Bagaimana membaca gugatan perdata terkait sengketa kepemilikan lahan yg diajukan warga Rempang-Galang yang didaftarkan oleh kuasa hukumnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 25 September 2023. Apakah langkah tersebut merupakan jalan tengah yg “disepakati” antara pemerintah dengan warga Rempang-Galang untuk menghindari kemungkinan jatuhnya korban jika kedua bela pihak berhadap-hadapan di lapangan?
Atau justru langkah ini murni inisiasi warga karena merasa perjuangan mereka akan sia-sia dan berisiko bila terus ngotot menghadapi aparat gabungan?
Melihat tujuan pembebasan Rempang-Galang untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional yang perencanaannya dibackup instrumen hukum jauh hari lewat mekanisme Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sehingga sulit menduga pemerintah menyetujui jalur pengadilan sebagai alternatif penyelesaian.
Gugatan ke pengadilan akan dianggap menguntungkan warga Rempang jika memperoleh respon positif dari pemerintah bahwa selama perkara berproses dari pengadilan negeri hingga inkrach di Mahkamah Agung, pemerintah tidak akan melakukan tindakan apa pun di lapangan. Dengan komitmen tersebut warga Rempang aman dari relokasi dan bisa berpikir lega sambil mempertimbangkan alternatif penyelesaian terbaik, apakah menerima ganti rugi plus fasilitas lain yang ditawarkan atau tetap menolak relokasi.
Demikian juga dengan mengajukan gugatan ke pengadilan peluang warga mendapat pengakuan hak atas tanah yang dikuasainya selama ini menjadi terbuka.
Tapi bayangkan sebaliknya kalau setelah melewati proses pengadilan dalam 2 atau 3 tahun ke depan lalu warga kalah, apakah warga relah tanahnya dieksekusi sebagai konsekuensi memilih jalur pengadilan?
Selain itu pilihan pengadilan untuk tujuan jangka panjang justru tidak berpengaruh signifikan terhadap perjuangan masyarakat lain yang sedang menghadapi konflik dengan pola yang sama.
Disadari atau tidak dari puluhan hingga ribuan kasus serupa, Rempang terbilang dahsyat terutama karena massifnya dukungan publik. Bukan saja karena Rempang dihuni komunitas Melayu dengan solidaritas sesama yang lintas negara plus dukungan publik secara nasional bahkan internasional, melainkan momentum Pilpres merupakan pemicu sekaligus penentu meledaknya kasus ini.
Konflik Rempang menjadi menarik sekaligus penting karena berpotensi menjadi momentum emas bagi bangsa Indonesia untuk melakukan evaluasi total terhadap massifnya konfilk agraria sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi terutama di bawah aktor utama developmentalism, Presiden Soeharto dan Presiden Joko Widodo.
Dengan memutuskan menggugat ke pengadilan tanpa sadar kasus Rempang-Galang direduksi sebatas permasalahan warga Rempang dan tidak ada kaitannya dengan kasus lain dengan pola yang sama yang tersebar di seluruh negeri. Halnya dengan pikiran pendek pengacara yang hanya melihat satu sisi yang penting kliennya menang dengan harapan sekali tepuk dapat 2 keuntungan sekaligus, kemenangan tanpa perlu korban jatuh.
Mereka lupa bahwa selama proses pengadilan berlangsung warga Rempang-Galang akan kehilangan dukungan signifikan publik karena masalah Rempang terperangkap dinding pengadilan yang dianggap sakral. Disamping itu sejumlah kalangan, terutama media serta tokoh masyarakat sipil akan kecewa karena warga Rempang-Galang sendiri sudah meninggalkan atau mengabaikan agenda perubahan total terhadap tata kelola agraria nasional yang timpang yang sebenarnya berjalan beriringan dalam kasus Rempang.
Idealnya Rempang-Galang memprioritaskan penyelesaian secara politik sekaligus menjadikannya momentum untuk kembali mengangkat agenda reformasi agraria agar dibicarakan lebih serius di level nasional.
Sialnya pada saat yang sama mengharapkan para politisi menceburkan diri pada masalah krusial ibarat “menegakkan benang basah,” kata orang Melayu.
Politisi kita di Senayan lebih suka bersolek bak selebriti tinimbang berpikir keras bagaimana mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat. Dasar ‘Politisi kelas salon” meminjam istilah Kang Sobari pada mereka yang hanya bisa bersolek tapi tidak punya pemahaman serta empati pada problem ketidakadilan yang dialami masyarakat.
Memperhatikan langkah agresif pemerintah terutama obsesi Prdsiden Jokowi di penghujung kekuasaannya yang menginginkan tambahan legacy lewat Rempang Eco City membuat harapan warga Rempang-Galang menjadikan jalur pengadilan sebagai upaya memperjuangan haknya berpotensi membentuk tembok tebal.
Sebaliknya pemerintah yang diwakili Otorita Batam akan tetap menjalankan opsi sebelumnya dengan tetap membuka ruang negosiasi hingga batas waktu yang telah ditentukan.
Bila merujuk pada aturan tahapan pencabutan hak atas tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum berdasarkan Perpres, pertama dilakukan musyawarah antara pemegang hak atas tanah bersama Panitia Pengadaan Tanah dengan instansi pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan jangka waktu 90 hari. Sebelum musyawarah Panitia Pengadaan Tanah memperoleh masukan dari lembaga/tim penilai harga tanah dalam menetapkan ganti kerugian atas tanah.
Apabila tidak tercapai kesepakatan harga, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi kerugian dan menitipkannya kepada Pengadilan Negeri. Pada Pasal 18 Perpres 36/2005 menyatakan bila upaya penyelesaian tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindah, Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah kepada BPN, kemudian disampaikan kepada Presiden.
Sementara dalam rangka percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional untuk kepentingan umum dan kemanfaatan umum, pemerintah juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang ditujukan kepada para Menteri Kabinet Kerja; Jaksa Agung Republik Indonesia; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Sekretaris Kabinet; Kepala Staf Kepresidenan; Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian; Para Gubernur; dan para Bupati/Walikota. terkait tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, menyelesaikan masalah dan hambatan, mengambil kebijakan-kebijakan dalam percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Tindakan strategis lain yang dipandang perlu sebagai bagian upaya memuluskan laju PSN melalui tindakan diskresional dalam rangka mengatasi persoalan yang konkret dan mendesak seperti menyempurnakan atau mencabut peraturan yang ada demi percepatan Proyek Strategis Nasional.
Faktanya jika menyangkut upaya letigasi melawan rezim Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Demi Kepentingan umum negara tidak pernah kalah. Paling banter putusan pengadilan membebani negara nilai ganti-rugi sedikit lebih tinggi di atas taksasi appraisal dalam konteks sengketa konsinyuasi.
Sementara jika dalam konteks sengketa kepemilikan seperti yang diajukan warga Rempang-Galang yang kemungkinan besar akan diabaikan pemerintah dengan dalih sengketa pembebasan lahan tunduk di bawah rezim Proyek Strategis Nasional dengan aturan khusus.
Dalam konteks percepatan Proyek Strategis Nasional debat hak atas tanah tidak relevan karena sekalipun warga memiliki sertifikat atas tanahnya negara berhak mencabut hak tersebut demi pembangunan dan kemaslahatan orang banyak.
Suka atau tidak faktanya Proyek Strategis Nasional dirumuskan sebagai representasi kepentingan dan kemaslahatan orang banyak menurut ketentuan yang ada.