Foto; Dicomot dari internet
Editor: Ernawati N
Di masjid kemarin siang saya berpapasan dengan komunitas Jamaah Tabliq yang sedang khuruj. Seperti biasanya mereka menyampaikan beberapa pesan dakwah yang intinya mengingatkan jangan sampai kehidupan dunia yang sifatnya fana membuat manusia lalai pada tujuan hidup yang kekal di akhirat.
Perjumpaan dengan komunitas islam transnasional yang berpusat di India, Pakistan dan Bangladesh yang dalam aktivitas dakwahnya berusaha memedomani prilaku Rasulullah SAW dan para Sahabat mengingatkan saya pada momen beberapa waktu lalu di cafe Ardan Masogi ketika Bachrianto Bahtiar, tokoh KAHMI Sulsel secara berkelakar menyebut Rocky Gerung seorang sufi.
Saya tak menanggapinya, tapi diam-diam mengagumi kedahsyatan maqam kakak Anto, begitu biasanya kami para yunior memanggilnya. Terlepas beliau serius atau sekadar berkelakar tidak mudah sampai pada kesimpulan nyeleneh seperti itu. Memberi penilaian mulia terhadap mereka yang di mata publik dituduh ateis bahkan sempat dilaporkan sebagai penghujat islam membutuhkan ketajaman mata bathin.
Spiritualitas dalam tulisan ini merujuk pada pengertian agama dalam bahasa inggris yakni religion yang berasal dari bahasa latin religare yang bermakna perasaan keterkaitan antara manusia dengan “Sesuatu” yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Hanya saja religion yang diterjemahkan sebagai agama mengalami reduksi sebatas agama dalam pengertian formal.
Untuk sampai pada kesimpulan nyeleneh menyebut Rocky sufi, seseorang harus melalui proses panjang dan terjal. Puncak spiritualitas kata Jalaluddin Rumi hanya bisa dicapai lewat jalan mahabbah. Sementara menurut Rocky untuk sampai pada pencapaian terbaik dalam segala hal seseorang harus terlebih dahulu melewati Purgatorium (Api penyucian). Situasi yang dalam teologi Katolik disebut fase peralihan setelah kematian jasmani sebelum tiba di surga. Rocky lebih suka mengutip proses pemurnian untuk mencapai kekudusan ini melalui karya Dante Alighieri dibanding teologi Katolik yang merupakan sumber asalnya.
Maqam tertinggi dalam spiritualitas hanya bisa digapai setelah seseorang berhasil melepaskan kemelekatan dirinya dari segala hal yang bersifat duniawi. Selama seseorang masih memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan hal-hal yang bersifat duniawi sekalipun setiap detiknya mulutnya komat-kamit melantunkan zikir atau memuji Tuhan masih sangat jauh dari para Pejalan, istilah yang digunakan untuk sebutan para penghayat spiritual. Dalam tradisi Budhisme diyakini mahayana atau nirwana hanya bisa dimasuki oleh mereka yang mampu melepaskan diri dari kemelekatan tadi. Hal yang sama juga berlaku dalam tradisi Taoisme, Hinduisme serta agama nenek moyang bangsa Indonesia seperti Sunda Wiwitan dan seterusnya.
Meskipun disebut memilih jalan kefakiran, para sufi yang secara terminologi berarti kain wol, merujuk kepada jubah atau khirqah yang biasa dikenakan para Sufi pada masa islam awal. Namun dari beberapa literatur diketahui kalau tidak semua Sufi mengenakan jubah. Ada juga yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata saf, yakni barisan dalam sholat. Sementara sebagian yang lain meyakini kata ini berasal shafa, yang berarti kemurnian.
Klaim kesufian yang identik dengan kefakiran tidak sepenuhnya bisa diterima semua orang. Kaum Stoik atau penganut Stoikisme tidak hanya dijalankan oleh mereka yang sehari-hari hidup sederhana, bahkan tokoh utamanya merentang dari Epictetus yang seorang budak hingga Marcus Aurelius sang kaisar. Prinsip Stoikisme, halnya dengan ajaran spritual lain esensi ajarannya menekankan pada pembebasan diri dari kemelekatan duniawi.
Rocky kenyatannya lebih menyukai disebut seorang agnostik dibanding penganut agama tertentu namun bisa dengan fasih menjelaskan moment spritual yang dialaminya jika sedang berada di puncak gunung dalam suasana magis dan terasing terutama jika sedang dalam situasi badai dan tak bisa berbuat apa-apa menghadapi kemahadahsyatan alam. Suasana seperti itu melahirkan kesadaran eksistensial betapa lemahnya manusia di hadapan makrokosmos dengan kekuasaan yang tak terhingga.
Pada kesempatan lain Rocky mengatakan kurang lebih begini: “ilmu pengetahuan itu sangat spiritualitas karena ketika tak mampu lagi menjelaskan suatu fenomena berarti saat itu juga ruang bagi spritualitas tampil memberi penjelasan”. Pengakuan akan keterbatasan manusia dengan sains di tangannya secara tak langsung merupakan bentuk kesadaran spiritualitas tanpa harus terjebak pada ritual keyakinan keagamaan tertentu.
Menjadi penganut agnostik karena menyadari tidak memiliki penjelasan memadai mengenai eksistensi Tuhan pada dasarnya sebuah perjalanan spritual mencari Tuhan yang tak pernah final. Tentu berbeda dalam pengertian penghayat spiritual yang menyakini penyatuan dengan zat Tuhan. Spiritualitas dalam sudut pandang seorang agnostik bisa berarti kenikmatan mencari tanpa harus terpenjara dogma yang terlembagakan yang merupakan hasil interpretasi manusia.
Mohammad Iqbal, intelektual islam kelahiran Pakistan memutuskan meninggalkan jalan penyatuan dengan Tuhan dan berusaha menemukan Tuhan dalam kenikmatan mencari. Iqbal mengambil jalan bersimpangan dengan Jalaluddin Rumi atau Imam Al-Ghazali yang menempuh jalan makrifat.
“Spiritualitas tidak harus terkait dengan agama dan Tuhan,” kata André Comte-Sponville, filsuf terkemuka Pancis, penulis buku “Spiritualitas Tanpa Tuhan”. Sponville melakukan eksplorasi filosofis perihal ateisme dan berkesimpulan bahwa kita bisa saja memisahkan konsep spiritualitas dari agama dan Tuhan. Penjelasan Sponville sebenarnya terjawab lewat pengalaman pribadi Rocky Gerung yang menggigil merasakan kekerdilan di tengah kamahadahsyatan makrokosmos saat mengalami badai di puncak gunung. Halnya yang sama dengan nuansa berbeda saat menyadari sains tak sanggup menjelaskan fenomena tertentu. Saat itu kata Rocky keterbatasan sains serta merta memberi ruang bagi spiritualitas hadir.
Jika meniti jalan spiritualitas harus bisa melepaskan diri dari kemelekatan, bagaimana menjelaskan tingkah seseorang mengajar selama 15 tahun tapi tak sekalipun mengambil gajinya, mengeritik pejabat publik tapi tidak atas dasar kebencian, menjadi oposan Presiden Jokowi tapi membantu timnya merumuskan Nawacita yang merupakan visi politiknya, mendukung kubu perubahan tapi melemparkan kostum AMIN ketika merasa dijebak memakai kostum terebut di depan umum, hidup menyendiri jauh dari keramaian dengan rumah tanpa kamar dan merasa cukup dengan beberapa helai baju serta beberapa buah sepatu yang merupakan pemberian kawan-kawannya padahal kalau mau Rocky bisa berleha-leha dari pendapatan yang seharusnya diproleh dari YouTube dan seterusnya.
Di lain waktu Rocky memasuki ruangan untuk memberi kuliah umum sambil jungkir balik tak peduli penilaian orang banyak serta di waktu berbeda dengan kegiatan sejenis sengaja memarkir mobilnya jauh dari tempat kegiatan dan meninggalkan kuncinya untuk sekadar memastikan kalau wilayah tersebut aman karena berada di kawasan militer. Dia mempertaruhkan mobilnya untuk alasan yang bagi orang lain tidak masuk akal.
Jalan spritual tentu tidak harus berpola hidup fakir bahkan sebaliknya bisa jadi seseorang yang melakoni jalan spritualitas dari luar nampak berlebihan namun jalan spiritualitas membedakan respon dirinya terhadap kemelekatan pada kehidupan duniawi dalam arti kelebihan yang dimilikinya tak akan sanggup memaksanya menjadi hamba dari miliknya dan menggenggamnya hingga ke dalam hati.
Bukankah seluruh tingkah abnornal Rocky menunjukkan ketidakmelekatan pada hal-hal yang bersifat duniawi, persis tingkah para Pejalan. Jika Rocky bukan sufi bukankah apa yang ditunjukkannya merupakan prilaku orang gila. Lalu apa bedanya orang gila dengan sufi di mata mereka yang memahaminya?
Saya tidak bermaksud mendeclare kesufian Rocky melainkan berusaha mengapresiasi ketajaman bathin kakak Anto dalam menyelami seseorang tanpa mempermasalahkan keyakinan formalnya. Kepekaan seperti itu tidak diperoleh lewat ibadah ritual yang ketat melainkan lewat pengalaman dan pergulatan bathin yang membutuhkan tirakat dan kesabaran seorang Pejalan.