Pragmatisme Parpol dan Dominasi Ketum dalam Penentuan Kandidat Usungan Partai

Analis politik, Rocky Gerung menyebut sepak terjang politisi senior PDIP, Bambang Wuryanto yang populer dengan Bambang Pacul mirip dengan apa dilakukan Firenze Niccolo Machiavelli dalam pengertian yang positif. Selama ini Machiavelli banyak disalahpahami dan diasosiasikan sebagai tokoh yang mewakili karakter buruk para penguasa, licik dan penuh tipu daya. Padahal Machivelli sejatinya adalah intelektual yang berjasa besar membongkar prilaku licik penguasa yang dari luar terlihat anggun, peduli sopan santun serta penuh wibawa.

Jika Machiavelli membongkar prilaku penguasa Prancis lewat II Principe yang memanfaatkan semua sumber daya termasuk tipu daya dalam mempertahankan kekuasaannya maka Bambang Pacul menunjukkan pada publik watak asli kekuasaan dalam proses pengambilan keputusan politik strategis di parlemen dimana anggota DPR harus meminta persetujuan ketua partai.

Masih segar dalam ingatan saat Mahfud MD meminta Bambang Pacul selaku tokoh senior dari partai peraih kursi terbesar agar meloloskan UU Perampasan Aset untuk mempercepat pemberantasan korupsi membuat masyarakat Indonesia terperangah dengan jawaban polosnya. Pacul dengan lugas mempersilakan Mahfud bicara dengan ketua partai karena jika menyangkut UU Perampasan Aset, korea-korea (baca: anggota DPR) di Senayan sini tegak lurus pada perintah ketua partai masing-masing.

Realitas partai yang dikuasai para oligarch ini tidak memungkinkan keputusan strategis termasuk penentuan calon gubernur, wali kota atau bupati lolos tanpa persetujuan ketua umum partai. Yang menentukan usungan kepala daerah bukan melalui proses demokratis yang nampak di panggung depan melainkan siapa yang dikehendaki ketua partai. Tidak akan ada usungan kepala daerah dari Partai Golkar tanpa persetujuan Airlangga Hartarto, begitu juga usungan PDIP, Demokrat atau Gerindra tanpa restu Megawati, AHY atau Prabowo Subianto.

Kebijakan partai yang memberi kesempatan pada pimpinan daerah dan wilayah hingga pimpinan pusat melalui mekanisme berjenjang dalam menentukan kandidat usungan partai tidak lebih dari lip service untuk menunjukkan kesan kalau proses demokrasi berlangsung di tubuh partai. Berbagai strategi dilakukan untuk menunjukkan kesan pada publik bahwa partai telah menyelenggarakan proses seleksi secara demokratis sekalipun pada akhirnya seluruh proses panjang seleksi berjenjang tersebut berujung pada titah ketua partai tanpa bisa dikoreksi termasuk lembaga resmi yang ditunjuk partai menangani hal tersebut.

TERKAIT:  Meraba Arah Sistem Pileg 2024 Lewat Diskusi WAG

Saat ini misalnya, Partai Golkar sedang mengumpulkan seluruh calon kepala daerah dari seluruh Indonesia untuk menjalani seleksi di Jakarta. Dalam kegiatan tersebut partai Golkar tidak hanya menyaring kader terbaiknya melainkan juga mengundang sejumlah kader partai lain termasuk yang berstatus petahana mengikuti seleksi calon usungan Golkar. Sebut saja misalnya Bobby Nasution yang merupakan petahana Wali Kota Medan yang merupakan kader PDIP atau Lutfi Halide yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Soppeng yang merupakan kader Nasdem.

Kebijakan kontroversial Golkar digelar di tengah sejumlah partai politik mendengungkan akan memprioritaskan mengusung kadernya dalam pemilihan kepala daerah serentak mendatang. Sikap berbeda yang ditunjukkan Golkar ini merupakan strategi Golkar untuk tampil sebagai pemenang dengan berusaha mengusung semua calon potensial agar bisa memenangkan kontestasi sebagai partai dengan jumlah kepala daerah terbanyak. Strategi ini bukan monopoli Golkar, Nasdem pernah tampil sebagai pengusung pertama capres yang merupakan kader partai lain.

Praktik ini menunjukkan secara telanjang wajah pragmatisme politik Indonesia. Karena menginginkan kemenangan partai politik bersedia mengambil risiko dengan mengabaikan proses kaderisasi di tubuh partai. Berbagai slogan serta mekanisme yang terkesan demokratis dan memprioritaskan kader internal namun faktanya berbagai syarat yang ditentukan justru memberi ruang pada siapa saja untuk diusung asal sanggup memenuhi syarat tertentu. Untuk bisa lolos dalam seleksi semua peminat lazimnya diminta berkompetisi untuk memperebutkan hati pemilih yang diukur berdasarkan survei yang dipandang kredibel. Artinya posisi serta peluang setiap orang setara, kader atau bukan, termasuk terhadap mereka yang sepanjang karir politiknya telah mengabdi dan telah pula menyelami idiologi partai selama puluhan tahun.

Dengan mengedepankan sikap pragmatisme dan idiologi kemenangan syarat hasil survei bahkan bisa dikesampingkan melalui intervensi ketua partai jika dinilai tidak cukup mengantar calon bersangkutan untuk bisa memenangkan kompetisi karena lemahnya dukungan logistik untuk membiayai kampanye serta menggerakkan mesin partai serta cost politik lainnya. Jangan heran kalau beberapa waktu lalu jadi pembicaraan publik karena konon ada ketua partai di Sulsel meminta mereka yang akan melamar sebagai kepala daerah lewat partai yang dipimpinnya menunjukkan isi rekening mereka sebagai salah satu syarat.

TERKAIT:  Meraba Peluang Kotak Kosong di Pilkada Maros

Pada akhirnya keputusan berada di tangan Ketum partai, bukan melalui mekanisme obyektif yang disepakati bersama. Tesis pengamat politik yang menyimpulkan kalau petahana Andi Sudirman Sulaiman akan kesulitan memperoleh partai pengusung dan terancam jadi penonton dalam pemilihan kepala daerah mendatang sulit dijelaskan dalam realitas politik Indonesia hari ini. Sebaliknya sebagai petahana dengan elektabilitas tertinggi sebagai calon gubernur Sulsel mendatang, Andi Sudirman Sulaiman berpotensi memborong partai.

Pertarungan kepala daerah termasuk pemilihan presiden adalah pertarungan kandidat bukan pertarungan partai. Kekalahan Ganjar Pranowo yang merupakan kader partai sekaligus diusung oleh partai dengan perolehan kursi terbesar di Indonesia hanya mampu mengantongi 17 % suara pemilih menjadi bukti bahwa peran partai dalam pilpres signifikansinya tidak lebih efektif dibanding ketokohan kandidat itu sendiri.

Menyadari hal ini partai politik akan berusaha maksimal mendukung kandidat yang dipandang berpotensi besar menang sekalipun datang dari luar kader mereka. Faktor ini yang menjelaskan mengapa Golkar jauh hari melibatkan kader partai lain termasuk tokoh non partai dalam seleksi formal calon kepala daerah yang akan diusungnya.

Peluang Andi Sudirman Sulaiman diusung paling banyak partai bahkan tampil sebagai pemenang dalam pemilihan gubernur Sulsel jauh lebih besar dibanding nama-nama yang beredar saat ini menurut sejumlah pengamat tidak lepas dari sosok Andi Amran Sulaiman (AAS) termasuk kemenangan gubernur Andalan di periode sebelumnya. AAS yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertanian dikenal sangat rapat dengan Prabowo dan kabarnya kemenangan telak Prabowo Subianto di Sulsel tidak lepas dari  tangan dingin founder Tiran Group yang ladang bisnisnya merambah banyak sektor termasuk industri pertambangan.

TERKAIT:  Rocky Gerung dan Sufisme di Mata Bachrianto Bachtiar

Besarnya pengaruh AAS bisa ditakar pada prestasi Andi Amar Ma’ruf Sulaiman, anak sulung AAS yang baru berumur 21 tahun namun berhasil mendongkrak perolehan kursi Gerindra di Dapil Sulsel II menjadi dua kursi dengan meraih 188.171 suara yang berarti Andi Amar berhasil mencetak rekor baru sebagai caleg muda yang baru pertama kali mengikuti pemilu dan tampil sebagai peraih suara terbanyak di Sulsel dan terbanyak ketiga di Indonesia.

Membaca peluang Andi Sudirman Sulaiman dalam pemilihan gubernur mendatang tidak bisa dijelaskan dengan memosisikannya sebagai Andi Sudirman an sich, melainkan mesti diucapkan dalam satu tarikan nafas dengan nama kakaknya, AAS. Dengan jabatan sebagai Mentan serta sejumlah atribut lain seperti pengusaha dan Ketua IKA Unhas, AAS merupakan sosok yang wajib dipertimbangkan dalam diskursus berpolitikan Sulsel. Bahkan sejumlah pengamat menilai kemenangan telak Prabowo di Sulsel pada pilpres kemarin tidak lepas dari tangan dingin AAS.

Sebagai tokoh penting di Golkar yang malang melintang di perpolitikan nasional, Nurdin Halid melihat situasi ini sebagai peluang bagi Golkar untuk memenangkan pertarungan dengan mengusulkan Golkar mengusung Andi Sudirman meskipun Golkar sendiri punya beberapa kader potensial.

Meminjam sudut pandang Pierre Bourdieu dalam melihat persaingan di sebuah arena, Filsuf, Sosiolog dan Antropolog Prancis abad ke-20 ini mengingatkan bahwa pertarungan hanya bisa dimenangkan manakala seseorang mampu mengenali jenis kapital yang dipertaruhkan dalam sebuah arena dan menempatkannya dengan benar dalam arena tersebut

Dibanding dengan kompetitornya yang namanya beredar luas di publik dan menuai puja-puji pengamat politik, nama Andi Sudirman Sulaiman masih terbilang unggul dalam banyak aspek, baik dari sisi kapital ekonomi (logistik), kapital sosial (network), kapital budaya misalnya latar belakang pendidikan maupun kapital simbolik semisal sikap relegius sehingga tidak hanya berpeluang memperoleh dukungan partai terbesar tapi sekaligus memuluskan jalan Andi Sudirman Sulaiman memenangkan kontestasi gubernur November 2024 mendatang.