Foto: Maros, 13 Juni 2021
[Tulisan ini dicomot dari akun fb Muh, Rusdy]
Semalam saya diminta ikut memantik diskusi film The EndGame karya rumah produksi Watchdog yang digawangi Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta oleh anak-anak muda dari HMI Cabang Butta Salewangeng Maros, di Maros. Saya sendiri tidak tahu kenapa diminta sebagai 13 , mungkin anak-anak muda ini menyangka saya bisa membuat diskusi menghangat.
Menyaksikan trailer The EndGame di media sosial publik sebenarnya bisa menebak dan mafhum pesan yang diusung film ini. Hanya saja secara pribadi saya berharap Dandhy bisa meletakkan isu kematian KPK ini secara proporsional dengan misalnya menghadirkan suara berbeda. Setidaknya tidak terlalu vulgar dalam melakukan framing dengan mengabaikan fakta penting.
Saya termasuk penggemar dokumenter besutan watchdog, saya menonton diantaranya Asimetris, Rayuan Pulau Palsu dan terakhir seingat saya Sexy Killers. Karya dokumenter yang apik dan dibuat dengan sangat serius oleh Dandhy cs, Sexy Killers misalnya mendapat apresiasi luar biasa oleh publik internasional. Meskipun tema yang diusung Sexy Killer tergolong umum, dengan gambar yang apik dengan sudut pandang yang menyentuh, Sexy Killers berhasil memaksa penontonnya untuk tidak melewatkan setiap detail film. Pesan akan bahaya pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi utama dalam industri bukan hanya berdampak serius terhadap lingkungan dan masa depan bumi tapi juga pada sosial serta ekonomi yang makin memarjinalkan masyarakat dari sumber penghidupan mereka. Di beberapa tempat kehadiran industri ekstraktif berkontribusi terhadap penyingkiran masyarakat tempatan dari wilayah mereka.
Umumnya dokumenter garapan rumah produksi watchdog mengusung kritik terhadap idiologi developmentalism, paradigma pembangunan yang lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur dan mengorbankan lingkungan serta kehidupan sosial, ekonomi serta budaya masyarakat. Dalam “Rayuan Pulau Palsu” Dandy dkk menyodorkan sisi suram kehidupan nelayan tradisional ketika berhadapan dengan ekspansi modal lewat reklamasi Teluk Jakarta.
Menyaksikan karya Dandhy cs sebelumnya di youtube sambil berselonjor rasanya beda jauh saat kaki kesemutan karena usia ikut nonton bareng The EndGame yang dipanjang-panjangkan. Film dengan durasi nyaris 2 jam sebenarnya bisa diringkas hingga separuhnya tanpa harus kehilangan subtansi yang ingin disampaikan.
Salah satu problem serius yang diidap The EndGame karena mengabaikan sikap kritis publik. Didominasi oleh fragmen yang sudah dikenali publik membuat The EndGame lebih mirip siaran ulang dengan ending yang sudah tertebak. Dandhy mencoba merangkai potongan puzzle berbagai tayangan yang pernah muncul di media sebelumnya serta beberapa wawancara tambahan menjadi rangkaian cerita yang mengharu biru untuk menggiring penonton pada kesimpulan kalau pengalihan pegawai KPK menjadi ASN merupakan ronde terakhir kematian KPK. Lewat pernyataan provokatif mereka yang tidak lolos seleksi tes wawasan kebangsaan, skenario pembingkaian mengenai penyingkiran 75 mantan pegawai KPK dikemas dengan menggoreng sejumlah pertanyaan yang dimuat dalam tes wawasan kabangsaan terkait isu Taliban, HTI, FPI, LGBT, Rizieq, benturan antara Pancasila dan agama sebagai menu utama.
Sayangnya framing dalam The EndGame menjadi nampak sangat vulgar karena mengabaikan logika publik. Dari 75 pegawai yang dinyatakan tidak bersyarat, kurang lebih 12 diantaranya tampil di publik membuat kesaksian mengenai alasan keberatannya dan membongkar borok dalam tubuh KPK yang selama tertutup rapat. Pernyataan provokatif yang beririsan dengan politik identitas ini sebenarnya yang menjadi nyawa The EndGame.
Apa benar pertanyaan yang dianggap jebakan seperti isu Taliban, LGBT, pilihan antara agama dengan Pancasila serta pertanyaan yang dianggap tidak relevan semisal wisata ke luar negeri, sudah menikah apa belum dan seterusnya merupakan pertanyaan yang berdiri sendiri. Atau jangan-jangan pertanyaan yang dianggap jebakan itu hanya bagian kecil dari rangkain panjang pertanyaan yang didesign sedemikian rupa untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman dan komitmen peserta terhadap Pancasila serta komitmen kebangsaan mereka. Penting diberi catatan, pertanyaan yang diajukan terkait prasyarat untuk menjadi ASN, jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan kompetensi mereka sebagai penyidik seperti yang digembar–gemborkan berikut prestasi di bidang kompetensi itu.
Lantas mengapa pertanyaan lainnya tidak dihadirkan dalam The EndGame. Apakah hanya pertanyaan sensitif itu yang diajukan. Lalu bagaimana memastikan bahwa jawaban atas pertanyaan itu yang menyebabkan ke 75 peserta itu tidak bersyarat. Atau jangan-jangan justru ketidakbersyaratan mereka disebabkan oleh hal lain, pertanyaan lain misalnya, dan seterusnya. Lagi-lagi The AndGame abai terhadap hal mendasar ini.
Faktanya dari 1.351 yang ikut tes hanya 75 yang dinyakan tidak bersyarat, 25 diantara yang tidak bersyarat ini masih dimungkinkan lolos setelah melalui pembinaan.
Lagi pula jika permasalahan menyangkut masalah tuduhan terhadap pihak lain, mengapa The EndGame tidak berusaha menghadirkan para asesor atau setidaknya bocoran metode penilaian para asesor. Satu-satunya jawaban atas segala tuduhan yang dikemas dalam The EndGame yang ikut dimuat datang langsung dari Firli Bahuri.
Begini ucapan Firli, “Modul serta pertanyaan yang diajukan terhadap ke 75 mereka yang dinilai tidak bersyarat sama dengan pertanyaan yang diajukan terhadap total peserta sebanyak 1.351 orang yang ikut tes”.
Jika masalah sebenarnya yang dihadapi sejak awal oleh mereka yang dinyatakan tidak bersyarat ini adalah jawaban atas keberatan mereka, lantas mengapa tidak memilih mekanisme yang memungkinkan jawaban atas keberatan bisa diperoleh atau diakses publik secara terbuka, pengadilan misalnya. Bukankah selama ini ada banyak preseden dimana mereka yang tidak diloloskan Tim Seleksi KPU misalnya menggugat ke pengadilan karena merasa diperlakukan diskriminatif. Mengapa justru memilih melapor ke Komnas HAM, padahal menyadari kewenangan Komnas HAM terbatas pada pelanggaran HAM berat (the most serious crimes) yang sifatnya sistematis, meluas dan terstruktur. Kasus kematian 6 Anggota Laskar FPI yang dilaporkan tidak termasuk dalam yurisdiksi Komnas HAM berdasarkan kategori undang-undang.
Alih-alih berusaha menjawab rasa penasaran publik dengan menghadirkan klarifikasi versi asesor, The EndGame justru membangun framing kalau mereka yang dinyatakan tidak lolos merupakan korban skenario politik karena terlibat pembongkaran kasus besar di masa lalu, Kasus Simulator SIM, Kasus Rekening Gendut yang menyasar jenderal aktif di institusi kepolisian serta berbagai kasus besar lainnya. Deretan kasus itu disajikan sebagai bukti keberhasilan atau kehebatan KPK, termasuk isu lambannya penangkapan terhadap Harun Masiku memiliki kaitan signifikan terhadap ketidakbersyaratan 75 pegawai KPK melewati tes wawasan kebangsaan.
Pertanyaannya, apakah dari 1.276 yang dinyatakan bersyarat sama sekali tidak ada yang terlibat kasus besar dan bersinggungan dengan partai politik atau menjadi bagian dari kasus yang ditangani mereka yang tidak bersyarat. Bukankah tupoksi KPK memang menangani perkara yang dari segi nominal kerugian negara terhitung besar atau perkara yang mendapat perhatian luas oleh publik sehingga bukan hal yang luar biasa jika KPK berhasil menangani kasus dimaksud. Sebaliknya kekalahan KPK di prapradilan sebagai bukti kesalahan penangan kasus yang dilakukan KPK sama sekali tak dilirik meskipun sepintas penulis naskah maupun sutradara The EndGame.
Secara umum pesan yang ingin disampaikan melalui The EndGame selain tes wawasan kebangsaan yang dianggap mengada-ada, revisi UU KPK yang merupakan langkah awal pelemahan KPK karena penggeledahan, penyitaan serta penyadapan tidak mungkin lagi bisa efektif karena harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Dewas. Melalui pernyataan Hasan, salah seorang penyidik KPK yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan pesan itu disampaikan. Padahal apa yang disebut penyadapan harus seizin Dewas sudah dikoreksi Mahkamah Konstitusi yang hanya mewajibkan penyidik melaporkan pada Dewas KPK paling lambat 14 hari sejak penyadapan dimulai, atau 14 hari setelah penggeledahan atau penyitaan dilakukan.
Tidak dipertimbangkannya fakta Putusan MK dalam The EndGame memunculkan kesan kalau dokumenter besutan Watchdog kali ini digarap secara agak serampangan karena mengabaikan fakta hukum yang berkaitan dengan isu sentral yang diusung film ini.