Mengenai Pram, Knut Hamsun dan Gogol

Penulis drg. Ernawati Naharuddin  [ Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Specialis Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin ]

Masih terjaga dini hari karena mengagumi kecemerlangan beberapa sastrawan, menutrisi jiwa agar selalu menghargai orang lain bagaimana pun sulitnya ia menjalani kehidupan.

Pramoedya Ananta Toer menulis:
“Di dalam keluarga, saya mengajarkan anak dan cucu saya tentang kebebasan. Sekarang terserah mereka apa yang mereka bisa lakukan dengan hal ini. Tapi satu hal yang selalu saya tekankan dan tuntut dari mereka adalah bahwa mereka harus berani bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Itu saja. Tapi untuk dapat melaksanakan hal itu, mereka haruslah punya keberanian”.

Siapa yang tidak menyukai Pram? Kecerdasannya melahirkan keindahan dan kecemerlangan yang tak ada habis-habisnya. Saat menjadi tapol 1965 naskah-naskahnya dibakar aparat. Pram menyebutkan bahwa pembakaran naskahnya adalah perbuatan setan.

TERKAIT:  MAKASSAR KOTA BANJIR, ULAH SIAPA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Tapi saya merasa gambaran Knut Hamsun dalam Novel berjudul “Lapar” tentang pembakaran tulisan seseorang lebih tepat:
“bahwa sebenarnya bukan buku-buku yang terbakar, melainkan benak manusia, otak manusia”.

Knut Hamsun seorang jenius dari Norwegia, menceritakan kemiskinan tokoh utama yang tak berkesudahan. Setelah membaca buku ini saya yakin setiap orang akan menyumpahi kemiskinan karena meski ia tak  bisa mengikis kecemerlangan seseorang namun memperlihatkan fakta, kemiskinan bisa membuat orang benar-benar mati. Nyawa manusia sama rentannya dengan nyawa seekor kucing, bisa hilang begitu saja karena tidak ada lagi yang bisa dimakan.

Konon menurut anaknya Tore Hamsun. Sepanjang penyeberangan ke Kopenhagen ia menulis. Sesampainya di sana, ia mencari kamar yang murah dan menulis tanpa henti-henti. Lupa makan, lupa mandi dan lupa segala-galanya. “Tanpa sadar ia meluncur masuk dalam keadaan pencerahan yang dapat diakibatkan oleh rasa lapar, suatu bentuk askese, dan dengan duka dan derita yang dihayatinya kembali seluruh bahan ceritanya ke ujung syaraf yang terkecil pun”.

TERKAIT:  Koalisi Perubahan dan Komorbid Cak Imin

“Semua ini terjadi ketika aku lapar di Kristiana….,” kata Knut Hamsun.

Nikolai Gogol genius lain kelahiran Ukraina dalam “Jiwa-jiwa Mati” memperlihatkan kemiskinan pada masa kekaisaran Rusia dengan cara yang tidak biasa. Eksploitasi tak manusiawi petani penggarap oleh pemilik tanah pertanian akibat kebijakan pajak Tsar. Para tuan tanah bisa memperjualbelikan petani miliknya bahkan yang sudah mati. Tokohnya adalah seorang bajingan bernama Chichikov melakukan transaksi pembelian jiwa-jiwa mati yang ingin dijual 100 rubel namum bisa ia beli seharga 2 1/2 rubel untuk kemudian digadai demi membeli sebuah tanah pertanian agar bisa hidup nyaman dan berkecukupan.

Ceritanya lebih mirip lelucon yang tidak menawarkan kegembiraan tapi tetap bisa membuat pembaca tertawa. Ironisnya ia selalu mengakhiri tokohnya dengan cara tragis.

TERKAIT:  Menguak Jejak La Patau Lewat Hajatan Akbar

Dostoevsky  sangat mengagumi Gogol, ia bahkan berkata “Kita semua keluar dari bawah Mantel Gogol”. Hal ini tentu mengingatkan kita kembali akan karya Gogol yang lain “The Overcoat”.

Kata-kata terakhir Gogol yang tertulis di batu nisannya adalah “Dan aku akan tertawa dengan tawa yang pahit”.