HRS & Kesan Islam yang Tak Bersahabat dengan Sains

Kolot

Saya merasa tidak ada yang ganjil saat mendengar pernyataan Habib Rizieq Shihab selanjutnya HRS bahwa bumi tidak berputar mengelilingi matahari serta ancaman kematian bagi mereka yang meyakini sebaliknya. Pandangan HRS merujuk ijma’ salaf yang melibatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir, dua cendekiawan muslim terkemuka abad pertengahan. Sebaliknya mungkin sebagian orang akan merasa terheran-heran dengan diseretnya nama Ibnu Taimiyah sebagai tokoh yang terkesan anti sains. “Kaum bumi datar” adalah sinisme yang dilekatkan pada orang-orang yang menolak penjelasan sains jika dianggap bertentangan dengan pandangan ulama serta tafsir yang mereka anut.

Ibnu Taimiyah tentu saja bukan ahli dalam segala hal, termasuk astronomi. Karena itu tidak semua pendapat beliau mesti diamini hanya karena digolongkan sebagai ulama salaf, salah satunya paham geosentris yang dianutnya. Ibnu Taimiyah hidup pada abad pertengahan ketika sains dan ilmu pengetahuan belum berkembang sehingga tidak bisa dibandingkan dengan kemajuan sains di masa kini. Dalam hal geosentris Rizieq Shihab mengikuti Ibnu Taimiyah sebagaimana pengakuannya karena Taimiyah penganut Hambali, mazhab resmi yang dianut pemerintah Arab Saudi dan guru-guru Rizieq Shihab.

Rizieq Shihab meyakini dan memutlakkan pendapat Ibnu Taimiyah karena yang bersangkutan tergolong ulama salaf sekaligus dianggapnya sebagai guru. Seperti umumnya penganut wahabi yang menafsir Qur’an secara tekstual, Habib Rizieq tidak memahami aspek lain dari Ibnu Taimiyah yang meskipun dianggap peletak dasar paradigma Salafi justru banyak menginspirasi tokoh pembaharu, Fazlur Rahman dan Cak Nur diantaranya. Mohammad Hasyim Kamali dalam Islamic Thought misalnya, menyebut Taimiyah sebagai Aristotelan, sementara Syed Sulaiman Nadvi menyebutnya sebagai pendiri pertama sistem Logika Mill dan pendahulu filsafat induksi, jauh sebelum David Hume. Bahkan tidak kurang seorang Mohammad Iqbal, cendekiawan muslim, penyair, politisi dan filsuf asal Pakistan menempatkannya sebagai empirisis. Untungnya Rizieq Shihab tidak mendalami untuk tidak mengatakan tidak memahami komplesitas kepakaran Ibnu Taimiyah sebagaimana para cendekiawan muslim kelas dunia di atas memetakan pemikiran Taimiyah.

TERKAIT:  Menyoal Ketentuan Berjilbab Bagi Siswa

Dalam rangka Haul Nurcholish Madjid, Budhy Munawar Rachman menulis artikel, “Menelaah Disertasi Cak Nur Tentang Ibnu Taimiyah”. Dalam artikel tersebut Budhy menulis, “Nurcholish Madjid selanjutnya Cak Nur melalui disertasi ini, mencoba menunjukkan bahwa dibalik kritiknya yang tajam terhadap ilmu kalam dan filsafat, ada bangunan logika baru yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah. Meskipun di akhir disertasi ini, Cak Nur memberi catatan kritis terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah, tetapi ia tetap memberikan apresiasi dan harapan yang besar terhadap logika baru Ibnu Taimiyah, yang dalam pandangan Cak Nur bisa membawa masyarakat muslim menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi”. Saya kira gagasan Neo-Modernisme Rahman dan Cak Nur banyak terinspirasi dari Taimiyah.

Pada kesempatan lain saya menyimak penjelasan panjang lebar Pendeta Andy Burhanuddin Haji Usman yang memilih meninggalkan islam dan beralih menjadi penganut Kristiani setelah melakukan perbandingan isi Qur’an dengan Bible. Pendeta Burhanuddin menemukan beberapa ayat dalam kita suci, Qur’an dan Bible yang membahas masalah yang sama dengan kesimpulan berbeda, salah satunya polemik anak Ibrahim yang dikurbankan. Menurut Pendeta Burhanuddin yang dikurbankan versi Qur’an adalah Ismail meskipun dia sendiri mengakui Qur-an tidak menyebut nama Ismail langsung melainkan hanya menyebut “anak laki-laki Ibrahim”. Sementara Bible tegas menyebut Ishak anak Abraham yang dikurbankan. Dari sana Pendeta Burhanuddin lantas menarik kesimpulan kalau salah satu dari pernyataan kitab suci ini salah. Kira-kira demikian salah satu alasan mengapa Pendeta Burhanuddin tertantang melakukan perbandingan antara kedua kitab suci tersebut sebelum memutuskan menjadi pengikut Yesus.

Problemnya saya kira, Pendeta Burhanuddin menyamakan kitab suci itu sendiri dengan tafsir atas kitab suci, atau keyakinan dominan umat islam. Katakanlah misalnya pandangan Bible benar kalau yang dikurbankan adalah Ishak anak Abraham. Lantas adakah Qur’an menolak pandangan Bible? Sama sekali tidak, melainkan menyebut salah seorang anak laki-laki Ibrahim. Ingat tidak ada satupun ayat dalam Qur’an yang menyebut langsung nama Ismail begitu pula dengan Ishak. Kesimpulan kalau Ismail yang dikurbankan lahir dari tafsir yang merupakan karya intelektual yang tidak bisa lepas dari konteks ruang dan waktu dengan segala komplesitas permasalahannya.

TERKAIT:  Takdir

Alasan lain perpindahan Pendeta Burhanuddin menjadi penganut Kristen adalah Bible kaya dengan pengetahuan. Bible misalnya menjelaskan secara detail penciptaan bumi dari hari ke hari dan menciptakan manusia di hari keenam, sementara Qur’an tidak. Pendeta Burhanuddin lupa kalau dalam Qur’an kisah penciptaan Adam jauh lebih kompleks dibanding dalam Bible. Begitu pula menurut Pendeta Burhanuddin nyaris semua kisah-kisah besar yang digambarkan dalam Qur’an sudah diceritakan terlebih dahulu dalam Bibel, seakan Qur’an mengadaptasi materi dalam Bible. Pendeta Burhanuddin lupa kalau kisah dalam Qur’an dan Bible merupakan pengulangan dari kitab sebelumnya. Di sini letak menariknya hubungan antar kitab suci, hal yang detail dijelaskan dalam Bible, tetap diulangi dalam Qur’an namun dengan penekanan berbeda, demikian sebaliknya. Bandingkan juga misalnya Kisah Nabi Luth dalam kitab-kitab suci agama Abrahamik.

Terlepas dari hak asasi bagi setiap orang untuk bertukar keyakinan, kalau saja Pendeta Burhanuddin bisa sedikit serius, dalam arti tidak sekedar memahami pandangan maistream umat islam tapi juga membaca buku-buku atau tulisan di luar mainstream termasuk debat para ulama terdahulu terkait kontroversi dzabih ini. Pendeta Burhanuddin akan menemukan pandangan ulama yang terbelah mengenai anak Ibrahim atau Abraham yang dikurbankan. Seberapa jauh pertarungan idiologi ikut mempengaruhi dominasi pandangan siapa anak Ibrahim yang kurbankan bisa dibaca dalam tulisan Mun’im Sirry di Geotimes, “Politik Arab Dalam Kisah Pengorbanan Ismail”.

Menurut Mun’im Sirry, Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, “Menarik dicatat, para mufassir awal cenderung menyebut Ishak sebagai anak yang dikorbankan, bukan Ismail. Muqatil b. Sulaiman (w.150/767), ahli tafsir paling awal yang karya utuh tafsirnya sampai kepada kita sekarang, secara tegas menyebut Ishak sebagai dzabih (anak yang disembelih)”.

TERKAIT:  Tradisi Pesantren Sebagai Respon Atas Problem Masa Depan Peradaban Islam

Lantas apa kaitannya dengan pandangan Rizieq Shihab yang meyakini bumi tidak berputar karena mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir serta menuduh mereka yang tidak mengikuti keyakinan tersebut sebagai kafir dan boleh dihukum mati dengan pandangan Pendeta Burhanuddin?

Tidak sulit menemukan titik temu antara cara pandang Pendeta Burhanuddin dengan Rizieq Shihab dalam melihat kitab suci, tepatnya tafsir atas kitab suci. Kedua tokoh ini (Shihab dan Burhanuddin) memiliki sudut pandang yang bersifat eksklusif yang menolak perspektif di luar dirinya termasuk rendahnya apresiasi keduanya terhadap metodelogi modern dalam memahami kitab suci. Cara pandang seperti ini berpotensi menjebak umat beragama serta tokoh-tokoh agama menjadi penghujat.

Cara pandang seperti Rizieq Shihab ini yang dominan dianut umat islam Indonesia. Fatalnya lagi institusi pendidikan agama kita dari madrasah hingga perguruan tinggi umumnya terjebak pada pendekatan yang bersifat dokterinal dibanding pendekatan yang lebih ramah pada ilmu pengetahuan. Akibatnya alih-alih melahirkan cendekiawan muslim yang memahami komplesitas problem manusia modern justru yang lahir adalah manusia yang gagap dan memilih berorientasi ke masa lalu. Besarnya dukungan terhadap kelompok islam politik yang berorentasi pada ilusi kejayaan masa lalu bisa dijelaskan lewat perspektif ini.

Institusi pendidikan islam terutama pesantren sebagai kawah candradimuka dalam melahirkan generasi muslim terbaik harus berbenah diri terutama perbaikan kurikulum serta peningkatan kualitas tenaga pengajar. Sejak dini generasi muda muslim harus mendapat asupan pendidikan dengan spektrum yang luas dimana diperkenalkan keragaman mazhab dan pendekatan sehingga tidak merasa diri paling benar dan memutlakkan pendapatnya. Hanya dengan sistem pendidikan yang menghargai keberagaman dengan pendekatan yang inklusif akan melahirkan pribadi yang hanif.