Foto: Koper Yang Digunakan IT Menyerahkan 1,8 M Ke IC
Didesak Penasihat Hukum korban untuk segera menetapkan tersangka lain dalam kasus dugaan penipuan 2,4 M yang proses penyelidikannya sudah berlangsung satu tahun, Kasat Reskrim Polres Banggai Iptu Tio Tondy merespon: “Kita masih menunggu keterangan ahli pidana,” dikutip dari Sangalu.Com, Selasa, 2 Mei 2023.
Saat dikonfirmasi terkait pernyataan Kasat Reskrim Polres Banggai ini, Penasihat Hukum korban, Rusdy Talha menjelaskan kalau kasus ini terbilang sederhana, proses pembuktiannya pun tidak rumit sehingga tanpa didukung keterangan ahli sekalipun penetapan serta penambahan jumlah tersangka bisa dilakukan.
Faktanya, saat penyidik menetapkan IT sebagai tersangka beberapa waktu lalu penyidik tidak membutuhkan keterangan ahli.
Dengan ditetapkannya IT sebagai tersangka itu artinya berdasarkan hasil gelar perkara penyidik berkesimpulan kalau peristiwa yang dilaporkan korban termasuk peristiwa pidana dan IT memenuhi unsur sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya penyidik tinggal memastikan peran IC dan SB serta yang lain dalam rangkaian peristiwa pidana tersebut dalam konteks delik penyertaan. Apakah yang bersangkutan termasuk pelaku (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang turut serta (medepleger), atau penganjur (uitlokker).
Lagi pula yang menentukan peran penyertaan serta siapa tersangka berikutnya bukan kewenangan ahli melainkan penyidik sehingga pernyataan keharusan menghadirkan ahli atau menunggu keterangan ahli terlebih dahulu sebelum memetapkan tersangka berikutnya tidak memiliki landasan yuridis serta argumen rasional yang kokoh.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya oleh penasihat hukum korban bahwa mengutip penjelasan IT, IC merupakan otak dalam peristiwa ini yang dalam perspektif penyertaan IC merupakan uitlokker atau aktor intelektual.
Untuk menyegarkan ingatan netizen penting kembali mengutip penjelasan berita sebelumnya dalam Rusdy Talha.Com, 29 April 2023, dengan judul: “Perempuan Tersangka Penipuan Miliaran di Luwuk Banggai Menyebut Perempuan Lain Sebagai Aktor Intelektual”.
” Lebih jauh IT menjelaskan kronologis terjadinya penipuan bermula ketika IT menyampaikan pada IC yang juga rekan bisnisnya kalau dirinya bermaksud mencari dana di Palu yang oleh IC disuruh menghubungi korban dengan mengatakan: “Tidak usah jauh-jauh ke Palu hubungi saja korban karena ada uangnya”. Berdasarkan arahan IC tersebut IT menjalankan aksinya dengan mula-mula menghubungi korban lewat HP milik IC dengan menawarkan proyek fiktif kepada korban.
Sekitar dua hari pasca bicara dengan korban melalui Hp IC, IT mendatangi korban dan menawarkan Proyek MPS 1 (Man Power Supply) senilai Rp. 2.1 M pada korban dengan mengatakan, “Ini sebenarnya proyeknya IC kenapa bukan korban saja yang ambil”. Oleh korban dijawab, “Saya tidak punya dana tunai sebesar itu”.
Selanjutnya korban dan IT berhasil mengajak SB bergabung. Dalam kerjasama ini disepakati, korban dan SB masing-masing menyerahkan 1,05 M dengan janji keuntungan sebesar 650 juta. Uang 2,1 M tersebut diserahkan dua hari kemudian secara tunai pada IT.
Dari dana yang diserahkan ke IT secara tunai yang totalnya senilai 2,1 M tersebut pada hari itu juga sebesar 1,8 M diserahkan secara tunai ke IC dengan disaksikan suami IT. Sementara sisanya sebesar 300 juta dipakai IT sendiri. Padahal Proyek MPS (Man Power Supply) senilai Rp. 2.1 M yang ditawarkan IT ke korban adalah proyek fiktif.
Terkait keterlibatan IC dalam kasus ini berdasarkan penjelasan IT, peran IC sangat dominan bahkan dalam istilah IT, otak kasus ini adalah IC karena sejak awal mengarahkan IT yang tidak mengenal korban serta mengikuti setiap proses serta langkah IT hingga penyerahan dana hasil tindak pidana penipuan yang berproses tidak sampai satu minggu.
Sejak IT menghubungi korban, IC terus mengikuti setiap pergerakan IT, sedang melakukan apa, bersama siapa dan di hotel mana, termasuk saat melakukan penandatanganan kesepakatan di Kantor Notaris hingga penyerahan dana secara tunai oleh korban ke IT terus dipantau oleh IC melalui komunikasi telepon dengan IT.
Itu sebabnya di hari yang sama dan hanya berselang hitungan jam dengan penyerahan dana dari korban ke IT, IC meluncur langsung menemui IT di rumah suaminya di Desa Lamo mengambil 1,8 M dari total hasil penipuan sebesar 2,1 M.
Berdasarkan kesaksian IT dan suaminya, IC datang malam-malam bersama suaminya mengambil dana hasil penipuan dengan mengendarai mobil berwarna merah. Uang hasil kejahatan senilai 1,8 M yang disimpan dalam koper berwarna kuning diserahkan IT ke IC di dalam mobil disaksikan oleh suami IT serta suami IC. Setelah digunakan koper tersebut kemudian dikembalikan IC dan sekarang masih tersimpan di rumah suami IT. Begitu juga dengan suami IT yang berdasarkan informasi belum diperiksa sampai hari ini”.
Lantas dengan konstruksi yang terang benderang seperti itu di mana letak relevansi keharusan menghadirkan ahli untuk didengar keterangannya?
Meskipun disadari pentingnya ahli pidana dalam proses penyelidikan kasus untuk membuat terang suatu perkara, namun pemahanan mengenai pentingnya menghadirkan ahli lebih terkait dengan tingkat kerumitan kasus yang dihadapi semisal kebutuhan ahli kedokteran forensik yang melakukan autopsi terhadap mayat kaitannya dengan dugaan pembunuhan akibat diracun, ahli terkait tehnik perakitan bom, ahli ITE atau perbankan dan seterusnya. Tapi jika sekadar memastikan peran masing-masing pelaku seperti dalam kasus penipuan yang sedang dihadapi rasanya tidak dibutuhkan keterangan ahli apa lagi harus membutuhkan rentang waktu satu tahun proses penyelidikan.
Harusnya dalam proses penyelidikan kasus ini sambil menggunakan kewenangan diskresional penyidik dalam hal restorative justice apa lagi sejak awal pihak korban juga mengharapkannya, penyidik seharusnya melengkapi seluruh alat bukti yang terkait dengan kasus sehingga setiap saat jika restorative justice gagal proses penyelidikan dengan cepat bisa diteruskan. Lagi pula proses restorative justice tidak hanya bisa digelar ditahap penyelidikan tapi juga penyidikan bahkan di tingkat pra penuntutan di institusi kejaksaan.
Prioritas penerapan restorative justice sama sekali tidak bisa dijadikan alasan terus menerus penunda penetapan tersangka serta penahanan terhadap pelaku. Justru penyematan status tersangka serta penahanan terhadap pelaku bisa jadi efektif mewujudkan pelaksanaan restorative justice.
Penjelasan Kasat Reskrim Polres Banggai mengenai alasan menunggu keterangan ahli terlebih dahulu menjadi sulit dipahami publik terutama pihak korban yang tak kunjung memperoleh keadilan. Sikap penyidik membuat korban terombang-ambing dalam ketidakpastian dan merasa lelah serta mulai putus asa memperjuangkan keadilan. Nasib korban bak pepatah, “Sudah jatuh tertimpa tangga pula”.