Dalam rangka Harlah ke 16 Cak Nur, panggilan akrab Nurcholis Madjid diperingati dengan mengenang kembali sosok serta pemikiran Cak Nur lewat diskusi online. Hari ini, bertepatan dengan hari kelahiran Cak Nur 17 Maret 1939, di medsos beredar ajakan mengikuti perbincangan di IG live dengan tema, “Cak Nur & Peradaban Politik Kita”.
Terkait dunia pesantren seingat saya Cak Nur pernah ditanya seseorang, “Mengapa Cak Nur tidak memasukkan anaknya ke pesantren tapi memilih sekolah umum. Sementara Cak Nur sendiri tumbuh dan besar dalam iklim pesantren?”.
Menurut Cak Nur, kelebihan pesantren dibanding institusi pendidikan lain itu iklimnya. Yang dimaksud Cak Nur iklim pesantren yang tidak dimiliki oleh institusi pendidikan lain adalah tradisi keilmuan islam, budaya literasi, kebiasaan berbahasa asing (inggris dan arab) yang terbangun, dijaga dan menjadi habit di pesantren.
Lantas mengapa Cak Nur tidak memasukkan anak-anaknya ke pesantren dengan iklim serta tradisi yang luar biasa itu?
Bagi Cak Nur, alasan tidak memasukkan anaknya ke pesantren karena Cak Nur mampu mengangkut dan memindahkan tradisi serta habit yang ada di pesantren itu ke rumahnya. Sebagai intelektual garda depan Indonesia yang merai gelar doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat, Cak Nur tentu mampu menciptakan tradisi intelektual seperti kebiasaan membaca dan menulis serta keterampilan berbahasa asing di rumahnya sehingga Cak Nur merasa tidak perlu memasukkan anaknya ke pesantren.
Apa yang dimaksud Cak Nur sebagai tradisi keilmuan di pesantren itu meliputi khazanah keilmuan islam trasional maupun modern. Tradisi ini yang melahirkan pemikir islam Indonesia kelas dunia seperti Cak Nur sendiri, Azyumardi Azra, Qomaruddin Hidayat, Fachry Ali atau intelektual muda islam yang hari ini berkiprah di pentas dunia seperti Mun’im Sirry serta banyak lagi.
Tentu saja pesantren tidak hanya bertujuan melahirkan intelektual muslim atau membatasi minat santri pada satu cita-cita. Namun mendisiplinkan santri belajar bahasa asing, mengakrabkan serta menumbuhkan kecintaan santri pada ilmu pengetahuan serta berbagai keterampilan lain lebih mudah diwujudkan lewat sistem asrama. Kalau santri tinggal di asrama tapi tidak bisa mendisiplinkan diri pada hal-hal dikemukakan di atas lantas apa bedanya dengan rekan mereka di sekolah umum?
Belakangan beberapa pesantren berciri salafiah yang memilih lokasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Makassar misalnya dengan cerdas bisa tetap eksis di tengah gemuruh kemodernan dan pragmatisme dengan mengajarkan beragam keterampilan di luar visi utama mereka. Dengan tetap mempertahankan tradisi salafiah seperti mengakrabi kitab kuning serta berbagai tradisi keagamaan tradisional, pesantren-pesantren tersebut menyiasati tantangan kehidupan moderen dengan mengakrabkan santrinya dengan bahasa asing serta menanamkan kecintaan mereka pada ilmu pengetahuan, sains dan teknologi sejak dini. Dari sini diharapkan lahirnya alumni pesantren yang punya kepercayaan diri serta tidak gagap menghadapi tantangan masa depan.
Berdasarkan penilaian PISA (Programme for International Students Assessment), program yang digagas oleh the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dilakukan tiap tiga tahun sekali dan dimulai dari tahun 2000 menunjukkan kualitas pelajar Indonesia tidak beranjak secara signifikan. Sejak keikutsertaanya di tahun 2001, skor PISA Indonesia belum mengalami peningkatan signifikan. Bahkan sekitar 52% dari pelajar Indonesia yang menjadi sampel PISA 2018 berada dalam kategori low performer pada tiga subjek, literasi, matematika dan sains. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan capaian negara-negara tetangga.
Pada saat hampir bersamaan di 2018, Bank Dunia merilis hasil penelitiannya yang menempatkan skor Human Capital Index (HCI) Indonesia menempati peringkat 87 dari 157 negara, di bawah Singapura di peringkat 1, Vietnam di peringkat 48 serta Malaysia menempati peringkat 55.
Jika dibandingkan dengan kemampuan literasi, matematika, dan sains siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia. Semenjak Indonesia ikut berpartisipasi dalam penilaian PISA ini selama 20 tahun sejak tahun 2001 selama itu pula nilai kemampuan siswa tak pernah berada di atas rata-rata.
Rendahnya performa pelajar Indonesia dibanding rekan mereka di Asia Tenggara ikut berkontribusi pada kualitas SDM Indonesia meminjam perspektif Nadiem Makarim disebabkan antara lain karena penyeragaman kurikulum serta masalah kualitas tenaga pengajar. Penyeragaman kurikulum yang berlaku secara nasional mengakibatkan anak didik di pedalaman Papua misalnya harus memiliki standar serta materi pembelajaran yang sama dengan anak didik di Jakarta. Pada saat bersamaan penyeragaman kurikulum juga mematikan potensi beberapa sekolah yang justru memiliki kemampuan melebihi standar yang ditetapkan pemerintah.
Pesantren dengan sistem asrama tidak seharusnya cemas pada kurikulum yang seragam serta lebih menekankan aspek kognitif. Karena tinggal di asrama, santri dapat belajar secara penuh waktu (full-day school) sehingga bisa memanfaatkan banyak waktu luang untuk diisi berbagai pelajaran tambahan maupun ekstra korikuler. Problemnya kemudian justru terletak pada kemampuan eksplorasi serta sikap kreatif para pembinanya.
Menariknya, umumnya pemerhati pendidikan tidak melihat ketersediaan infrastruktur fisik sebagai syarat utama keberhasilan, halnya dengan digitalisasi dunia pendidikan. Teknologi menurut Nadiem tidak lebih dari upaya mempermudah proses belajar mengajar, manusia tidak mungkin tergantikan oleh teknologi. Pondok pesantren yang melahirkan cendekiawan muslim Indonesia terbaik seperti Cak Nur, Azyumardi Azra, Qomaruddin Hidayat dan kawan-kawan tidak bergelimang fasilitas bahkan sebaliknya, sangat memperihatinkan. Mereka bahkan tidak memiliki fasilitas perpustakaan yang lengkap seperti saat ini. Bisa mengakses buku bacaan berkualitas merupakan kemewahan tersendiri. Namun dalam situasi serba terbatas itu tumbuh kecintaan pada ilmu pengetahuan, terutama khazanah pengetahuan islam tradisional yang tersedia saat itu. Kecintaan pada ilmu pengetahuan ini yang melahirkan tradisi literasi berupa kebiasaan membaca dan menulis yang memaksa mereka harus menguasai bahasa asing jika ingin lebih mendalami ilmu pengetahuan.
Kunci keberhasilan institusi pesantren terletak pada kemampuan pesantren menciptakan iklim yang kondisif yang memungkinkan lahirnya tradisi intlektual serta kecintaan pada ilmu pengetahuan. Hal yang jauh lebih sulit dari sekedar menyiapkan infrastruktur fisik maupun teknologi pedukung lainnya. Sebaliknya yang cukup memprihatinkan tumbuh suburnya pesantren yang mengembangkan aspek eksklusifisme beragama. Eksplorasi berlebihan terhadap tafsir ayat-ayat perang dengan mengabaikan konteks (asbab al nuzul) atau memutlakkan tafsir tertentu berpotensi menggiring para santri pada sikap fundamentalisme beragama. Prilaku beragama yang hari ini membuat islam menerima stigma negatif dalam pergaulan dunia.
Membangun serta menjaga tradisi pesantren yang berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya generasi muda muslim yang ramah terhadap perbedaan serta memiliki apresiasi yang tinggi terhadap sains serta ilmu pengetahuan sebagai respon atas komplesitas masalah yang dihadapi umat islam hari ini dan masa yang akan datang.