BHARADA E DALAM KERANGKENG POSITIVISME

Apa yg dilakukan Bharada Eliezer Pudihang Lumiu murni loyalitas bawahan terhadap atasan”.            

 (Jaksa Penuntut Umum)

Salah satu terdakwa dalam rangkaian  kasus Ferdy Sambo (FS) yang memicu kontroversi adalah Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E), polisi berpangkat Bhayangkara Dua (Bharada) yang didakwa sebagai eksekutor pembunuhan terhadap Brigadir Pol Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir J).

Semenjak kasus FS terbuka ke publik, nama Bharada E berkilau dan menjadi incaran media. Bharada E yang awalnya memilih mengikuti skenario FS mengenai peristiwa kematian Brigadir J akhirnya membuka semuanya. Di bawah pendampingan LPSK, Bharada E memilih menjadi justice collaborator (JC)

Keputusan Bharada E mengungkap kebenaran terlepas apa pun motifnya diapresiasi publik sebagai langkah berani. Namun tuntutan 12 tahun kurungan untuk Bharada E membuat LPSK meradang dan publik ikut kecewa. JPU dikritik tidak mengapresiasi niat baik serta menghormati peran JC.

Lalu bagaimana merumuskan hukuman yang adil bagi Bharada Eliezer?

Dalam perspektif  positivisme tidak terlalu sulit merumuskan apakah Bharada E bisa bebas atau tidak. Penyebab hapusnya pidana menurut KUHP secara garis besar disebabkan karena adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Secara sederhana alasan pembenar dirumuskan sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa berubah menjadi patut dan benar. Sementara alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan seorang terdakwa. 

Bila daya paksa, keadaan darurat, pembelaan terpaksa, pembelaan terpaksa yang melampaui batas,  melaksanakan perintah undang-undang, perintah jabatan, dikategorikan sebagai alasan pembenar, maka ketidakmampuan bertanggung-jawab (gila) merupakan alasan pemaaf.

Perdebatan mengenai kemungkinan hapusnya pidana Bharada E terkait alasan pembenar karena statusnya sebagai bawahan FS yang melaksanakan perintah eksekusi Brigadir J.

Dari sini para pakar mengaitkan peristiwa kematian Brigadir J dengan bunyi Pasal 51 KUHP terkait tafsir “perintah jabatan” dalam KUHP.

Pasal 51 Ayat (1) menyebut; “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana,”.                                        

TERKAIT:  Pernyataan Saksi & Tersangka Kasus Penipuan 2,4 M Serta Kesan Berpihak Kasat Reskrim Polres Banggai

Sementara Pasal 51 Ayat (2); “Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan itikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”

Apa  yang dimaksud “perintah jabatan” menjadi debat panas dikalangan pakar hukum.

Terkait frasa “perintah jabatan” yang terdapat dalam rumusan KUHP ini umumnya pakar hukum menafsirkannya dalam kerangka normatif yang ketat. Fajrulrrahman Jurdi, pakar hukum administrasi negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar yang dikenal publik sebagai penulis artikel hukum pada sejumlah media lokal maupun nasional serta menulis lebih dari 30 judul buku, memberi batasan “perintah jabatan” sebagai tindakan yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Jurdi meskipun setiap instruksi atau perintah atasan harus dilaksanakan bawahan namun dalam hal perintah atasan untuk melakukan kejahatan, pembunuhan misalnya,  maka bawahan bukan hanya boleh menolak tapi harus menolaknya. Perintah untuk melaksanakan kejahatan tidak termasuk sebagai “perintah jabatan” sehingga tidak mengakibatkan hapusnya pidana.

Jurdi yang selama ini dikenal publik sebagai intelektual hukum dengan pendekatan kritis sepertinya bermaksud mengingatkan bahwa sulit menemukan pembenar untuk melepaskan Bharada E lewat pintu “perintah jabatan” yang tafsirnya terlalu ketat. Namun ada saja yang melihat ceruk yang memungkinkan Bharada E diputus bebas lewat pasal yang sama.

Pakar pidana, Asep Iwan Iriawan melihat Pasal 51 KUHP cukup memadai sebagai pijakan bahwa orang yang melaksanakan perintah jabatan karena kewenangannya, tidak dapat dipidana. Bagi Asep, FS adalah pemberi perintah salah kepada Bharada E sehingga pejabat yang harus bertanggungjawab, jadi beban tanggungjawabnya beralih kepada yang memerintah. Mantan hakim yang dikenal vokal ini sempat berucap akan membebaskan Bharada E seandainya dirinya yang memutus perkaranya.

Sejalan dengan pandangan Asep, Ahli Psikologi Klinis, Liza Marielly Djaprie mengemukakan, “bahwa dari hasil tes, Bharada E memiliki level kepatuhan yang sangat tinggi”. Menurut Liza, “Bharada E memiliki kecenderungan patuh pada lingkungan”.

TERKAIT:  Mengenai Pram, Knut Hamsun dan Gogol

Menentukan hukuman terhadap Bharada E dengan mereduksi masalahnya sebatas ada tidaknya, atau sah tidaknya “perintah jabatan” dalam konteks Pasal 51 KUHP akan sulit menggambarkan komplesitas relasi atasan-bawahan yang berlangsung dalam institusi kepolisian. Relasi atasan-bawahan dalam konteks “perintah jabatan” kaitannya dengan Bharada E hanya bisa dijelaskan dengan menggeledah sistem yang membentuk kultur yang berlangsung di internal kepolisian. 

Lepasnya institusi kepolisian dari ABRI tidak serta merta membuat institusi kepolisian terbebas sepenuhnya dari kultur militer yang mengedepankan relasi komando. Perhatikan misalnya jenjang kepangkatan polisi yang sepenuhnya mengadopsi pola dalam militer. Meminjam penjelasan Dr. Connie Rahakundini: “polisi merupakan bagian dari sipil yang seharusnya tunduk pada hukum justru faktanya tunduk pada komando, halnya tentara. Jika di polisi pemikiran yang harus jelas, di tentara perintahnya yang harus jelas. Kalau di polisi pengambilan keputusan bersifat bottom-up, di tentara sebaliknya, bersifat top-down dan seterusnya”.

Pola pembinaan  di institusi kepolisian ini tanpa sadar membentuk karakter polisi makin militeristik. Bharada E digembleng dalam kultur yang mengharuskannya tunduk pada garis komando, akibatnya jika mendengar perintah atasan, tembak misalnya, maka secara spontan akan langsung merespon tanpa perlu berpikir atau mendebatnya terlebih dahulu. Kultur ini yang membedakan prilaku polisi kita dengan polisi di Amerika Serikat misalnya yang sangat civilian. Bila polisi AS diperintahkan oleh atasannya menembak tersangka misalnya bisa dipastikan yang bersangkutan langsung menolak bahkan mendebat atasannya, berbeda jika perintah itu disampaikan FS pada Bharada Eliezer. Perspektif ini yang tidak disadari oleh Jaksa Penuntut Umum serta kemungkinan besar oleh majelis hakim yang mengadili perkara Bharada E.

“Bila kesalahan sistemik ini tidak segera dibenahi akan muncul Sambo-Sambo lain,” kata Connie. Tentu pada saat yang sama Eliezer-Eliezer lain akan berjatuhan.

Apa yang dimaksud undang-undang sebagai “perintah jabatan” diterjemahkan oleh aparat penegak hukum berdasarkan tafsir normatif bahwa “perintah jabatan” bila berkaitan dengan perintah melaksanakan kejahatan maka tidak termasuk dalam “perintah jabatan” yang sah atau harus ditolak. Pendekatan ini berangkat dari asumsi perbedaan mendasar antara tentara dengan polisi dalam merespon perintah dalam konteks masyarakat AS atau Jepang yang menarik garis tegas antara polisi yang merupakan bagian dari civil dengan karakter tentara yang militeristik.

TERKAIT:  Gibran Melesat dan Mahfud yang Terdegradasi

Kesalahan perspektif dalam melihat realitas polisi ini berjumpa dengan paradigma positivisme yang dianut secara mendarah daging oleh aparat penegak hukum membuat Bharada E serta mereka yang senasib dengannya tidak punya peluang bebas atau lepas dari hukuman. Positivisme hukum yang sangat mengagungkan hukum tertulis dan menganggap tidak ada norma hukum di luar hukum positif menghilangkan kemungkinan untuk mempertanyakan apakah norma yang diundangkan itu adil atau tidak.

Keengganan beranjak dari jebakan positivisme bukan tanpa alasan. Risiko pendapatnya diabaikan karena dianggap keluar dari perspektif yuridis sangat mengganggu reputasi mereka sebagai pakar hukum. Aparat penegak hukum, polisi, jaksa serta hakim tidak akan mempertimbangkan dalil di luar tafsir normatif.

Dari sini bisa disimpulkan nyaris mustahil tindakan Bharada E dipandang oleh majelis hakim memiliki landasan pembenar sehingga peluangnya untuk lepas atau bebas dari hukuman terkunci. Padahal andai majelis hakim bergeser sedikit dari tafsir normatif atas “perintah jabatan” ini dengan melihat kompelesitas kelembagaan institusi kepolisian plus keberanian menghadapi pandangan publik, tindakan Bharada E mengeksekusi Brigadir J sepenuhnya merupakan tanggung-jawab atasan yang memerintahkannya.

“Id damnum dat qui iubet dare; eius vero nulla culpa est, cui parere necesse sit”. (Pertanggungjawaban tidak akan diminta dari mereka yang patuh melaksanakan perintah, melainkan kepada mereka yang memberi perintah).

Memilih tetap bertahan dalam kerangkeng positivisme hanya membuat kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum kian menipis, akibatnya kebenaran serta keadilan makin jauh panggang dari api.

Foto: Diadaptasi dari google