Kiblat Study Dosen Unhas Idealnya Amerika dan Eropa?

Sejak bergabung beberapa hari lalu di Grup yang di kawal lebih dari 1000 member ini saya merasakan aktivitas di  Grup “Kolaborasi IKA Unhas” seperti tak punya waktu rehat. Percakapan mengalir bak air bah, luber kemana-mana dan menghantam apa saja yg dilaluinya.

Seperti pada umumnya WAG, tema yang dibicarakan pun menyangkut semua hal, merentang dari urusan pribadi, komunitas hingga isu global. Menjelang kontestasi politik 2024 terutama isu politik Capres selalu mampu menempatkan diri sebagai bagian penting dalam setiap percakapan.

Mulawarman yang oleh alumni disapa Kak Mul adalah wartawan senior yang dikenal sangat kritis dan peduli terhadap perkembangan almamaternya. Sebagai wujud kecintaannya Mulawarman kembali melempar wacana mengenai sejumlah dosen Unhas yang melanjutkan study di UMI Makassar, UNM serta UIN Alauddin Makassar. Sementara universitas top dalam negeri seperti  UI, UGM, UNPAD serta sejumlah kampus terkemuka di Jawa justru mengirim dosennya melanjutkan study ke universitas terkemuka di Amerika, Eropa dan Australia. Bahkan menurut Mulawarman kecendrungan mengirim dosen belajar ke Amerika dan Eropa juga dilakukan universitas di Asia seperti Korea Selatan dan India.

Isu yang dilempar Mulawarman tak ayal langsung disergap anggota grup dan berubah jadi debat panas.

Tak bisa dipungkiri, Mulawarman bukan sekadar pemicu wacana, tetapi lebih dari itu, jurnalis yang akrab dengan semua kalangan ini adalah penggerak wacana (discourse driver).

Merespon kritik pedas Mulawarman, mantan Ketua Senat Fakultas Satra, Andi Ilham Paulangi yang kini bermukim di Jakarta ikut menjelaskan alasan kampus-kampus di Indonesia memiliki kecendrungan mengirim dosen mereka kuliah di Amerika dan Eropa. Alumni Program Magister Komunikasi UI dan saat ini menempu program doktor di Departemen Studi Pembangunan (Development Studies) Unhas ini memaparkan panjang lebar keunggulan universitas di Amerika dan Eropa dibanding umumnya universitas di Indonesia karena:

TERKAIT:  BANTAHAN

1. Akses ke Pengetahuan dan Teknologi Unggulan: Amerika dan Eropa memiliki banyak universitas terkemuka dan pusat riset yang menawarkan akses ke ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, memberikan kesempatan bagi dosen untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan mereka.

2. Riset dan Kolaborasi: Kuliah di luar negeri memberi dosen kesempatan untuk berkolaborasi dengan peneliti dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu, membuka peluang untuk mengembangkan jejaring akademik internasional.

3. Pengembangan Diri: Mengikuti pendidikan di luar negeri membantu dosen mengembangkan diri secara pribadi dan profesional, meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian mereka.

4. Prestise Akademik: Mengikuti kuliah di universitas terkemuka di Amerika atau Eropa dapat memberikan prestise akademik, yang akan menguntungkan reputasi kampus asal dosen tersebut.

5. Peningkatan Standar Pengajaran: Pengalaman belajar di luar negeri dapat membawa ide-ide baru dan metode pengajaran yang inovatif, yang dapat diterapkan untuk meningkatkan standar pendidikan di kampus mereka.

6. Mengirim dosen ke luar negeri juga merupakan bentuk keterbukaan dan komitmen kampus terhadap isu-isu global serta perspektif internasional dalam pendidikan.

TERKAIT:  The EndGame, Game Yang Membosankan

Semua alasan di atas menurut Ilo, panggilan akrab di kalangan alumni Unhas berkontribusi pada pengembangan akademik dan peningkatan kualitas pendidikan di kampus-kampus di Indonesia.

Seperti merasa perlu memberi perimbangan serta bersikap fair dan jernih melihat fakta lapangan, Anno Aldetrix, mantan Jurnalis Televisi yang dikenal publik sebagai Analis dan Konsultan Media mengingatkan bahwa saat ini Unhas tidak menutup mata pada pentingnya mengirim dosennya melanjutkan study keluar negari. Anno lalu menyodorkan fakta bahwa: “Fakultas Hukum memiliki kelas internasional. Salah satu programnya adalah mengirim mahasiswanya kuliah di Belanda, pusat dan dasar dari segala hukum di dunia”.

Terkait penjelasan Anno Aldetrix yang mengemukakan sejumlah fakta menarik bahwa selama ini jumlah dosen fakultas hukum yang merai gelar akademik di Eropa dan Australia meskipun masih dibanding UI dan Gajah Mada masih terbilang kurang. Sebut saja misalnya Laode M. Syarif yang meraih gelar Master dalam bidang Hukum Lingkungan Internasional dari Queensland University of Technology (QUT) di Brisbane, Australia serta gelar Ph.D di University of Sydney, Australia. Prof. Maskun, alumni Universitas New South Wales, Sydney, Australia. Ada dosen senior, Hamid Awaluddin yang meraih gelar Doktor di American University, Amerika Serikat. Ada Prof. Iin Karita Sakharina, Master of Art (M.A) di Postgraduate Oslo University, Norwegia dan seterusnya.

Pilihan akademisi fakultas hukum pada universitas di Amerika, Eropa dan Australia atau di luar Belanda menunjukkan pergeseran negara tujuan study hukum yang dulunya berkiblat ke Belanda kini beralih ke Amerika dan Eropa (di luar Belanda) serta Australia. Pergeseran ini sepertinya dipengaruhi salah satunya pertimbangan pragmatisme seiring dominasi perekonomian Amerika yang menganut sistem comman law serta negara Eropa dengan mazhab yang sama seperti Inggris, Kanada serta negara-negara persemakmuran (commonwealth of nations).

TERKAIT:  Obyektivitas Penegakan Hukum & Desakan Mundur Firli Bahuri

Meskipun perkembangan civil law hari ini sudah sangat jauh berbeda, publik Indonesia masih sulit menyingkirkan kesan alumni Belanda yg identik dengan positivisme. Wujud telanjang positivisme bisa dilihat di institusi kepolisian, kejaksaan dan ruang-ruang pengadilan. Model pendekatan positivisme oleh banyak kalangan sulit menjelaskan kompleksitas permasalahan hukum yang dialami Indonesia sehingga sulit berfungsi sebagai pisau analisis.

Mungkin tokoh seperti Prof. Andi Hamzah bisa mewakili tipikal alumni Belanda, sementara tipikal alumni Amerika atau Australia yang menganut common law diwakili oleh Denny Indrayana. Faktor mazhab ini bisa jadi  berkontribusi signifikan mendorong perubahan arah kiblat ini.

Apakah fakta sejumlah dosen fakultas hukum serta fakultas lain seperti Fisip, ekonomi dan seterusnya lantas membuat kritik Mulawarman jadi tak bertenaga? Atau subtansi yang dibicarakan Mulawarman menyangkut persentase jumlah alumni yang berorientasi ke universitas di Amerika dan Eropa yang jumlahnya jauh lebih kecil dibanding mereka yang memilih universitas dalam negeri.

Bila persentase yang timpang saja dipermasalahkan Mulawarman, maka sejumlah dosen Unhas yang memutuskan melanjutkan study ke kampus-kampus di Makassar tentu patut menjadi keprihatinan bersama alumni.