Reaktualisasi Pangaderan di Era Post Truth

Kerukunan Keluarga Soppeng (KKS) kembali melantik dan mengukuhkan pengurus baru untuk Periode 2022-2028 di Hotel Claro Makassar dua hari lalu, 18 Maret 2023. Pasca dua periode di bawah nahkoda Prof. dr, Syarifuddin Wahid, selanjutnya tongkat estafet kepemimpinan organisasi yang memayungi seluruh warga Soppeng termasuk diaspora Soppeng di perantauan kini berada di pundak Irjen Pol (Purn) Dr. Burhanuddin Andi,M.H., yang akrab disapa Pung Bur.

Pelantikan dan pengukuhan pengurus yang terbilang mewah dan sangat meriah digelar di Hotel Claro, Sabtu, 18 Maret 2023 dirangkaikan dengan Rakernas dengan tema; ‘Reaktualisasi Nilai Pangaderan dalam Menciptakan Tertib Sosial Lewat Assimaturuseng” berlangsung esok hari, Minggu, 19 Maret 2023 di tempat yang sama.

Terkait tema kegiatan, di depan awak media, Ketua Harian KKS terpilih, Dr. Andi Jaya Sose, SE, MBA, menjelaskan pemilihan tema dilatari realitas pentingnya reaktualisasi pangaderan untuk mewujudkan tertib sosial lewat assimaturuseng. Prof. Dr. Pawennari Hijjang M.A., Guru Besar Antropologi Unhas yang juga tokoh penting di KKS saat ditanya, beliau sepakat kalau tema yang diusung panitia sangat menarik.

Dalam beberapa kesempatan Andi Jaya menyinggung pentingnya reaktualisasi nilai pangaderan di era post-truth. Mengapa post-truth, seberapa relevan post-truth dibicarakan dalam konteks reaktualisasi pangaderan dan seterusnya.

Post-truth atau pasca kebenaran adalah keadaan dimana masyarakat tidak terlalu peduli lagi dengan kebenaran. Atau dengan kata lain kondisi dimana kebenaran bukan lagi monopoli kaum cerdik cendekia atau alim ulama sebagaimana telah berlangsung selama ratusan tahun.

TERKAIT:  Polemik Pembangunan Infrastruktur dan Visi Chaidir Syam untuk Masa Depan Maros

Melemahnya otoritas tokoh tradisional menyangkut tafsir atas pemahaman mengenai adat secara signifikan berimbas ke komunitas paguyuban seperti KKS. Saya menduga kegamangan ini yang melatari mengapa Ketua Harian KKS merasa perlu menyinggung masalah ini sebagai bagian dari agenda seremonial mereka.

Namun harus diakui umumnya peserta Rakernas tidak menangkap pesan penting dari isu yang dikemas sebagai tema acara. Padahal eksistensi serta masa depan diaspora Soppeng sangat ditentukan salah satunya kemampuan adaptik (kohesivitas) yang sebenarnya tersimpan dalam pangaderan. Tanpa memahami kearifan lokal dalam pangaderan potensi “konflik” antara sesama perantau juga dengan masyarakat setempat menjadi terbuka.

Adalah Tom Nichols, ilmuwan Amerika menyebut kondisi saat ini dengan penuh  kecemasan dalam bukunya sebagai “The Death Of Expertise”. Tom menyoroti publik luas yang lebih mendengarkan suara para micro-celebrity di medsos tinimbang para pakar yang jelas-jelas memiliki kompetensi.

Cerita Andi Jaya soal bagaimana orang Soppeng sejak dahulu mampu beradaptasi dengan masyarakat setempat di perantauan karena berbekal pangaderan sepertinya kelak hanya akan jadi kisah pengantar tidur bagi generasi millenial Soppeng. Dalam menggambarkan keluhuran prilaku para diaspora Soppeng, Andi Jaya suka mengutip ungkapan yang sangat populer di kalangan diaspora Soppeng, “Di mana perahu orang Soppeng tertambat di sana kesan disemai”. Sayangnya apa digambarkan Andi Jaya dengan penuh kebanggaan ini sepertinya hanya tinggal petatah petitih yang tak lagi ditemui dalam prilaku orang Soppeng di perantauan kelak seiring raibnya pangaderan sebagai karakter khas perantau Soppeng.

TERKAIT:  Yusril dan Kisah Merpati yang Menuntut Keadilan

Kisah sukses orang Soppeng di tanah rantau yang dengan bekal spirit pangaderan mampu berperan sebagai perekat diantara orang Soppeng sebagai pendatang dengan masyarakat setempat. Etos kerja yang terkandung dalam pangaderan seharusnya mampu memecut para diaspora mengejar kesuksesan, atau dalam istilah McClelland, “Need for Achivment”. Kebutuhan untuk berprestasi karena malu pulang kampung dengan tangan kosong adalah kunci sukses para perantau. Dengan spirit, “Nawa-nawapa nagau resopa temmangingi namalomo naletei pammase dewata” jika terinternalisasi dalam diri setiap diaspora niscaya di tanah rantau mereka pasti mampu menunjukkan prestasi terbaiknya.

Sayangnya Andi Jaya tidak mengelaborasi lebih jauh masaiah pangaderan ini, bagaimana menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari atau mengaktualisasikannya, tepatnya mentransformasinya di era post-truth agar bisa tetap eksis di tengah kehidupan sosial yang semakin individualis, hedonis serta transaksional. Sementara nilai pangaderan dibangun di atas pondasi solidaritas sosial berbasis emosional sebagai sesama orang Soppeng.

Sejauh mana kisah sukses orang Soppeng di perantauan karena memegang teguh pangaderan itu masih mungkin diteladani di era post-truth menjadi kecemasan banyak pihak. Suka atau tidak fenomena post-truth telah memporak-porandakan nilai dasar dari pangaderan seperti penghormatan terhadap senioritas atau para tetua adat dalam menentukan tafsir atas ketentuan adat.  Di era post-truth tetua adat “dipaksa” berhadapan dengan realitas sosial untuk menerima tafsir berbeda dari pihak lain yang karena status ekonomi atau kepopuleran di media sosial lebih didengar publik.

TERKAIT:  Pernyataan Saksi & Tersangka Kasus Penipuan 2,4 M Serta Kesan Berpihak Kasat Reskrim Polres Banggai

Perspektif  ini yang bisa menjelaskan pendapat Bupati Soppeng, Drs. Andi Kaswadi Razak, SE, saat memberi sambutan pada pelantikan pengurus KKS mengenai aturan adat penggunaan Songkok Recca’. Bagi Andi Kaswadi, pemakaian Songkok Recca’ harus berdasarkan tata cara yang diatur secara pangaderan.

Berbeda dengan Andi Kaswadi, umumnya masyarakat lebih mendengar dan meneladani para pesohor yang memakai Songkok Recca’ sebatas sebagai aksesoris pelengkap penampilan atau sebatas fashion tanpa peduli aturan adat. Inilah realitas post-truth yang oleh Tom Nichols disebut “The death of expertise” dimana para selebriti dunia maya lebih didengar dan dipanuti dibanding penjelasan para pemangku adat yang jelas-jelas lebih memahami permasalahan terkait seluk-beluk pangaderan.

Masalah lain yang tak kalah dahsyatnya menggempur pangaderan adalah budaya kosmopolitan yang makin digandrungi terutama kaum millenial. Kegilaan kaum millenial pada budaya luar tidak hanya terbatas pada budaya kosmopolit yang bergenre pop cultre melainkan hingga pada hal yang jauh rumit seperti ketertarikan kaum millenial pada pemikiran liberal yang sangat kritis terhadap adat karena dianggap mengangkangi kebebasan dan bersifat feodal, dan seterusnya.

Ungkapan “Yassisoppengi” dalam bingkai twybon kembali meramaikan media sosial terutama di group whatsApp komunitas Soppeng dalam rangka memperingati hari jadi  Soppeng.

Menariknya ungkapan “Yassisoppengi” viral di tengah debat panas atas kehadiran KKBS (Kerukunan Keluarga Besar Soppeng) yang juga mengklaim sebagai representasi keluarga besar Soppeng di luar KKS yang eksis sejak 1946.