Eksistensi Masyarakat Adat & “Kejahatan” Terselubung Para Scholar

Masyarakat Adat

Akhirnya Rektor UI mundur dari Komisaris BUMN setelah tanpa henti digebuk netizen. Meskipun tidak sepakat dengan rangkap jabatan para rektor, saya tidak terlalu ambil pusing dengan fenomena debat seputar rangkap jabatan ini. Karena sejatinya sikap keberatan publik hanya menegaskan akan kemahaagungan dunia akademik sehingga rangkap jabatan rektor dianggap aib. Dengan melepaskan jabatan Komisaris BUMN seakan aib dunia akademik kembali pulih, benarkah?

Sudah terlalu lama kehidupan akademik dirundung petaka, dari praktek nepotisme hingga kejahatan plagiarisme sudah merupakan rahasia umum. Hanya saja praktek kejahatan di dunia akademik jenis ini yang dianggap penyimpangan paling berbahaya sehingga energi terbesar dihabiskan untuk memulihkannya. Seakan idealisme kehidupan akademik adalah ketika tidak terjebak pada praktek nepotisme dan plagiarisme. Umumnya akademisi atau para scholar merasa baik-baik saja jika konsisten mengajar dan meneliti untuk menghasilkan karya.

Tidak terjebak atau terlibat kehidupan praktis di luar kampus sudah dianggap on the track. Situasi di mana para scholar menjaga jarak dengan tetek bengek kehidupan sosial masyarakat ini termasuk yang dikehendaki Julian Benda. Kritik tajam Benda dalam ‘La Trahison Des Clercs’ kurang lebih seperti yang dipertontonkan umumnya para akademisi yang terjebak dalam sengkarut kekuasan termasuk keterlibatan para rektor sebagai representasi dunia akademik. Akibatnya debat hanya akan terpusat pada bagaimana mengembalikan kehidupan kampus yang steril dari anasir politik, ekonomi serta kepentingan lain.

TERKAIT:  Kuasa Hukum Tersangka Pemalsuan Sertifikat Eks Kebun Binatang Meminta Penyidik Polda Sulsel Memeriksa Willianto Tanta Sebagai Saksi

Debat yang berlangsung di lapisan permukaan tidak akan mampu menyingkap selubung kepentingan yang dibingkai lewat berbagai teori maupun norma hukum. Problem serius yang diidap umumnya mereka yang menyandang gelar akademisi atau scholar tidak disadari publik termasuk mereka yang bergelar akademisi itu sendiri adalah sikap tidak kritis terhadap disiplin yang ditekuninya. Ahli hukum kita, maaf umumnya menjadi corong undang-undang, di sini inti masalahnya. Beranggapan hukum itu netral berbahaya, karena dibalik aturan yang dipandang obyektif itu kepentingan diselundupkan.

Berdasarkan pemahaman umum masyarakat jurist dipilah atas dua kategori, akademisi dan praktisi. Masyarakat memilah dua konsentrasi ini dengan penekanan berbeda, para praktisi seperti advokat dan notaris dipandang berurusan dengan hal-hal teknis sehingga tidak membutuhkan kedalaman dalam menjalankan profesinya dan cendrung pragmatis. Profesi advokat misalnya dipandang peyoratif karena mengejar kepentingan pribadi dibanding memperjuangkan kebenaran atau kepentingan publik. Sebaliknya mereka yang disebut scholar adalah kaum yang berkecimpung dalam dunia ilmiah dengan pendekatan teoritis serta analisa mendalam. Para scholar dianggap mengutamakan obyektivitas dalam melihat permasalahan. Pemilihan seperti ini sulit dipertanggungjawabkan, faktanya tidak mudah memilah cara pandang antara seorang akademisi dengan praktisi karena keduanya lebih banyak berperan sebagai terompet undang-undang.

TERKAIT:  Kemarahan Johnson: Qua Vadis Organisasi Advokat?

Catatan ini sebagaimana judul di atas berusaha menyingkap “kejahatan” terselubung mereka yang disebut scholar lewat isu penyingkiran masyarakat adat. Maaf, jenis “kejahatan” ini tidak kalah berbahayanya dibanding plagiarisme itu sendiri.

Beberapa hari lalu saya secara tidak sengaja melihat perbincangan para scholar di media sosial mengenai isu pengelolaan pesisir dan pulau serta klaim penguasaan serta kepemilikan masyaralat adat atas resources mereka. Saya tidak kaget mendengar para scholar terutama para pakar hukum bicara mengenai masyarakat adat atau komunitas tempatan kaitannya dengan pengelolaan konflik di pesisir dan laut yang menyudutkan masyarakat adat. Hanya saja saya merasakan kecemasan mendalam tiap kali para scholar yang tanpa sadar menjadi alat justifikasi kekuasaan terhadap penyingkiran masyarakat adat dari resources yang selama ini mereka kuasai.

Umumnya ahli hukum mereduksi eksistensi masyarakat adat dengan mengikuti definisi peraturan perundang-undangan. Para scholar tanpa sadar mengikuti definisi serta penjelasan undang-undang serta berbagai peraturan termasuk prasyarat eksisnya sebuah komunitas adat. Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) misalnya, mensyaratkan eksistensi Hak Ulayat diakui, “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Tafsir atas pasal ini terlalu lebar sehingga bisa ditarik sesuai kepentingan rezim developmentalism.

TERKAIT:  Membongkar Motif Pembunuhan untuk Agenda Reformasi Kepolisian

Seiring transformasi Indonesia menjadi negara modern, terdapat upaya negaraisasi yang begitu masif untuk menertibkan tatanan masyarakat adat. Lewat Undang-Undang Kehutanan, wilayah adat diambil alih menjadi hutan negara. Negara kemudian menyerahkan kewenangan pengelolaannya pada swasta dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau HGU hingga jutaan hektar.

Para scholar tanpa sadar mengikuti definisi serta penjelasan undang-undang serta berbagai peraturan lainnya tanpa sikap kritis. Pandangan yang merujuk bunyi pasal undang-undang beserta penjelasannya dan membandingkannya dengan aturan sejenis memiliki derajat sedikit lebih baik dibanding kemampuan siswa yang mengahafal Pancasila dan UUD 45 beserta penjelasannya. Tanpa memahami konteks kelahiran pancasila dan UUD 45 termasuk perseteruan idiologis serta sudut pandang penggagasnya, siswa bahkan seorang scholar akan kesulitan memahami dan mentransformasinya dalam konteks kekinian.

Persis umumnya ahli hukum kita yang membicarakan eksistensi masyarakat adat serta hak mereka tetapi tidak punya pemahaman memadai mengenai masyarakat adat serta konteks yang melahirkan regulasi negara yang mengaturnya akan berfungsi sebagai terompet undang-undang dan berperan sebagai senjata efektif menyingkirkan masyarakat adat atas hak mereka yang diwarisi dan dijaga secara turun temurun bahkan sebelum negara hadir.

Pada titik ini para scholar tanpa sadar terlibat “kejahatan” terselubung menyingkirkan dan menghapus jejak masyarakat adat.