Sambo dan Bangsa yang Tak Belajar dari Momentum

Manfaat apa yang bisa diperoleh dari hiruk pikuk kasus Sambo?

Apakah hiruk pikuk ini akan berhenti seiring proses hukum semua pihak yang terlibat adalah pertanyaan yang terus berulang di benak banyak orang setiap kali terjadi peristiwa yang menyeret institusi kepolisian. Atau jangan-jangan seperti yang lalu-lalu, kasus Cicak vs Buaya misalnya. Setelah euforia selesai semuanya kembali ke keadaan semula. Proses penegakan hukum kembali pada apa yang sebelumnya secara metaforik oleh publik disebut tebang pilih atau “tumpul ke atas tajam ke bawah” dan seterusnya.

Bangsa ini tak pernah betul-betul belajar memanfaatkan momentum dengan baik. Bahkan untuk momentum sangat strategis saat kejatuhan rezim orde baru di tahun 1998 yang juga menjadi penanda orde reformasi hanya mampu melahirkan sejumlah agenda bersama yang dikemas dalam berbagai jargon seperti good and clean governance, rule of law, penghormatan terhadap demokrasi dan HAM.

Berbagai agenda reformasi yang ditandai dengan lahirnya sejumlah lembaga kuasi negara (state auxalary bodies) sebagai instrumen demokrasi seperti KPU, Komnas HAM, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dewan Pers, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan untuk memutus budaya birokrasi yang selalu tunduk pada kekuasaan tidak sepenuhnya mampu melahirkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Sebaliknya komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang transparan, bersih dan akuntabel dengan mudah kembali terjerembab pada oligarki yang justru makin menggurita.

TERKAIT:  Ada Sofjan Wanandi & Chairul Tanjung di MWA Unhas

Prestasi yang diraih rezim reformasi dalam peningkatan indeks kebebasan, demokrasi serta penghormatan pada HAM dari berbagai lembaga internasional seperti Freedom House serta lembaga prestisius lainnya pun tak sepenuhnya mampu mencermingkan realitas sebenarnya. Beberapa kasus penting yang dituntut penuntasannya oleh publik seperti penembakan mahasiswa Trisakti atau pembunuhan Munir hanya menjadi carry over yang tidak pernah tuntas hingga beberapa kali terjadi pergantian presiden.

Harus diakui salah satu prestasi terbaik orde reformasi adalah lepasnya institusi kepolisian dari ABRI. Kultur militer yang keras dan didesain untuk menjaga keamanan serta pertahanan negara dari berbagai ancaman yang datang dari luar diadaptasi oleh kepolisian yang justru memiliki tugas utama memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melayani dan mengayomi masyarakat serta menegakkan hukum tanpa pandang bulu dengan berpedoman pada nilai-nilai demokrasi dan penghormatan pada HAM. Hanya saja dalam realitas masih jauh panggang dari api.

Fenomena Sambo dalam institusi penegak hukum bukan hal yang terlalu mengejutkan. Posisi Kadiv Propam merupakan posisi strategis yang akan dikerubuti oleh mereka yang ingin mengamankan bisnis maupun kekuasaannya, termasuk mereka yang memiliki aktivitas atau bisnis yang berada di grey area hingga ilegal. Akibatnya posisi Kadiv Propam atau Kabareskrim Polri misalnya menjadi tempat orang-orang berkerumun terlepas siapa pejabatnya. Kebetulan saja karakter Sambo tak cukup dingin untuk kursi panas Kadiv Propam.

TERKAIT:  Sosial Media dan Matinya Kepakaran

Fenomena Sambo lebih mudah dibaca dalam konteks macetnya reformasi di tubuh institusi kepolisian tinimbang misalnya meyakini rumor yang beredar di medsos mengenai kehebatan Sambo yang bak kisah seribu satu malam berhasil membangun kekaisaran di tubuh Polri.

Persoalannya lagi-lagi adalah mungkinkah kasus Sambo bisa menjadi momentum mengevaluasi secara radikal termasuk kembali mempertimbangkan gagasan lama menempatkan institusi kepolisian di bawah kementerian dalam negeri. Akibat terlalu lama di bawah kendali militer mental aparat kepolisian sulit bertransformasi menjadi sipil sehingga ketinggalan dari birokrasi kementerian yang lambat laun makin menyadari eksistensinya sebagai public servan atau hamba publik yang bertugas melayani, bukan minta dilayani. Mentalitas tuan ini yang diharapkan bisa ikut lebur dengan birokrasi ketika menjadi bagian dari Kemendagri.

Inkonstitusionalitas sebagai argumen penolakan oleh para pakar terhadap penempatan kepolisian di bawah kementerian makin kehilangan relevansi di tengah kebutuhan publik akan layanan prima serta tuntutan perlakuan secara adil di depan hukum. Sementara institusi kepolisian tak kunjung menampakkan tanda-tanda hendak beranjak dari zona nyaman yang dijalaninya selama ini. Apa lagi jika dikaitkan dengan kemandirian Polri dalam penegakan hukum sebagai alasan penolakan berada di bawah Kemendagri sama absurnya.

TERKAIT:  Parade

Sejak kapan institusi kepolisian bisa bersikap netral bila menyangkut pemerintah sebagai pihak dalam konflik?

Institusi kepolisian masih menerapkan prinsip stabilitas sebagaimana saat masih berada di bawah angkatan bersenjata. Atas nama kestabilan ekonomi, politik dan keamanan semua yang menghalangi jalannya pembangunan harus ditertibkan. Meminjam Althusser, polisi merupakan repressive state apparatus yang bertugas menjaga stabilitas negara.

Beruntung hari ini kekuatan media serta opini publik mampu mendikte kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Terbongkarnya skenario Sambo tidak lepas dari kekuatan publik lewat media serta suara netizen. Pertanyaannya sekali lagi, mungkinkah kekuatan publik bisa diarahkan untuk melakukan perubahan secara radikal terhadap institusi kepolisian dengan menempatkannya di bawah Kemendagri hingga lahirnya generasi baru Polri yang terbebas dari residu budaya kekerasan yang tanpa sadar ditransmisi dari generasi ke generasi.

Kompolnas, Benny Mamoto sendiri mengakui kalau tradisi kekerasan turun temurun setidaknya hingga Polri resmi terpisah dari ABRI usai reformasi atau ketika ketika UU Kepolisian disahkan.

Pada akhirnya semua tergantung pada keputusan pemerintah dan tentu saja desakan media dan netizen.