Kota Makassar sejak dulu terkenal sebagai kota langganan banjir. Sialnya dari tahun ke tahun banjir yang mengepung Kota Makassar bukannya berkurang, melainkan semakin parah, baik luas genangan maupun ketinggian air. Tercatat banjir yang melanda Makassar saat ini untuk pertama kalinya merangsek ke tengah kota padahal tahun-tahun sebelumnya hanya mengepung kota dari pinggir. Bahkan sejumlah media menyebut banjir kali ini merupakan banjir terparah dalam 40 tahun terakhir di Makassar dan sekitarnya.
Berbagai alasan diajukan pemerintah sebagai justifikasi. Halnya dengan tahun-tahun sebelumnya cuaca ekstrim menjadi alasan favorit. Publik tak pernah mendengar pemerintah kota berterus terang pada publik mengenai fakta sebenarnya seperti masalah drainase yang tidak tertangani dengan baik. Asratillah, akademisi serta intelektual muda islam yang juga Direktur Profetik Institute dalam diskusi Group WhatsApp “Forum Diskusi Tamalanrea” mempertanyakan strategi pengelolaan pencegahan banjir oleh pemerintah kota seperti peta aliran air permukaan, strategi pengelolaan DAS (daerah aliran sungai) Makassar dan sekitarnya termasuk apakah Makassar punya road map penambahan dan pemeliharaan saluran air atau drainase. Lebih jauh Asratillah mempertanyakan, apakah Kota Makassar punya Kajian Resiko Bencana (KRB) dan seterusnya.
Senada dengan Asratillah, Rizal Fauzi, founder “MATAKITA.Co” yang juga dosen muda Fisip Unhas menyarankan pentingnya mengedukasi publik dengan menyiapkan semacam desain penanganan untuk mengatasi bencana banjir yg setiap tahun semakin meningkat. Dengan meminjam istilah Prof Deddy Tikson mengenai model Complexity Teori, Rizal menjelaskan pentingnya penanganan bencana banjir yang tidak hanya melihat satu aspek, drainase misalnya.
Sementara Aslan Abidin, Sastrawan dan juga Akademisi mengingatkan efek lingkungan yang timbul akibat praktik reklamasi dan penimbunan rawah yang berfungsi sebagai wilayah resapan air. Berbagai gedung serta perumahan elit di Kawasan Tanjung Bunga serta penimbunan besar-besaran di wilayah resapan di daerah Tallasa, Kecamatan Tamalanrea disadari atau tidak berkontribusi signifikan terhadap banjir di sekitarnya. Kebijakan ugal-ugalan pemerintah ini makin menambah parah banjir Kota Makassar.
Pemerintah bukan tidak memahami kompleksitas penanganan banjir, masalahnya adalah dibutuhkan kebijakan radikal untuk mengeksekusinya dan itu disadari sangat tidak mudah. Wali kota adalah jabatan politis yang citranya harus dijaga untuk tidak melakukan tindakan yang dianggap tidak populis di mata rakyat kecil karena harus bertindak tegas dalam penanganan banjir. Pada saat bersamaan sikap tegas terhadap pemilik modal untuk menutup ruang berinvestasi di wilayah resapan air dan pantai untuk melakukan reklamasi akan berdampak signifikan terhadap dukungan oligarki dalam kontestasi politik pemilu.
Kepentingan modal untuk berinvestasi di kawasan strategis seperti kawasan pantai dan areal yang yang selama ini tertutup bagi investasi berjumpa dengan kepentingan politik yg membutuhkan logistik dalam menghadapi palagan politik transaksional melahirkan kembar siam yg sulit dipisahkan antara kekuasaan dan modal. Akibatnya banjir di mana-mana yang dampak terbesarnya ditanggung masyarakat kecil. Sementara gedung serta pemukiman elit milik oligarki tetap aman dan terbebas dari banjir karena di backup modal besar. Inilah kisah tragis di negeri yang konon dalam mewujudkan tujuan bernegara bersandar pada prinsip keadilan sosial serta meletakkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi dan golongan
Lalu siapa bertanggung-jawab dibalik seluruh karut-marut permasalahan banjir ini?
Kita boleh menuduh siapa saja yang abai menjaga lingkungan ikut berkontribusi terhadap banjir di Makassar. Kita bahkan bisa menyalahkan kentut sapi di India yang menghasilkan gas metana sebagai penyebab perubahan iklim yang ikut memperparah banjir di Kota Makassar. Namun tidak mudah mengaitkan berbagai fenomena kerusakan lingkungan di tempat lain ikut berkontribusi terhadap banjir di Kota Makassar, apa lagi menuntut tanggung-jawab pihak lain.
Butterfly Effect dalam etika lingkungan bertujuan mendorong kesadaran masyarakat dunia akan tanggung-jawab bersama menjaga bumi sebagai satu biduk dalam samudera kehidupan dimana kesalahan satu orang akan mempengaruhi dan mengancam keselamatan bersama.
Pertanggungjawaban dalam pengambilan keputusan strategis di suatu daerah tentu berada di tangan pemegang otoritas tertinggi di daerah tersebut. Dengan otoritas yg dimilikinya Wali Kota Makassar berkewajiban mencegah terjadinya banjir secara maksimal dengan menggunakan seluruh instrumen yang dimilikinya, termasuk kordinasi antar sektoral dalam pemerintahan serta pihak lain yang dianggap relevan terkait penanganan banjir. Jika semua itu tidak dilakukan artinya wali kota membuka ruang pada masyarakat menuntut ganti rugi akibat kerugian yang diderita termasuk properti mereka yang rusak oleh banjir.
Pada saat bersamaan warga Kota Makassar secara moral maupun politik berhak menuntut wali kota mundur dari jabatannya sebagai konsekuensi penghianatannya atas janji yang disampaikan saat kampanye lewat visi misi yang berkomitmen mengatasi masalah banjir di Kota Makassar.
Wali kota datang silih berganti dengan janji yang sama, berkomitmen mengatasi banjir. Namun sebelum tahun berganti banjir kembali mendatangi warga dan janji politisi tak lebih dari isapan jempol.
Untuk menutupi kegagalan memenuhi janji, tiap kali banjir datang biasanya wali kota akan menunjukkan empatinya dengan terjun langsung memantau lokasi banjir sambil membawa bantuan dan berjanji memenuhi seluruh kebutuhan warga yang terdampak.
Lalu bagaimana dengan korban harta benda, apakah juga ditanggung pemerintah?
Berbeda dengan Gubernur DKI yang berulangkali digugat karena dianggap tidak serius melakukan pencegahan dan menanganan banjir, Pemkot Makassar tidak pernah diajukan ke pengadilan untuk kasus yang sama. Hal ini sekaligus menunjukkan sikap warga yang relatif tolerans, atau bisa jadi karena masyarakat sipil Makassar yang relatif lembek dan tidak setangguh kolega mereka di Jakarta dan Surabaya yang ngotot memperjuangkan kepentingan korban banjir.
Melihat tidak gregetnya civil society di Kota Makassar muncul gagasan membentuk forum diskusi dengan memanfaatkan platform grup whatsApp dengan nama “Forum Diskusi Tamalanrea” yang digawangi akademisi, jurnalis, aktivis sosial dan lingkungan, penyair, lawyer serta mereka yang berpikir kritis.
Forum ini diharapkan sebagai media komunikasi untuk mendiskusikan secara kritis berbagai isu kebijakan publik yang tidak ramah lingkungan serta tidak berpihak pada masyarakat kecil dan kelompok rentan sebagai counter narrative untuk mendorong kesadaran serta perlawanan publik terhadap hegemoni kekuasaan dan modal.
Foto: Dicomot dari internet