Setelah delapan tahun mangkrak, Proyek Pembebasan Lahan Pembangunan Perumnas di Kelurahan Taroada, Kecamatan Turikale, Kota Maros memasuki babak baru.
Pasca menerima laporan resmi 22 November 2022 mengenai dugaan tindak pidana korupsi serta isu keterlibatan mafia tanah kini Kejaksaan Tinggi Sulsel mulai melakukan pemanggilan terhadap beberapa pihak diantaranya, Perum Perumnas Regional VII, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Maros, pihak Kelurahan Taroada Kabupaten Maros serta pihak lain yang yang memiliki kaitan signifikan.
Saat dikonfirmasi terkait perkembangan penyelidikan yang berawal dari laporan masyarakat ini, Kordinator Tim Intel Kejati Sulsel yang menangani kasus tersebut menjelaskan pihaknya masih dalam tahap penyelidikan. Dari penjelasan tersebut juga diperoleh informasi terkait kendala pemanggilan terhadap Notaris sebagai saksi hingga saat ini belum bisa dilakukan karena harus memperoleh persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris terlebih dahulu.
Sejak dimulai di 2015 pembebasan lahan Perumnas Maros terus menuai kritik karena proyek yang seharusnya sudah menghasilkan keuntungan buat negara lewat penjualan rumah tidak terjadi, sebailiknya justru negara dirugikan akibat terbengkalai padahal anggaran negara sudah dicairkan atau sudah digunakan untuk pembayaran ganti rugi terhadap lahan warga. Belum lagi berbagai dugaan penyimpangan terkait pemotongan nilai ganti-rugi serta dugaan salah bayar hingga isu keterlibatan mafia tanah.
Menurut Fransiska Limbong yang juga Pimpinan Proyek Sulsel 1 yang membawahi proyek ini saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu mengatakan, “Rencana awal lahan warga yang akan dibebaskan seluas 101 namun karena keterbatasan anggaran Perumnas hingga memasuki tahun ke delapan masih tersisa sekitar 25 hingga 30 hektar”.
Sejak 2015, pembebasan lahan dilakukan berharap dan sudah ada 107 bidang tanah yang terbayar dengan total anggaran negara yang digelontorkan sebesar 128 miliar dari Pagu anggaran senilai 168 miliar berdasarkan penjelasan penyidik Kejaksaan Negeri Maros yang sebelumnya sempat melakukan penyelidikan kasus ini.
Berdasarkan informasi yang terverifikasi diketahui dalam pelaksanaan proyek pembebasan ini tidak dibentuk panitia pembebasan amanat UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum melainkan lewat Pembebasan Langsung padahal lahan yang tencana awalnya akan dibebaskan luasnya mencapai ratusan hektar (101 Ha). Tindakan Perumnas jelas bertentangan dengan peraturan yang berlaku atau merupakan perbuatan melawan hukum. Begitu pula dalam penetapan nilai ganti rugi pihak Perumnas tidak melibatkan appraisal. Soal tidak dibentuknya panitia pembebasan serta tidak dilibatkannya appraisal.
Kami minta hal tersebut dipastikan penyidik mengingat dua fakta ini saja bila terbukti benar menunjukkan kalau unsur perbuatan melawan hukum sebagai salah satu unsur korupsi telah terpenuhi.
Berdasarkan penjelasan penerima ganti rugi yang ditemui di lapangan, besaran jumlah ganti-rugi simpang siur karena ketidakjelasan indikator yang digunakan pihak Perumnas terutama disebabkan karena tidak melibatkan appraisal.
Selain tidak adanya standar obyektif karena tidak dilibatkannya appraisal dalam menilai lahan warga juga di lapangan ditemukan dugaan pemotongan dana pembebasan seperti dari kesepakatan harga sebesar Rp. 146 ribu per meter dipotong 15 ribu per meter untuk administrasi pengurusan.
Hal penting lain yang kami temukan di lapangan adalah Surat Keterangan Garapan seluas 100 hektar lebih atas nama Hj. SM dkk yang ditandatangani Camat Turikale di Tahun 2014. Fakta ini jelas bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Terkait hak garap seluas 100 hektar lebih ini diduga dibuat sebagai pijakan bagi Perumnas untuk tidak merasa wajib membentuk panitia pembebasan karena tinggal bernegosiasi dengan satu orang yang atas nama pemegang hak garap. Dari sini dugaan rekayasa secara sistematis dimulai.
Kepala Departemen Pertanahan Perumnas Regional Sulsel, Hanny A Joardin yang diminta klarifikasi lewat pesan whatsApp namun justru terkesan menghindar dan meminta kami penasihat hukum Perumnas. Begitu pula saat didatangi ke Kantor Perumnas Regional Sulsel di Jalan Poros BTP yang bersangkutan tidak pernah berada di tempat dan terkesan menghindar. Fransiska Limbong yang merupakan Pimpinan Proyek Pembangunan Perumnas berhasil ditemui di Kantor Perumnas di BTP saat ditanya selalu melempar tanggung-jawab pada Hanny A Joardin selaku Kepala Departemen Pertanahan.
Berdasarkan pengakuan warga serta copy dokumen yang beredar di masyarakat harga ganti rugi per meter sebesar 148,628 tanpa mempertimbangkan zonasi. Penetapan ini sangat mengherankan publik, bagaimana misalnya tanah kelas satu yang berada di pinggir jalan poros propinsi dinilai sekecil itu. Bandingkan misalnya dengan ganti rugi pembebasan kereta api dengan lahan berada jauh di belakang secara umum dihargai pada kisaran antara 250 ribu hingga 450 ribu per meternya. Carut penetapan nilai ganti rugi diduga karena tidak dilibatkannya appraisal untuk melakukan kajian perkiraan nilai ganti kerugian oleh Perumnas.
Kantor Hukum Rusdy Talha & Partners yang mengawal kasus ini menengarai beberapa pola yang diduga sebagai modus praktik korupsi di lapangan, antara lain: Pertama, adanya pemotongan biaya administrasi dana ganti rugi sebesar 13 ribu per meter dari total 164,628 yang seharusnya diterima warga. Kedua, adanya warga yang disodori total harga ganti rugi keseluruhan lahan garapannya tanpa perincian mengena luas maupun hitungan harga ganti rugi per meter-nya. Ketiga, indikasi adanya tekanan agar melepas lahannya karena status warga hanya sebatas penggarap. Keempat, menjelang pembebasan diduga terjadi penerbitan hak garap secara masif tanpa memastikan terlebih dahulu apakah obyek tersebut berstatus tanah garapan, tanah negara atau terdapat hak adat di atasnya dan seterusnya.
Selain modus di atas juga diduga terdapat pemalsuan dokumen obyek pembebasan. Salah satu temuan RusdyTalha.Com di lapangan adalah foto copy bukti pembayaran ganti rugi sebesar 1,7 miliar atas nama AK dengan luas lahan 358 m2. Berdasarkan foto copy Surat Keterangan Garapan Tanah No. 35/01.1002/VII/2014 tertanggal 29 Desember 2014 dan ditandatangani Kepala Lingkungan Tete Batu, Lurah Bontoa dan Camat Mandai disebutkan bahwa AK, umur 30 tahun telah menggarap obyek ganti rugi secara terus menerus sejak 1990.
Kalau merujuk pada tahun penerbitan Surat Keterangan Garapan yang dibuat 2014 dimana umur AK saat itu 30 tahun maka bisa dipastikan AK lahir 1984. Dan bila AK mulai menggarap obyek pembebasan sejak 1990 sebagaimana disebutkan dalam Surat Keterangan Garapan maka dapat pula dipastikan AK sudah penggarap obyek pembebasan sejak berumur 6 tahun. Kalau hal ini benar ini maka fakta ini cukup mencengangkan dan di luar nalar sehingga wajib didalami lebih jauh oleh aparat penegak hukum untuk memastikan kemungkinan terjadi perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Meminjam definisi Menteri Polhukam, Mahfud MD mengenai mafia tanah, Mahfud yang punya gagasan besar memberantas praktik mafiah tanah lewat Satgas Anti-Mafia Tanah merumuskan definisi mafia tanah sebagai tindakan mereka yang tidak memiliki tanah lalu berkolaborasi dengan oknum penentu kebijakan dengan memanfaatkan mekanisne hukum untuk mengambil tanah negara atau tanah masyarakat. Mahfud mencontohkan ratusan bahkan ribuan hektar tanah negara yang tidak pernah dialihkan tiba-tiba sudah dibagi-bagi swasta dengan bukti pemilikan yang sah secara hukum.
Mahfud MD bermaksud menunjukkan fakta bagaimana mereka yang dikategorikan sebagai mafia tanah bekerja tidak cara kekerasan fisik atau pemaksaan dengan cara misalnya memaksa masyarakat menyerahkan paksa tanah mereka melainkan dengan memanfaatkan institusi penegak hukum seperti pengadilan untuk menguasai tanah masyarakat atau negara dengan bekerja sama dengan oknum di institusi negara dari kelurahan hingga BPN untuk mempersiapkan dokumen resminya.
Secara sederhana kategori mafia tanah dalam definisi Mahfud MD adalah mereka yang memiliki kemampuan berkolaborasi dengan oknum pengambil keputusan atau pemegang otoritas di bidang pertanahan serta mampu memanfaatkan institusi penegak hukum untuk menjadikan instrumen hukum sebagai justifikasi dalam mengambil alih atau menguasai tanah milik masyarakat atau negara secara legal.
Melihat praktik serta pola pembebasan lahan yang dilakukan pihak Perumnas sekalipun mewakili kepentingan negara atau BUMN namun terlihat pola yang sama dengan praktik mafia tanah dimana tanah rakyat diambil alih lewat cara yang diduga melanggar hukum dan sistematis termasuk melibatkan pihak lain yang tidak berkepentingan sehingga berakibat merugikan masyarakat dan negara.
Sejak dilaporkan resmi pada bulan November 2022 lalu hingga saat ini belum menunjukkan progres signifikan. Beberapa pihak berdasarkan dokumen yang dilampirkan dalam laporan belum dilakukan pemanggilan serta klarifikasi mendorong publik melalui kesempatan ini meminta Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel (Kajati) mengawasi langsung proses penyelidikan hingga penuntasan kasus ini.