Pelaksanaan Mubes IKA Unhas untuk memilih ketua umum yang rencananya akan digelar awal tahun depan rupanya dihadang masalah serius. Kurang dari dua bulan menjelang pelaksanaan sebagian alumni masih sibuk memperdebatkan lokasi penyelenggaraan Mubes.
Peserta Mubeslub yang berlangsung di Jakarta beberapa waktu lalu memutuskan Jakarta sebagai tempat pelaksanaan Mubes berikutnya. Sementara alumni di daerah terutama di Kota Makassar bersikukuh menginginkan Kota Makassar sebagai tempat penyelenggaraan Mubes.
Dengan mempertimbangkan jumlah terbesar alumni, aspek historis, netralitas hingga momentum mengenang kembali romansa masa-masa bermahasiswa membuat pilihan Mubes digelar di Kampus Unhas Tamalanrea Makassar diamini mayoritas alumni termasuk yang tinggal di luar Sulsel.
Di tengah perdebatan panas penyelenggaraan Mubes sebuah polling dengan pertanyaan, “Apakah Setuju Pak JK Kembali Jadi Ketua IKA Unhas?” diedarkan di media sosial dengan hasil sementara 100,0% menghendaki JK kembali menjabat Ketua IKA.
Munculnya gagasan yang menginginkan JK kembali memimpin IKA di tengah semangat melakukan pembenahan total terhadap tata kelola organisasi yang dimotori anak-anak muda merupakan tamparan keras terhadap akal sehat dan demokrasi. Bagaimana tidak JK sendiri menolak untuk memimpin IKA karena menyadari pentingnya penyegaran di tubuh IKA setelah 30 tahun lebih dinahkodainya. Bahkan secara terbuka JK mempersilahkan alumni membicarakan sistem pemilihan ketua umum termasuk kemungkinan penerapan mekanisme one man one vote bila dikehendaki. Mengenai penolakan JK untuk melanjutkan kepemimpinannya sudah disampaikannya dalam beberapa kesempatan.
Melihat pertanyaan yang diajukan berikut hasil polling sementara terasa aroma provokasi terhadap alumni sekaligus upaya mengompor-ngompori JK untuk kembali memimpin IKA. Dengan klaim mengantongi suara mayoritas alumni, mereka yang berada dibalik polling bermaksud menyakinkan JK kalau mayoritas menghendaki JK kembali memimpin IKA, persis yang dilakukan Harmoko pada saat Pak Harto menyadari tak lagi dikehendaki rakyat.
Menjelang Pemilu 1998, Pak Harto sebenarnya sudah berniat mundur. Beliau bertanya, apakah rakyat masih menginginkannya menjadi presiden, dan kalau tidak Pak Harto siap lengser keprabon.
Dengan menyodorkan sejumlah data Harmoko berusaha meyakinkan Pak Harto bahwa rakyat masih menginginkannya dan tidak ada calon lain yang pantas menduduki jabatan tersebut. Sialnya Pak Harto termakan bujuk rayu Harmoko dan bersedia kembali dicalonkan sebagai presiden untuk periode berikutnya.
Dan kita semua tahu akhir kisah tragis ini, Harmoko pula yang dengan tegas menyampaikan langsung ke hadapan publik bahwa dia ingin Pak Harto turun.
Membandingkan kisah kejatuhan Pak Harto dengan strategi bujuk rayu lewat polling untuk meyakinkan JK masih diinginkan alumni memimpin IKA tentu tidak persis sama karena beda konteks. Namun strategi menyodorkan data untuk meyakinkan Pak Harto memiliki kesamaan pola dengan strategi polling dengan maksud menggelembungkan ego JK agar kembali bersedia menahkodai IKA Unhas.
Mereka yang berada dibalik polling bisa saja berdalih kalau tujuan polling murni ingin memastikan keinginan alumni. Alasan ini selain tidak relevan juga sulit dicerna akal sehat karena JK sendiri sudah menyatakan secara terbuka menolak dicalonkan untuk masa periode berikutnya karena salah satunya alasan regenerasi.
Munculnya polling juga bisa dijelaskan lewat sudut pandang konservatisme yang pada dasarnya tidak toleran terhadap perubahan yang sifatnya prinsipil dengan cara radikal. Berbeloknya arah reformasi dari tujuan awal untuk melakukan perombakan total terhadap tatanan berbangsa dan bernegara tersandera akibat ulah kaum konservatif yang pro status quo.
Harmoko sebagai pihak yang diuntungkan selama orde baru berkuasa berupaya mati-matian mempertahankan Pak Harto.
Namun ketika desakan mundur terhadap Pak Harto tak bisa lagi dibendung, kita semua tahu siapa yang paling pertama meraih pelampung. (RT)