Politik Identitas: Grand Design atau Sekoci Penyelamat ?

Beberapa saat menjelang digelarnya debat ketiga Capres semalam Tagar #NazarPemilu masih terus bergema di medsos yang diduga dimobilisasi simpatisan serta pendukung Anies-Muhaimin (AMIN) yang secara serempak berpaling mengetuk pintu langit lewat beragam nazar ketika jagoannya tak kunjung menyusul Prabowo-Gibran. Prilaku ini mengingatkan publik pada buku Peter L Berger, KABAR ANGIN DARI LANGIT: Makna Teologi Dalam Masyarakat Moderen, atau MADILOG yang merupakan magnum opus Tan Malaka.

Apakah fenomena ini pertanda kepanikan pihak AMIN ketika isu perubahan yang diusung tak memiliki pengaruh signifikan karena visi misi ketiga Capres relatif sama serta debat Capres yang diharapkan mampu mendongkrak elektabilitas AMIN juga tak banyak membantu. Atau karena sejak awal isu agama sudah dipersiapkan untuk dilaunching secara massif menjelang Pilpres sebagai senjata pamungkas?

Sejak Anies-Muhaimin dengan sadar menggunakan tagline AMIN yang merupakan akronim dari nama mereka sebenarnya sudah ketebak adanya agenda kembali menyeret politik identitas pasca terbukti efektif dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Alasan utama penyingkiran Agus Harimurti Hudhoyono (AHY) makin meyakinkan spekulasi awal kalau kehadiran Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres Anies bertujuan menggenapkan isu AMIN sebagai representasi identitas islam yang tidak mungkin disimbolisasi melalui sosok AHY. Hal itu cukup beralasan mengingat berbagai hasil survei menunjukkan besarnya pengaruh organisasi keagamaan dalam menentukan dukungan pemilih muslim pada Pilpres 2024 mendatang.

Amin berasal dari bahasa arab yang bermakna aman atau amanah juga bila diucapkan dalam doa bisa berarti menyerahkan sepenuhnya harapan kita pada Allah SWT. Pilihan akronim AMIN sebagai penanda identitas capres-cawapres bukan semata karena akronim AMIN selaras dengan karakter yang dimiliki keduanya, atau sejalan dengan harapan yang ingin dicapai, melainkan karena kata amin sendiri mewakili simbol atau identitas islam.

TERKAIT:  Menggebrak MK Seraya Menggantung Hak Angket Lalu Patgulipat Dibalik Panggung ?

Dari sini sebenarnya grand design politik identitas dimulai. Selanjutnya bisa ditebak berbagai simbol atau identitas islam terus diproduksi semisal narasi Anies yang katanya mantan santri dilempar ke publik, penggunaan sarung dalam berbagai aktivitas Capres hingga istilah Slepet, melecut menggunakan sarung yang merupakan tradisi dalam lingkungan pesantren ikut ditenteng ke atas panggung debat Capres hingga aktivitas mutakhir berupa mobilisasi netizen lewat #NazarPolitik yang sempat trending topik di media sosial.

Aktivitas mobilisasi dukungan politik menggunakan identitas islam ini yang dalam literatur disebut politik identitas. Mobilisasi dukungan oleh AMIN dengan memanfaatkan identitas islam nampaknya akan terus dilakukan terutama karena jargon perubahan tidak lagi bisa diharapkan mendongkrak elektabilitas yang stagnan dan terancam makin melorot akibat penetrasi Prabowo-Gibran dan timnya yang makin agresif sampai ke akar rumput sehingga makin sulit dikejar dengan ambisi satu putaran.

Saiful Mujani melalui Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) lewat serangkaian survei dari sejak 2021 hingga 2024 berusaha memetakan arah dukungan umat islam baik pada pemilu legislatif maupun Pilpres 2024 memastikan besarnya pengaruh agama dalam menentukan arah dukungan pemilih termasuk arah dukungan kelompok 212 yang secara provokatif mendukung Anies pada pilkada DKI Jakarta.

TERKAIT:  Paralegal Academy, Ajang Aktor Juru Damai Se-Nusantara

Selain memotret kecenderungan pendukung aksi Kelompok 212 yang mayoritas konsisten mendukung Anies, Saiful Mujani berusaha memastikan arah dukungan mayoritas muslim jawa dengan meminjam tafsir Clifford Geertz mengenai stratifikasi sosial masyarakat jawa lewat penelitiannya antara 1053-1954 di Mojokuto, Jawa Timur sebagai pijakan. Hasilnya cukup menggembirakan, survei merekam pergeseran signifikan pola beragama serta orientasi tak terduga kaitannya dengan sosok tiga Capres.

Anies yang sejak awal terbaca berupaya memanfaatkan sentimen agama untuk kepentingan politik elektoral justru menunjukkan dukungan minimal umat islam dibanding Prabowo dan Ganjar yang kala survei berlangsung ketiga calon presiden belum memiliki pasangan resmi.

Mujani dalam survei menemukan mayoritas umat islam jawa mengaku sebagai islam santri ketimbang abangan dan priyayi menyimpangi kesimpulan Geertz. Hasil survei SMRC menunjukkan kecenderungan pilihan mereka tidak ke pasangan Anies-Muhaimin yang berdasarkan latar belakang keluarga serta pendidikan formal keduanya dikategorikan santri yang jika meminjam perspektif Geertz harusnya afiliasi politiknya ke pasangan AMIN namun faktanya justru ke Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran dengan jumlah yang signifikan.

Survei secara konsisten menunjukkan jika menyangkut suara pendukung 212 arah dukungnya dominan ke Anies namun bila menyangkut NU serta mayoritas umat islam dukungan ke Anies yang banyak menyeret simbol islam malah kedodoran di belakang Prabowo dan Ganjar.

Mengapa politik identitas tak lagi berpengaruh signifikan dalam survei SMRC tak dijelaskan Mujani namun mudah saja menebaknya bila membandingkannya kedahsyatan pengaruhnya pada Pilkada DKI dimana Anies yang didukung penuh Ijtima Ulama berhadapan dengan Ahok yang double minority, non-Muslim dan beretnis China. Belum lagi kehadiran Ganjar-Mahfud serta dukungan ulama yang merata pada ketiga Capres membuat isu politik identitas kehilangan signifikansinya.

TERKAIT:  Polemik Pembangunan Infrastruktur dan Visi Chaidir Syam untuk Masa Depan Maros

Mengapa hasil survei SMRC menjadi menarik karena sampai hari ini sejumlah peneliti senior masih menggunakan perspektif Geertz dalam memandang muslim jawa termasuk memetakan dukungan silent majority kaitannya dengan latar belakang keagamaan presiden Indonesia terpilih terutama sejak pemilihan presiden langsung.

Keterpilihan Susilo Bambang Yudoyono serta Joko Widodo lewat pemilu presiden langsung dari sudut antropologi bisa dijelaskan lewat trikotomi Geertz dimana keduanya berasal dari latar jawa-islam-abangan dan ini tidak eksklusif Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di Malaysia yang mayoritas Melayu serta Amerika Serikat dengan WASP (White, Anglo-Saxon, Protestant) meskipun sempat jebol saat John F. Kennedy dan Barack Obama terpilih jadi presiden.

Melihat sejumlah hasil survei dari lembaga survei yang kredibel yang menempatkan pasangan Prabowo-Gibran di urutan teratas dan diprediksi memenangi pemilihan presiden dalam satu maupun dua putaran menunjukkan bahwa arah dukungan pemilih mayoritas muslim sekalipun mereka tak lagi menyukai istilah abangan dan lebih mengidentifikasi diri sebagai santri masih menghendaki Prabowo-Gibran sebagai presiden sekalipun tak memanfaatkan simbol islam secara berlebihan dalam merebut dukungan pemilih muslim.