Pesan apa yang ingin disampaikan Surya Palo dengan mengatakan terlalu mahal bagi Johnny G. Plate untuk diborgol dengan kapasitasnya sebagai Menteri maupun sebagai Sekjen Partai?
Dengan pernyataan tersebut, Palo seakan ingin mengatakan, tak sepantasnya Plate diborgol serta dipertontonkan di depan publik hanya karena tuduhan korupsi, “Tidak ada diantara kita yang bisa memastikan diri terlepas dari kesalahan, kekhilafan, kebodohan bahkan dosa,”ucap Palo dengan perasaan campur aduk di depan awak media selepas penahanan Plate.
Palo sendiri tidak mengatakan Plate tidak bersalah atau terang-terangan mengatakan peristiwa penahanan Plate sebagai politisasi. Namun ekspresi kesedihan yang ditunjukkannya seperti sedang mengirim pesan pada pihak tertentu kalau tindakan ini berlebihan. Apa lagi Palo sempat melontarkan sindiran dengan mengatakan, “Mencari kesalahan satu noktah di ujung pulau sana dibandingkan dengan gajah di depan mata”.
Situasi kritis yang dialami Nasdem tak seharusnya membuat Palo tampak panik. Partai Golkar, PDIP, Partai Gerindra, PKB, pernah mengalami hal yang sama ketika kader terbaik mereka dengan posisi strategis di partai dicokok KPK.
Melakukan pembelaan dengan melempar isu politisasi hanya akan memancing reaksi publik yang lebih keras dan Palo bisa dipandang ikut memberi jalan pihak lain mengantar Nasdem untuk dieksekusi di depan regu tembak. Pembelaan Palo yang disampaikan dengan ekspresi kesedihan mendalam tak akan mempengaruhi emosi publik yang terlanjur benci pada prilaku korup elit politik. Jumlah korupsi yang fantastis, 8 triliun dari total 10 triliun nilai anggaran yang telah dicairkan terus dibombardir media membuat Nasdem makin tersudut dan sulit bernafas.
Jika sampai bukti hasil korupsi ada yang mengalir ke partai dan bocor ke publik alamat Nasdem bakal terjung bebas pada Pemilu 2024 mendatang. Situasi tragis ini pernah dialami Partai Demokrat pada Pemilu 2014 pasca sejumlah kadernya terlibat korupsi.
Terkait dugaan mengalirnya dana hasil korupsi ke Nasdem, Surya Palo menantang kejaksaan membuka secara transparan proses penyidikan ke publik.
Situasi kritis yang dihadapi Nasdem tak serta merta bisa dipulihkan dengan melempar isu korban politisasi. Bahkan alasan politisasi hukum akibat kenekatan Nasdem mendeklarasikan Anies sebagai Capres serta menjadi motor pembentukan Koalisi Perubahan bersama Demokrat dan PKS sudah sejak awal tersedia jawaban yang sulit didebat, “Proses penyelidikan kasus ini oleh Kejaksaan Agung sudah berjalan sebelum Nasdem secara resmi mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai Capres”.
Sebaliknya setiap keberatan yang mengaitkan penahanam Plate dengan pendeklarasian Anies selalu dengan mudah ditepis dan dipatahkan dengan telak.
Sosok Anies yang terlanjur diposisikan sebagai antitesa Jokowi terutama menyangkut keberlanjutan Proyek IKN sebagai bentuk pembangkangan terhadap kekuasaan yang berimplikasi pada penahanan Plate secara politik dipandang wajar. Bagi mereka yang memahami politik dalam definisi pragmatis sebagai, siapa dapat apa, memandang situasi ini sebagai hal yang wajar.
Loyalitas Palo terhadap kekuasaan selama ini mendapat ganjaran setimpal. Nasdem oleh Jokowi diganjar 3 Menteri. Kader Nasdem bahkan sempat menikmati kursi Jaksa Agung yang diincar banyak partai.
Harga yang harus dibayar mahal Nasdem ini seharusnya disadari Palo sejak awal. Palo sering terlihat tidak tertib dalam barisan lewat aksi ambil untung dengan memanfaatkan momentum.
Memiliki kendali atas media mainstream sebelum masa kejayaan sosial media membuat Palo disegani kawan maupun lawan.
Saat sosok Jokowi bersinar penuh menjelang periode kedua masa jabatannya, Nasdem tampil memberi dukungan pertama kali. Langkah zig-zag Palo yang sering diikuti manuver tajam yang selama ini berjalan mulus, kali ini terpeleset ke dalam jurang tak kasat mata.
Berupaya membuktikan kasus yang menjerat Plate sebagai politisasi sangat tidak mudah. Kasus hukum tidak bisa didebat dengan modal asumsi melainkan dengan argumentasi berbasis fakta.
Melepaskan diri dari status tersangka atau terdakwa sama sulitnya membuktikan penegak hukum tebang pilih. Untuk menetapkan Plate sebagai tersangka hingga ditahan, Kejaksaan Agung mengklaim menghabiskan waktu hingga tahunan.
Lalu fakta apa yang bisa disodorkan Nasdem untuk membuktikan penyidik atau aparat penegak hukum terlibat melakukan politisasi atau tebang pilih untuk mempengaruhi persepsi publik?
Menghadapi situasi ini ada baiknya Palo berkaca pada sikap sejawatnya Airlangga Hartarto yang hanya berkmentar datar siap memberikan bantuan hukum saat KPK mencokok Sekjen Golkar, Idrus Marham. Sebaliknya saat Menteri KKP, Edhy Prabowo ditersangkakan KPK, konon Prabowo Subianto marah besar karena kecewa orang kepercayaannya terlibat korupsi. Begitu halnya dengan penetapan tersangka terhadap Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nachrowi yang merupakan kader PKB, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar memilih tak berkomentar. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri pun tak tampak reaktif menyikapi kader PDIP yang juga Menteri Sosial, Juliari Batubara saat digelandang KPK.
Lantas bagaimana dengan masa depan pencalonan Anies Baswedan bila turbulensi yang dialami Nasdem makin memburuk?
Pernyataam Palo yang tak memungkiri kasus yang menjerat Plate bisa berdampak terhadap pencapresan Anies ada benarnya. Namun pandangan yang melihat nasib pencapresan Anies sangat tergantung pada eksistensi Nasdem agak berlebihan.
Selama elektabilitas Anies tetap stabil kemungkinan terburuk karena Nasdem “terpaksa” absen akibat bandul politik berbalik arah tidak otomatis pencapresan Anies menjadi batal. Posisi strategis Nasdem dengan mudah digantikan partai lain.