Foto: Laki-laki yang Numpang Mejeng di Mall 15 Tahun Silam
Tim hukum pemohon perselisihan hasil pemilihan presiden di MK terlihat cukup percaya diri sekalipun banjir kritikan karena materi perselisihan yang dimohonkan dipandang berada luar yurisdiksi MK.
Pemohon diwakili para profesional dan mantan petinggi hukum negeri ini. Diantara tim hukum AMIN selanjutnya 01 nampak mantan Ketua MK Hamdan Zoelva. mantan Kabareskrim Susno Duadji, mantan Jaksa Agung M Prasetyo, pakar hukum tata negara Refly Harun. Sementara advokat senior Todung Mulya Lubis menahkodai tim hukum Ganjar-Mahfud selanjutnya 03 dimana semua yang terlibat hatam dengan meteri perselisihan yang membatasi ketat kewenangan MK dengan hanya mengadili perselisihan hasil pemilihan pilpres, bukan dugaan pelanggaran yang merupakan domain Bawaslu.
Bila kubu yang kalah bermaksud mendiskualifikasi pemenang atau menghendaki pilpres diulang tanpa mengikutsertakan pemenang maka pilihan satu-satunya harus melewati gerbang MK sebab forum hak angket tidak berwenang mengubah hasil pilpres.
Namun keputusan mengajukan perselisihan hasil pilpres ke MK tanpa dibarengi upaya maksimal mempermasalahkan dugaan kecurangan melalui hak angket menimbulkan kecurigaan kalau pilihan tersebut memiliki agenda terselubung.
Berangkat dari sudut pandang kecurigaan, catatan singkat ini mencoba menganalisa sejumlah variabel untuk membuktikan tesis kalau pengajuan PHPU tanpa diikuti pelaksanaan hak angket merupakan hasil kompromi diam-diam elit partai dalam menyelesaikan konflik diantara mereka.
Untuk menopang tesis tersebut fakta pengakuan Puan Maharani sendiri dalam beberapa kesempatan menjelaskan kalau sampai hari ini hak angket belum bergerak tidak mungkin dilewatkan begitu saja. Sementara Surya Palo sebagai king maker dibalik pencapresan Anies melempar bola panas hak angket dengan menyebut perolehan suara Nasdem terbilang kecil dibanding PDIP yang sekaligus inisiator hak angket.
Prihal hak angket, Palo tanpa tedeng aling-aling menyebut Nasdem hanya mengekor di belakang PDIP. Hal yang sama ditunjukkan PKB sebagai pengusung Anies-Muhaimin.
Dari sini patgulipat diantara elit di panggung belakang mulai terlihat sekalipun berusaha ditutupi dengan mendesign medan laga di panggung depan sebagai gimmick lewat pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan di MK.
Menyaksikan permainan petak umpet tersebut publik jadi mulai menyadari kalau pengajuan PHPU merupakan bagian dari strategi kanalisasi konflik agar tidak melebar ke mana-mana. Dengan mengajukan PHPU patgulipat ini tak akan mudah dideteksi publik agar kepercayaan publik terutama konsituen tetap bisa dipertahankan. Penting menghindari blunder Prabowo terulang yang dengan terang-terangan memilih bergabung dengan lawan politiknya di saat pendukungnya berada di puncak titik didih.
Agar kepercayaan publik tetap terjaga propaganda peluang menang dilakukan dengan berbagai cara. Bukti kecurangan pilpres terus dibesar-besarkan meskipun tak didukung bukti kongkrit dan valid. Menyerang penyelenggara dan kekuasaan dengan tuduhan berkolaborasi melakukan kecurangan lewat berbagai modus dibombardir ke ruang publik. Isu ketidaknetralan serta cawe-cawe presiden membantu kubu Prabowo-Gibran selanjutnya 02, penggelontoran dana bansos hingga ratusan triliun menjelang pemilu oleh kekuasaan untuk kemenangan 02, pelibatan aparat keamanan dan birokrasi negara hingga strategi yang kedengaran konyol yakni pemekaran sejumlah provinsi demi memenuhi jumlah sebaran wilayah sebagai syarat memenangkan kubu 02 dalam satu putaran dan seterusnya.
Seluruh asumsi itu dikemas rapi demi meyakinkan pendukung sendiri kalau syarat mendiskualifikasi pemenang telah terpenuhi. Padahal mereka sendiri sadar peluang menang sangat tipis karena kemungkinan itu disandarkan pada kenekatan Majelis Hakim MK menabrak aturan. Persis ucapan Mahfud MD: “Masalahnya terletak pada hakim MK sendiri, punya keberanian gak”.
Menariknya pengajuan sengketa ke MK yang diduga merupakan strategi patgulipat ini menperoleh respon positif dari berbagai kalangan. Sekitar 300 lebih guru besar dan akademisi serta sejumlah masyarakat sipil menyampaikan amicus curiae dengan harapan MK tidak terjebak pada urusan mengadili jumlah perolehan suara capres-cawapres melainkan mengedepankan aspek keadilan subtantif.
Bayangkan apa yang bakal terjadi andai kubu yang kalah bersepakat menutup jalan penyelesaian lewat MK. Sebaliknya ngotot mempermasalahkan dugaan kecurangan dalam pemilihan presiden lewat hak angket. Sekalipun tak mampu mencegah pelantikan presiden namun kemungkinan dinamika politik nasional akan tetap bergolak akibat konflik berpotensi melebar karena tidak terkanalisasi melalui MK. Belum lagi pelaksanaan hak angket berpotensi saling bongkar borok masing-masing kubu plus tuntutan mengikutsertakan isu kecurangan pelaksanaan pileg dalam hak angket.
Mengapa elit parpol pengusung capres yang kalah nampak tidak bersemangat mendorong hak angket. Mungkinkah mereka memiliki alasan selain kepentingan pragmatis sqeperti masih kuatnya sikap kenegarawan para elit demi menghindari perpecahan di tengah masyarakat. Kelihatannya alasan semacam itu untuk saat sekarang masih jauh paggang dari api melihat prilaku elit yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pertimbangan paling mungkin dan masih dalam bingkai pragmatisme adalah memaksakan hak angket justru berpotensi ikut merugikan pengusungnya sendiri.
Terlepas dari partai peraih suara terbesar dalam pileg, faktanya pelaksanaan pileg 2024 dinilai paling brutal sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilihan legislatif. Bagaimana kalau pendukung 02 menuntut perlakuan yang adil dengan mendesak DPR agar tidak hanya pemilihan presiden yang dievaluasi lewat hak angket tapi juga pelaksanaan pileg. Bisa dibayangkan semua pihak akan kalang kabut terutama partai dengan perolehan suara signifikan baik pengusung 01, 02 maupun 03.
Kecemasan didesak massa pendukung pemenang pilpres yang meminta DPR tidak menetapkan standar ganda ini bisa jadi salah satu pertimbangan mengapa DPR hingga saat ini tak mampu menunjukkan konsistensi mendorong hak angket. Bayangkan kalau atas dasar maraknya politik uang dalam pemilihan legislatif lantas muncul desakan mendelegitimasi Anggota DPR terpilih atau menuntut pileg digelar ulang.
Hal lain yang diduga dipertimbangkan DPR terkait digelarnya hak angket adalah risiko yang harus ditanggung elit politik termasuk DPR sendiri bila permasalahan terkait pilpres melebar hingga menyerempat ke ranah hukum.
Hak angket yang tadinya diharapkan mampu meneruskan serta meredam protes sekaligus momentum pembelajaran agar peristiwa serupa tidak berulang di masa depan justru menjadi liar dan tak terkendali serta berpotensi memunculkan masalah yang jauh lebih kompleks. Berbeda dengan upaya penyelesaian konflik lewat MK dimana medan konflik bisa dikelola agar tidak melebar dan hanya fokus pada sengketa perselisihan hasil pemilihan.
Membiarkan hak angket mengapung lalu terhempas tak berdaya membuat posisi tawar inisiator dan pengusungnya menjadi lebih baik.
Pada akhirnya sulit untuk tidak menyimpulkan kalau PDIP, Nasdem dan PKB akan memilih menjadi bagian dari rezim pemerintahan baru lewat rute yang landai.