Dicari Pemimpin dengan Gagasan Besar dan Komitmen Keberpihakan pada Rakyat

Kontestasi pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar November 2024 makin marak pasca pemilu legislatif. Di Sulsel misalnya sejumlah nama terus dielus sebagai jagoan untuk berlaga di level gubernur, wali kota hingga bupati.

Dibalik maraknya kontestan yang akan ikut berlaga memantik pertanyaan leadership, apa yang membuat orang-orang tersebut merasa pantas memimpin masyarakat dengan kompleksitas permasalahan yang demikian berat?

Mungkinkah karena alasan logistik yang melimpah atau karena baru saja memenangkan pemilihan legislatif dengan perolehan suara signifikan dan karena itu yakin mampu melewati syarat dukungan partai sebagai palang pertama untuk menduduki posisi tertinggi di level eksekutif.

Besarnya kebutuhan logistik untuk melewati barrier pertama itu belum seberapa bila dibanding kebutuhan mahar politik yang wajib disiapkan sebagai cost politik yang akan digunakan menggerakkan mesin partai untuk kepentingan pemenangan. Kabarnya budget terbesar dari semua itu adalah pos untuk tim pemenangan, termasuk di dalamnya jasa lembaga survei dan konsultan politik, tim media hingga tim lawyer serta saksi di TPS. Konon semua upaya itu tidak akan punya arti bila tak disiapkan semacam serangan fajar untuk menuntaskannya.

Berdasarkan kalkulasi sederhana ini seorang tokoh politik sekaligus pengusaha di Kota Makassar pernah mengingatkan: “Kalau tidak memiliki rekening di bank sebesar 80 miliar jangan berpikir maju pada pemilihan Wali Kota Makassar”. Dan kalau tidak salah tokoh tersebut juga disebut-sebut sebagai salah satu yang diunggulkan dalam pertarungan kursi Wali Kota Makassar pada November mendatang.

Direktur Nurani Strategic, Nurmal Idrus membuat kalkulasi mulai dari pencalonan, sosialisasi, kampanye, APK, hingga pengamanan TPS menemukan angka yang sangat fantastis: “Mahar parpol akan menghabiskan biaya 8–10 M. Biaya terbesar justru akan keluar dari biaya menaikkan popularitas dan elektabilitas. Di bagian ini berbagai macam biaya dikeluarkan, mulai dari bermain di media sosial, media luar ruang, media cetak dan lainnya. Total, jika popularitas rendah, maka setahun berkampanye setidaknya 10 M harus dikeluarkan”.

Politik berbiaya tinggi ini merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilihan kepala daerah langsung yang diperparah oleh rendahnya kesadaran politik masyarakat akan pentingnya kehadiran pemimpin ideal. Namun tentu saja kesalahan tidak mungkin dilimpahkan sepenuhnya pada masyarakat dan politisi melainkan disebabkan oleh macetnya transformasi sosial di semua lini termasuk sistem pendidikan formal di semua level tak terkecuali institusi pendidikan agama yang lebih menekankan aspek ritual hingga metode pengasuhan anak di dalam rumah tangga.

TERKAIT:  BHARADA E DALAM KERANGKENG POSITIVISME

Pragmatisme yang merajalela ini melahirkan sikap apatis dan saling curiga diantara politisi dan masyarakat yang tidak peduli satu sama lain. Masyarakat yang merasa dibutuhkan hanya di saat pemilu berusaha memanfaatkan momentum dengan mentransaksikan dukungan mereka. Sementara para politisi merasa tidak perlu bertanggung-jawab terhadap pemilihnya karena telah melunasinya di awal.

Sialnya, situasi mencemaskan ini justru dinikmati dan berusaha dilanggengkan oleh mereka yang melihat politik semata-mata sebagai arena perebutan kekuasaan serta lahan investasi bisnis yang basah. Tak yakin, tengok prilaku serta kapasitas intelektual pada umumnya politisi yang lolos masuk parlemen, halnya dengan mereka yang menduduki jabatan publik melalui pemilihan langsung. Pada saat yang sama para pemimpin umumnya miskin gagasan, tak memiliki visi serta etika kepemimpinan yang kuat membuat situasi bangsa ini seperti terjebak dalam terowongan gelap tanpa ujung.

Pemimpin yang hebat tidak sekadar mampu merencanakan dan membangun infrastruktur fisik. Kalau hanya bisa memerintah dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan cukup dikerjakan oleh birokrasi yang punya pengalaman panjang dengan penguasaan teknis prosedural yang tidak diragukan.

Melahirkan pemimpin dengan gagasan besar tidak mensyarakan gelar akademik tertentu termasuk simbol relegiusitas. Pemimpin yang memahami kebutuhan rakyat juga tidak berarti semata-mata mengikuti keinginan rakyat. Membangun peradaban jauh lebih penting dari sekadar memenuhi kebutuhan materil, apalagi hanya menjadi perpanjangan tangan para pemilik modal karena tersandera bantuan logistik dalam memenangkan kontestasi. Pada akhirnya semua harus dibayar mahal dengan konpensasi baik berupa konsesi lahan tambang termasuk memuluskan izin menimbun daerah resapan air serta areal sepanjang bibir pantai hingga ke tengah laut untuk membangun perumahan elit dan gedung pencakar langit.

TERKAIT:  Mahkamah Konstitusi dan Terminator

Lalu bagunan megah tersebut diklaim sebagai icon kemoderenan dan simbol keberhasilan pembangunan sambil bercengkerama ditemani senja dan secangkir teh hangat sembari menikmati sunset Losari yang legend itu tanpa harus terganggu suasana kota yang semrawut di sore hari.

Sejak bangunan megah sepanjang pantai Losari menyesaki lahan hasil reklamasi atas restu penguasa, para pemilik modal telah memonopoli sunset dan menghalangi pandangan publik menikmati matahari kembali ke peraduan. Hal yang sama berlangsung di banyak tempat di dalam kota, ruang publik diambil alih oleh para cukong lewat dukungan penguasa. Lapangan Karebosi yang merupakan icon Kota Makassar yang dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai aktivitas diserahkan pada swasta dan disulap jadi pusat bisnis tanpa persetujuan publik.

Di semua negara demokratis di muka bumi ini pemerintahnya melarang pandangan publik dihalangi untuk ikut menikmati keindahan alam. Indonesia juga memiliki regulasi terkait larangan membangun dalam areal sempadan pantai atau daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat tapi ditabrak habis oleh penguasa dan elit pemerintah, eksekutif maupun legislatif.

Dengan terus membangun dan mengembangkan kota-kota baru penguasa seperti sengaja menghindar dari kumuhnya suasana kota terutama daerah pinggiran yang menjadi langganan banjir, kemacematan sepanjang hari, aroma sampah yang menyengat, polusi debuh, kekeringan serta kesulitan air bersih di musim kemarau serta maraknya begal dan kejahatan jalanan lainya berpadu bak orkestra dengan simfoni yang menyayat hati dan absurd.

Pemimpin bukan sales atau dealer yang menawarkan produk dan menyiapkan pasar sebagai prasyarat terjadinya perputaran ekonomi. Pemimpin yang visioner memiliki gagasan cerdas yang sanggup menginspirasi dan menggerakkan masyarakat. Gagasan besar seorang pemimpin pernah diperkenalkan lewat tangan dingin Gubernur Ahmad Amiruddin melalui program tri konsep wilayah komoditas, perubahan pola pikir, dan petik olah jual, dengan visi menjadikan Sulsel sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Indonesia. lumbung pangan nasional.

TERKAIT:  Menguak Jejak Masa Lalu

Meskipun menggunakan terma pertanian, konsep petik olah jual sejatinya adalah gagasan kemandirian dengan spektrum yang meliputi semua aspek dan melampaui zamannya. Dengan memanfaatkan kosa kata sehari-hari gagasan itu menjadi mudah dicernah serta diterjemahkan pada aspek lain di luar pertanian seperti perindustrian hingga pertambangan. Gagasan petik olah jual yang kedengarannya sederhana itu bukan perkara gampang karena diharapkan bisa menginspirasi dan memotivasi setiap orang dan menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan gagasan atau program bantuan bibit gratis pada masyarakat untuk menggalakkan komuditas tertentu dengan harapan hasil panennya kelak sudah siap disalurkan oleh pemerintah melalii MoU dengan pihak ketiga. Pola seperti ini melahirkan ketergantungan bagi petani karena sepenuhnya berharap pada uluran tangan pemerintah. Menberi bantuan pada petani dari benih hingga pasca panen merupakan hal yang baik namun tanpa melibatkan petani termasuk dalam menentukan jenis komoditas yang tepat berdasarkan pengalaman panjang serta kearifan lokal yang mereka miliki membuat mereka menjadi obyek percobaan yang pasif. Akibatnya petani jadi bermasa bodoh karena tidak perlu memikirkan atau mengantisipasi kemungkinan risiko yang bakal terjadi.

Pola penentuan jenis komuditas oleh pemerintah berdasarkan kebutuhan pasar serta karakteristik fisik lahan tidak cukup memadai tanpa didahului riset yang serius. Ekosistem bisnis yang direduksi sebatas kebutuhan pasar global dan nasional dalam kurung waktu tertentu tidak pernah mampu menjelaskan hancurnya harga komoditas Porang di tingkat petani hari ini.

Prilaku masyarakat yang mudah tergiur dan terprovokasi dengan keberhasilan yang sifatnya instan berkontribusi signifikan terhadap melimpahnya hasil panen petani tanpa jalan keluar alternatif yang dipersiapkan matang sejak awal. Apalagi bila kebijakan populis seperti ini didorong oleh kesadaran politik praktis untuk kepentingan jangka pendek.

Seorang pemimpin harus bisa melihat dengan telinga dan mendengar lewat hati sehingga bisa memahami dan berusaha mencari jalan keluar terhadap kompleksitas problem yang dihadapi masyarakat dengan mempertimbangkan semua aspek lalu merumuskannya sebagai kebijakan yang bersifat bottom up.