual tapi sukses secara finansial. Para selebriti hukum ini yang menghipnotis anak-anak muda lepasan fakultas hukum untuk terjun di bisnis hukum.
Tidak ada yang salah dengan anak-anak muda yang ingin terjun sebagai advokat dengan semangat ingin sukses secara finansial. Hanya saja mereka sering lupa kesuksesan yang diraih senior mereka yang tampak secara kasat mata sederhana itu tidak diperoleh dengan cara instan. Butuh kerja keras, konsistensi selama berpuluh tahun untuk sampai pada titik yang terlihat mudah itu. Tidak cukup dengan memamerkan barang branded atau menggebrak meja lantas orang berlomba-lomba meminta menggunakan jasa kita.
Untuk disebut advokat pemberani misalnya, tidak cukup dua atau tiga kali menggebrak meja. Mungkin dibutuhkan puluhan kali menghancurkan meja untuk identik sebagai pemberani kalau tidak disebut preman atau debt collector. Halnya dengan gelar bertumpuk-tumpuk tidak menjadi jaminan sukses sebagai advokat karena dunia praktik lebih membutuhkan pengalaman serta dedikasi seorang advokat dan itu tidak berbanding lurus dengan gelar akademik yang disandang. Dibutuhkan nilai lebih untuk bisa eksis di tengah iklim persaingan yang tidak sehat.
Bayangkan saat ini selain Peradi yang terpecah dalam tiga kubu jumlah organisasi advokat terus membiak dan kini berjumlah sekitar 40 organisasi. Bayangkan pula bila semua organisasi ini melakukan rekrutmen anggota baru, berapa jumlah pertumbuhan advokat dalam satu tahunnya.
Realitas yang multi tantangan ini yang akan menghadang anak-anak muda yang baru lulus di luar dinding kampus. Selain harus berkompetisi dengan sesama pendatang baru, pada saat bersamaan harus berkompetisi dengan senior mereka yang berkiprah puluhan tahun plus ancaman pesaing baru dari adik-adik mereka yang setiap saat siap menyalib dari belakang. Dibutuhkan kerja ekstra untuk bisa eksis bahkan untuk sekedar bisa bertahan di dunia profesi yang makin keras ini. Sementara iklim ekonomi yang belum sepenuhnya kondusif ikut berimbas terhadap kehidupan profesi advokat.
Lantas bagaimana bisa tetap eksis bahkan menjadi pemenang di tengah kepungan persaingan yang tidak bersahabat?
Berbekal pengetahuan hukum dan keterampilan beracara saja tidak cukup sebab semua advokat memiliki kemampuan dasar yang kurang lebih sama. Kemampuan atau skill di luar hukum justru sangat menentukan kesuksesan seorang advokat. Menjadi bagian jaringan besar dari sebuah komunitas, mendalami pengetahuan tertentu di luar disiplin hukum, multi bahasa misalnya dengan tetap konsisten berkarir sebagai advokat sambil terus mempersiapkan diri kemungkinan munculnya peluang baru adalah kunci sukses di depan.
Bagi yang mengagumi Hotman Paris ini yang pernah diucapkannya: “Ketika kalian masih tidur sambil memeluk pacar-pacar kalian di subuh hari saya sudah bekerja memeriksa berkas-berkas klien saya”.
Mereka yang memiliki pengalaman tanding yang panjang umumnya memiliki banyak trik dalam menyelesaikan masalah. Pengalaman ini yang mengajarkan pada advokat bagaimana misalnya menghadapi klien dengan latar etnis Arab atau China dibanding etnis Bugis-Makassar, dan seterusnya. Kalau sampai tidak memahami karakter serta keinginan klien bisa menjadi alamat gagalnya negosiasi.
Kesuksesan advokat dalam mendampingi kliennya pertama-tama sangat ditentukan oleh kemampuan advokat meyakinkan kliennya kalau dirinya kapabel menangani perkara yang ditawarkan. Soal kemampuan atau strategi meyakinkan klien ini umumnya tidak diperoleh di bangku kuliah melainkan skill yang diperoleh lewat pengalaman di lapangan.
Dalam literatur ilmu sosial kemampuan khusus yang dimiliki seseorang lewat pengalaman lapangan ini yang disebut “Tacit Knowledge” (pengetahuan senyap) meminjam istilah Michael Polanyi, polimat kelahiran Budapest, Hongaria.
Semakin senyap pengetahuan seseorang, semakin sulit diadaptasi maka semakin tinggi nilai pengetahuan tersebut adalah pernyataan yang sering kita dengar terkait tacit knowledge.
Kesimpulannya saya kira, jika ingin sukses sebagai advokat baik dalam arti sukses secara finansial maupun sukses sebagai aktivis sosial tidak cukup dengan bergaya hidup bak selebriti apa lagi hanya modal nekat. Halnya dengan profesi pada umumnya, profesi advokat menuntut konsistensi, daya tahan, sikap kreatif dan tentu saja harus terus belajar hingga pada gilirannya apa yang diimpikan bisa terwujud.