Konflik agraria yang terjadi di Kawasan Hutan Laposo Niniconang yang terletak di Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng antara petani yang mendiami dan menguasai lahan secara turun temurun dengan negara sudah berlangsung lama.
Konflik ini kembali memakan korban dari pihak warga, dua warga kembali ditetapkan sebagai tersangka karena mengambil atau menebang kayu dalam areal hutan lindung. Warga mengklaim kepemilikan serta penguasaan lahan yang diwarisi turun temurun dan digarap jauh sebelum republik ini lahir.
Sementara di sisi lain sejak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung oleh pemerintah otomatis seluruh aktivitas penebangan kayu dalam lahan petani dinyatakan ilegal dan diancam pidana sekalipun sebatas untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti membangun rumah serta untuk keperluan sehari-hari.
Berawal di 2017 ketika 4 (empat) petani warga Desa Umpungeng ditetapkan tersangka dan ditahan oleh Penyidik Gakkum KLHK (Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan) namun dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Soppeng karena pertimbangan JPU salah menerapkan pasal. Menurut Supriansa Mannahawu, Anggota Komisi III DPR RI yang juga putra daerah Soppeng ini sangat tidak adil karena meskipun dinyatakan bebas oleh pengadilan namun petani tersebut telah menjalani penahanan.
Pasca bebasnya 4 (empat) petani di 2018, giliran Penyidik Kepolisian Resort Soppeng mentersangkakan 3 (tiga) warga Desa Umpungeng dengan tuduhan yang sama, tindak pidana ilegal loging. Berbeda dengan 4 petani sebelumnya yang dinyatakan bebas, 3 (tiga) petani warga Umpungeng ini justru dinyatakan terbukti bersalah melakukan ilegal loging dan divonis 3 (tiga) bulan penjara. Dan tahun ini Penyidik Polres Watansoppeng kembali mentersangkakan 2 (dua) orang yang diduga pelaku ilegal loging yang kasusnya masih berproses di tahap penyidikan.
Supriansa Mannahawu, Anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) Sulsel II meliputi Maros, Pangkep, Barru, Parepare, Soppeng, Wajo, Bulukumba dan Sinjai pada Rapat Kordinasi dengan KOMNAS HAM kembali menyuarakan keprihatinannya mengenai nasib warga Desa Umpungeng di Kabupaten Soppeng. Supriansa yang menempati Komisi III dengan lingkup tugas di bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan sejak mahasiswa dikenal sangat peduli pada petani dan rakyat kecil ini tak pernah lelah menyuarakan ketidakadilan agraria di tanah kelahirannya semenjak pertama kali menginjakkan kaki di Senayan.
Penguasaan negara atau pengambilalihan tanah warga oleh negara memperoleh legitimasi pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dimana atas alasan kepentingan umum atau kemaslahatan orang banyak negara berhak menguasai tanah, air serta seluruh kekayaan yang ada di dalamnya. Dasar penguasaan negara ini yang menjadi sumber konflik antara negara dan masyarakat lokal, terutama dengan masyarakat adat terkait hak ulayat.
Saat ini dipastikan tidak ada lagi kebijakan negara mengeluarkan warga yang berada di dalam maupun di sekitar hutan, apa lagi keberadaan masyarakat tersebut jauh sebelum penetapan status hutan lindung. Terkait masyarakat adat dan hak ulayat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah berupaya setiap tahunnya menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah untuk menetapkan Perda terkait masyarakat hukum adat. Berdasarkan data KLHK, sampai Mei 2020 KLHK telah menetapkan 66 unit hutan adat dengan luas keseluruhan kurang lebih ± 44.630 hektar, sehingga memberikan manfaat bagi kurang lebih ± 36.519 Kepala keluarga (KK). Dalam hutan adat, masyarakat adat berhak memungut hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari serta mengelola hutan berdasarkan kearifan lokal yang diatur berdasarkan aturan adat dan tentu saja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang mengatur keberlanjutan ekosistem hutan.
Mengingat Desa Umpungeng tidak didiami masyarakat adat, apakah dimungkinkan dikeluarkan dari areal hutan lindung untuk mencegah konflik berkepanjangan dimana warga menjadi korban sebagaimana yang diperjuangkan Supriansa?
Secara yuridis mengeluarkan desa yang berada dalam kawasan hutan lindung dimungkinkan dengan bertimbangan yang ketat, diantaranya status lahan dikuasai warga secara turun temurun dalam rentang waktu yang lama, kemungkinan dampak ekologis ditimbulkannya tidak siginfikan. Atau dalam desa tersebut terdapat fasilitas publik yang dibangun pemerintah seperti sekolah dan seterusnya. Kebijakan mengeluarkan desa yang berada dalam hutan atau dikenal dengan sistem enclave bisa direalisasikan selama persyaratannya terpenuhi. Selain sistem enclave untuk melindungi warga desa yang berada dalam kawasan hutan lindung dari tindakan kriminalisasi, masih dimungkinkan lewat pembentukan Perda Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan warga memungut manfaat dari hasil hutan tanpa merusak ekosistem hutan.
Masalahnya apa yang diharapkan warga Umpungeng sebagaimana disuarakan Supriansa Mannahawu masih sebatas retorika. Untuk mengeluarkan desa Umpungeng dalam kawasan hutan lindung harus diperjuangkan melalui pengusulan pemerintah daerah ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sementara untuk status Hutan Kemasyarakatan harus diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah.
Hingga saat ini warga Desa Umpungeng belum melihat langkah kongkrit pemerintah daerah maupun DPRD Kabupaten Soppeng memperjuangkan nasib mereka. (RT)