Banyak yang kaget tiba-tiba Goenawan Mohamad selanjutnya GM menulis catatan terbuka mengenai kekecewaannya pada Joko Widodo, presiden yang didukungnya sejak masa kampanye dengan terlibat langsung dalam aktivitas pemenangan. Adalah wajar jika sebagai pendukung aktif, GM kecewa ketika menyadari Jokowi berubah. Hanya saja berharap terlalu banyak pada Jokowi menyelesaikan sengkarut bangsa yang kronis banyak yang menganggapnya berlebihan. Paling banter dan realistis yang bisa diharapkan adalah melanjutkan agenda reformasi lewat perbaikan secara gradual, kecuali pilihannya revolusi.
GM semestinya tidak perlu kaget menyaksikan Jokowi tergoda candu kekuasaan dan melupakan komitmen awalnya untuk tidak melibatkan keluarga besarnya dalam politik. Mengapa GM tiba-tiba terserang demensia dan lupa watak dasar kekuasaan yang korup, berharap kekal sekaligus ekspansif, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.
Kesilapan sejatinya merupakan sifat dasar manusia yang setiap saat membuatnya tergelincir dalam godaan dan memutar balik arah kemudi. Laksana kekasih hati yang setiap saat bisa kepincut dan berpaling pada orang lain.
Jokowi yang tampak santun, bersahaja, berpaham plural serta mengharamkan nepotisme justru setelah berkuasa rupanya sulit menahan godaan dengan berusaha mewariskan kekuasaannya pada sanak familinya. Setelah sukses mengantarkan menantunya Bobby Nasution ke kursi Wali Kota Medan, disusul Gibran Rakabuming Raka, anak laki-laki tertuanya jadi Wali Kota Solo. Kini giliran Kaisang Pangarep yang bertengger sebagai Ketua Partai Solidaritas Indonesia. Dan isu paling anyalar Gibran yang belum selesai satu periode sebagai Wali Kota Solo tiba-tiba namanya dipasang bersanding dengan Prabowo sebagai Bacapres 2024 mendatang.
Menarik sekaligus memantik rasa penasaran mengapa GM tidak mempermasalahkan prioritas kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi yang justru membuatnya jadi bulan-bulanan pengeritiknya dan hanya fokus pada praktik nepotisme dimana Jokowi melibatkan anak dan menantunya dalam politik.
Mungkinkah GM berangapan tidak ada masalah dengan ambisi Jokowi menjadikan megah proyek infrastruktur sebagai legacy-nya. Atau menyangkut kebijakan pembangunan infrastruktur dianggapnya sebagai keputusan bersama sehingga kekeliruan termasuk keberhasilan ditanggung dan dirayakan bersama.
Soal lain yang tidak kalah menariknya GM sama sekali tidak menyinggung agenda masyarakat sipil yang di masa kampanye dan diawal pemerintahannya berkomitmen menyelesaikannya. Namun hingga menjelang masa pemerintahannya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, pemberantasan korupsi, penghentian deforestasi, perlindungan hak masyarakat adat tak kunjung ditunaikan.
Mengapa GM begitu melangkolis menyaksikan praktik nepotisme Jokowi yang di mata banyak orang jamak saja. Bukankah Megawati sebagai ketua partai mengendorse Puan Maharani atau SBY yang mendudukkan AHY di posisi Ketua Demokrat dianggap wajar.
Akhirnya GM memastikan tak lagi bersama Jokowi sekaligus memutuskan tidak akan golput serta mengajak sahabatnya terlibat aktif pada Pilpres 2024 mendatang. Lalu ke mana GM akan melabuhkan dukungannya?
Pernyataan tak ingin golput ini yang membuat banyak yang penasaran mengingat ada sejumlah pihak yang menempatkan GM bak Santo yang ucapannya diimani sebagai fatwa.
Meskipun tak menyebut nama Bacapres yang bakal didukunganya namun publik sadar pernyataan GM diarahkan ke mana. Pilihan GM yang diduga jatuh ke Anies-Muhaimin ini yang motifnya coba kita geledah. Apa karena pasangan ini dianggap sanggup menahan diri tidak tergoda candu kekuasaan untuk menempatkan keluarga besarnya dalam politik. Atau asal bukan Capres yang didukung Jokowi.
Coba kita telisik lebih jauh basis etik keberpihakan GM pada pasangan Anies-Muhaimin. Apakah pilihan ke kubu Anies-Muhaimin itu bertujuan mendorong agenda perubahan atau asal bukan Prabowo dan Ganjar yang jelas-jelas diendorse Jokowi menjadi penting diajukan.
Andai ungkapan kekecewaan GM disampaikan lebih dini ketika Cak Imin belum muncul sebagai penanda ambruknya isu perubahan yang diusung Anies penilaian terhadap motif GM akan lain.
Ketika pilihan Anies jatuh pada Muhaimin dan karena pertimbangan Muhaimin mampu menutup kelemahan Anies di Jawa Timur sekalipun disadari sosoknya yang kontroversial karena pernah dipanggil KPK menunjukkan pilihan pada Muhaimin atas alasan utilaterian. Beda-beda tipis dengan Prabowo atau Ganjar yang terang-terangan mengaku pelanjut agenda Jokowi.
Sejak Anies memilih Muhaimin yang diduga punya masalah hukum, otomatis dari sudut etika Kantian Pasangan Anies-Muhaimin kehilangan legitimasi atas klaim perubahan yang diusungnya dari awal. Kualitas pasangan ini jatuh ke level utilaterian, tak ada bedanya dengan dua pasangan lainnya yang mengejar kemenangan atau mengedepankan prinsip utilaterian.
Dalam perspektif ini pergeseran pilihan GM dari Jokowi yang direpresentasikan oleh Prabowo dan Ganjar hanya berpindah dukungan aktor yang sejatinya memperioritaskan kemenangan sebagai agenda utamanya, bukan perubahan.
Sudah menjadi wacana dominan bahwa agenda perubahan dalam konteks Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah isu pencegahan dan pemberantasan korupsi, meniadakan peran praktik oligarki di tubuh partai politik serta mendorong distribusi ekonomi yang lebih adil lewat regulasi dan kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat.
Bagaimana mungkin Pasangan Anies-Muhaimin mampu memperioritaskan agenda tersebut jika ngomong korupsi saja Muhaimin bisa tergagap-gagap.
GM sudah menegaskan keberpihakan namun tampaknya publik meresponnya dengan datar dan tak ada polemik. Mungkin publik sadar tak ada yang istimewa, tak jelas nilai yang diusung. Atau mungkin publik terlanjur apatis, politik di mana-mana formulanya sama, “siapa dapat apa”.