Debat Cawapres, Isu Keadilan Kawasan dan Menguapnya Stigma Gibran Dungu

Tertib dan lancar, seperti tanya jawab yang jawabannya sudah dipersiapkan matang. Kesan ini yang pertama kali saya rasakan ketika pagi tadi menyempatkan melihat debat cawapres yang berlangsung semalam karena saran kawan yang menurutnya Gibran tampil memukau.

Tapi, sudahlah, debat di Indonesia memang selalu begitu, di semua level pada semua event. Ada banyak kepentingan yang menghendaki acara itu “sukses” terutama penyelenggara, juga stasiun televisi yang bertindak sebagai tuan rumah butuh apresiasi positif.

Di bawah tatapan jutaan mata, Gibran, ‘anak kemarin sore itu’ sama sekali tak kedodoran dari dua pesaingnya, Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar. Sebaliknya justru terlihat sangat percaya diri layaknya berdebat dengan kawan sebaya padahal usia Gibran hanya separuh dari usia Mahfud dan terpaut jauh dengan cak Imin. Penonton jadi sadar, bukan Mahfud atau cak Imin yang tidak cerdas melainkan Gibran yang brilian.

Harus diakui Gibran sangat menguasai tema debat, sangat kaya dengan idiom hingga hal-hal teknis menyangkut UMKM, ekonomi kreatif dan terutama sangat menguasai kosa kata digital. Soal isu ini Gibran tidak tertandingi dan tampak tidak sedang menghafal naskah, pengetahuannya genuine. Gibran tampil mewakili anak muda yang cerdas sekaligus kreatif.

TERKAIT:  Aktor Dibalik Kotak Kosong versi Pergunjingan Warung Kopi

Pasca malam tadi tak sepantasnya ucapan seperti “Gibran dungu” masih terdengar dari pembencinya dan jika tetap ingin meledek sebut saja ‘Gibran produk dinasti’ tanpa embel-embel goblok atau ungkapan sejenis.

Terlepas dari kemungkinan bocornya pertanyaan pada peserta, tak bisa dipungkiri Gibran berhasil membuktikan bahwa tuduhan bodoh dan belum layak jadi pemimpin tak lebih dari isapan jempol. Kata ‘goblok serta frase belum layak jadi pemimpin’ menjadi tidak relevan sejak debat semalam. Pasca debat semalam pun sejumlah pengamat serta akademisi mempermasalahkan terma serta pengucapan Gibran mengenai istilah tertentu sehingga Gibran terbukti bukan sekadar pemicu wacana, tetapi lebih pada discourse driver (penggerak wacana). Akibatnya Gibran menjadi pihak yang paling diuntungkan serta memperoleh benefit terbesar dari upaya orang-orang yang terus mendiskreditkannya,

Lalu gagasan menarik apa yg ditawarkan para cawapres yang layak diapresiasi?

Tidak ada, saya kira tidak ada, Mahfud menawarkan pemberantasan korupsi yang lebih keras, begitu juga cak Imin yang tak ingin pelemahan terjadi terhadap KPK. Tdk ada yg istimewa karena ketiga cawapres mendukung agenda itu.

TERKAIT:  Tantangan Semakin Kompleks, Advokat Muda Makassar Menginisiasi Terbentuknya Forum Advokat

Yang betul-betul layak diperdebatkan adalah isu keberlanjutan IKN yang disokong habis Gibran dan tak disinggung cak Imin atau Mahfud. Isu IKN ini yg membuat Gibran terlihat berkilau sendirian diantara pesaingnya.

Jualan IKN sebagai simbol keadilan kawasan sudah laris manis sejak dicanangkan Jokowi. Isu yang lama mampet dalam kesadaran masyarakat khususnya yang bermukim di kawasan timur tetiba bergerak tak terbendung karena menemukan justifikasi politik.

Isu keadilan kawasan yang diperjuangkan sekian lama tak kunjung terwujud. Berbagai ikhtiar telah ditempu, dari penyebutan Indonesia Timur sebagai penanda kawasan tertinggal sebagai bentuk pressure politik yang kemudian bersalin rupa menjadi Kawasan Timur Indonesia sebagai upaya menghindari kesan radikal hingga pembagian kue pembangunan yg lebih berimbang lewat dana perimbangan pusat-daerah tidak cukup efektif menutup gap yang terus melebar.

Tindakan Jokowi memindahkan Ibu Kota Negara dalam upaya melahirkan pusat pertumbuhan baru di luar jawa dan terutama meretas jalan keadilan antar kawasan harus diakui merupakan langkah radikal yang tidak terpikirkan pemimpin lain.

TERKAIT:  NASDEM DI UJUNG TANDUK & MASA DEPAN PENCAPRESAN ANIES RASYID BASWEDAN

Berbagai kritik terhadap kehadiran IKN di luar Jawa tak berpengaruh signifikan membuat penentang Jokowi kelimpungan. Anies dalam beberapa kesempatan kelihatan emosional setiap kali diperhadapkan pada pertanyaan jebakan soal setuju atau tidak terhadap kehadiran IKN. Tesis Rocky Gerung soal etika lingkungan untuk menghadang IKN seperti imajinasi sutradara film Disney mengenai syurga binatang yang akan luluh lantak karena pembangunan IKN tak mampu menghipnotis warga kawasan timur yg terlalu lama hidup dalam ketidakadilan akibat kekayaan alamnya diangkut untuk digunakan mereka yang hidup bergelimang kemewahan di kawasan yang disebut barat dan terutama Jakarta yang merupakan epicentrumnya.

Seluruh penjelasan serta gagasan Gibran itu terangkum dalam apa yang disebutnya sebagai narasi besar, “keberlanjutan, percepatan dan penyempurnaan” yang jika disimak dengan baik juga merangkum seluruh gagasan dua cawapres lainnya.

Jadi ada baiknya menimbang memilih Prabowo-Gibran kalau hanya pasangan ini yang setuju IKN dilanjutkan demi terwujudnya keadilan kawasan yang merupakan tujuan awal bangsa ini didirikan yang kian hari kian porak-poranda oleh prilaku elit yang lebih mementingkan diri dan komunitasnya.