Penjual Kelapa, Demokrasi dan Masa Depan Bangsa

Dr. Sawedi Muhammad
(Dosen Sosiologi, Fisip Unhas)

_Because on a sunny beach day, all you need is a coconut._

Cerita tentang kelapa kali ini, bukan tentang pantai yang panas dan kering dengan pasir putih dan debur ombak yang menggelegar. Bukan juga tentang turis asing berbikini, dengan sunblok tebal menempel di sekujur tubuh, menikmati liburan sambil telentang di langit tak berawan.

Ia tentang Daeng Rahman yang pantang menyerah menggeliat mencari nafkah di hiruk pikuk lanskap perkotaan yang sering tidak bersahabat. Ia tentang perjuangan anak pelosok menembus pekatnya rimba kehidupan urban yang acapkali tak berpihak. Daeng Rahman lahir dan besar di Jeneponto, tanah tumpah darah yang akan selalu dirindukan sampai ajal menjemputnya. Keluarga batihnya masih utuh. Ayah dan ibunya masih sehat walafiat. Karenanya, meski bermukim di Makassar, selalu ada yang memanggil pulang. Baginya, Makasaar adalah persinggahan, tempat pencarian sementara sampai pada titik dimana Ia akan pulang dan tak akan pernah kembali.

Di suatu sore menjelang petang, sempat mengobrol dengan Daeng Rahman, penjual kelapa muda di koridor Rappocini yang bising. Ia berceritera mengenai profesi yang digelutinya selama 5 tahun terakhir. Kadang mujur karena kelapanya laris manis. Tapi biasa juga apes ketika hujan turun tiada henti. Kelapa yang dijajakan umumnya berasal dari Jeneponto dan Bone. Dua kabupaten yang menurutnya menghasilkan kelapa yang airnya manis dengan daging yang lezat.

Ia mengisahkan awal mula terjun sebagai penjual kelapa. Ia terdorong untuk mencari rezeki yang relatif gampang, tidak menyusahkan, modal kecil dengan risiko minim. Rahman menyadari pendidikannya yang hanya tamat SMP tidak cukup menopangnya untuk menjadi pekerja kantoran. Akhirnya ia mengikuti pamannya, membantu angkat kelapa, memapas buah dan menuang air ke dalam plastik untuk diserahkan ke pembeli. Setahun bersama sang paman, ia akhirnya mahir menandai kelapa muda berdasarkan tingkat ketebalan dagingnya hanya dengan menepuk batoknya. Sangat lincah memapas kelapa meski kulitnya sangat tebal. Pada akhirnya banyak pembeli yang senang padanya.

TERKAIT:  GM & Jokowi yang Berubah

Ketika tempatnya menumpang menjual kelapa ingin digunakan oleh pemilik ruko, mereka pun pindah di tempat baru. Masih berdekatan dengan tempat sebelumnya. Hanya saja, mereka harus membayar sewa bulanan yang jumlahnya cukup memberatkan. Mereka mencoba mencari tempat gratis di poros Rappocini, tapi tidak ada tempat yang kosong. Mereka tak punya pilihan. Membayar sewa masih mending ketimbang menjadi pengangguran di Makassar.

Saat ini, Daeng Rahman telah mandiri. Ia memulai usahanya dengan modal pinjaman dari sang paman yang bermurah hati. Ia pun diberi keleluasaan mendapatkan pasokan kelapa dari langganan pamannya. Meski lapak Daeng Rahman berada di atas trotoar, ia tetap diwajibkan membayar sewa ke pemilik kavling yang tanahnya berbatasan langsung dengan trotoar tersebut. Ia mengeluh karena belakangan dagangannya kurang laris. Seperti biasa, bisnis kelapa di musim hujan adalah masa pahit yang harus dilewati.

Tapi hari ini Daeng Rahman senyum sumringah. Sesaat setelah matahari terbenam ia akan pulang kampung menggunakan hak suaranya di pemilu serentak. Meski ia tak memahami apa hakikat pemilu, demokrasi, kebebasan, deliberasi dan partisipasi, kebahagiaan nyata terpancar di matanya. Pulang adalah mantra yang dapat mengobati kegalauan jiwa, penderitaan, kesedihan, nestapa dan segala macam kegamangan di kota yang semakin sumpek. Ia sumringah bukan semata karena akan bersua dengan ibu yang selalu dirindukannya, ayah yang selalu dikaguminya dan saudara yang selalu dicintainya. Ia bersuka cita karena akan menjemput politik uang yang jumlahnya lebih besar dari keuntungan harian menjajakan kelapa. Uang sebesar itu sangat berarti baginya. Di samping menjadi tradisi setelah era reformasi, pemilu menjadi hari libur yang mengasyikkan. Pulang ke kampung halaman, menunaikan kewajiban sebagai warga negara, bersua dengan orang-orang yang dicintai serta membawa pulang sejumlah uang dari para caleg yang bermurah hati.

TERKAIT:  Dana 30 Juta Lebih Milik Nasabah Pengguna Mobile Banking di Soppeng Raib, Kuasa Hukum Tuntut Tanggung-Jawab BRI

Daeng Rahman menghitung secara presisi. Calon anggota DPRD kabupaten disebutnya sebagai caleg. Yang lainnya disebut sebagai calon presiden, calon provinsi, calon pusat dan DPD. Karenan persaingannya sangat ketat, caleg menempati bayaran tertinggi dalam bursa politik uang. Pasaran hari ini menurut Daeng Rahman sebesar 500 ribu rupiah per kepala. Sementara untuk calon presiden, provinsi, pusat dan DPD umumnya hanya memberikan sembako, baju kaos, topi dan kadang kopiah ke calon pemilih.

Uang 500 ribu rupiah itulah yang membuat Daeng Rahman sumringah. Ia tak memikirkan kualitas caleg yang akan dipilihnya. Ia tak memikirkan moral dan etika demokrasi. Ia tak peduli janji kampanye, tak mau tahu tentang ideologi dan platform partai politik. Ia masa bodoh tentang siapa yang berkuasa karena tak paham bagaimana cara kekuasaan itu bekerja.

Daeng Rahman dengan segala ketidakpeduliannya bisa jadi merepresentasi sikap jutaan warga negara lainnya yang tidak mau tahu tentang bagaimana mesin politik itu bekerja. Ia tanpa sadar tidak memahami situasi yang mencekam, mendebarkan dan mengkhawatirkan saat etika dan moral politik diabaikan, proses politik diremehkan dan relasi kuasa yang timpang dibiarkan.
Tentu saja, Rahman tidak memahami apa yang disebut Thomas Hobbes sebagai _“Warre”_ atau yang disebut Robert Kaplan sebagai _“anarchy”._ Rahman hanya memikirkan dirinya bukan karena tidak peduli pada nasib bangsanya atau masa depan demokrasi. Ia tidak peduli bukan karena tidak mencintai negerinya. Ia abai karena satu justifikasi tunggal yang sederhana yaitu ketidaktahuan.

Rahman terjebak ke dalam perangkap psikologis yang dalam literatur neoroscience disebut sebagai _“cognitive inertia”._ Rahman terkungkung pada informasi, pada keyakinan dasar bahwa pemilu, meski dilakukan secara reguler, ia tetap saja tak akan mengubah apapun. Ia akan tetap seperti Rahman si penjual kelapa di koridor jalanan, merasakan terik matahari, diterpa hujan dan debu Rappocini.

TERKAIT:  BANTAHAN

Rahman dalam keterbatasannya, tidak memahami bahwa nasib jutaan orang akan bisa diubah dengan cepat tanpa kekerasan, penyiksaan, penindasan melalui proses pemilu yang jujur, adil dan berintegritas. Rahman dalam ketidaktahuannya tidak peduli bahwa caleg kabupaten, presiden, caleg provinsi, pusat dan DPD adalah aktor-aktor utama piranti demokrasi yang akan menentukan nasib bangsa dan negaranya.

Dalam keterbatasannya, Rahman tentu saja tidak memahami bahwa pemilu adalah ajang pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terlegitimasi. Ia ibarat Perang Baratayuda di Padang Kurusetra yang menurut Acemoglu dan Robinson sebagai koridor sempit _(narrow corridor)_ untuk menentukan siapa yang akan memegang tongkat kekuasaan. Dalam bahasanya yang lugas, Immanuel Kant memberi penegasan bahwa dorongan manusia untuk diakui dan dianggap sama kedudukannya dengan orang lain sama kuatnya dengan dorongan manusia untuk lebih berkuasa dari yang lainnya _(megalothymia)_.

Karenanya, demokrasi adalah jalan keluar yang waras bagi terbentuknya apa yang disebut oleh Hobbes sebagai _“shackled leviathan”_; negara yang demokrasinya terkontrol, birokrasinya efektif, resolusi konflik yang fair, pelayanan publik yang prima serta nafsu otoritarianisme pemegang kekuasaan dibatasi secara ketat.

Semoga pemilu tanggal 14 February akan melahirkan “shackled leviathan” di koridor sempit perebutan kekuasaan yang menjunjung etika dan moralitas.

Siapa pun pemimpin yang terpilih adalah representasi keinginan publik yang harus diterima dengan rasa hormat. Roda pembangunan harus terus berjalan, cita-cita negara kesejahteraan yang berkeadilan harus diwujudkan. Pelan tapi pasti, sosok seperti Daeng Rahman yang terjerembab jauh di lembah inersia pengetahuan akan terkikis habis, seiring dengan proses demokrasi yang semakin matang dalam melahirkan elit-elit politik yang berkualitas. Semoga!