Foto: Dicomot dari internet
Kawan saya menceritakan pengalamannya menjadi tim inti pada kontestasi pilpres beberapa tahun lalu saat meeting terakhir tiga hari menjelang pencoblosan. Capres yang ikut hadir iseng menanyakan permintaan tim jika kelak dirinya terpilih sebagai presiden. Lalu semua yang hadir bergiliran mengungkapkan harapannya dengan antusias, dari mulai duta besar hingga memimpin kementerian strategis. Ketika giliran tokoh yang terkenal vokal mengincar kursi jaksa agung, langsung dipotong capres dengan mengatakan kalau posisi tersebut merupakan jatah partai.
Pernyataan mengenai jabatan jaksa agung yang merupakan jatah partai pengusung menunjukkan kalau posisi menteri sudah ditransaksikan jauh hari sekaligus menjadi bukti kalau hak prerogatif yang diajarkan sejak di bangku sekolah dasar hingga di perguruan sebagai hak istmewa yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak bisa diganggu gugat dalam praktik ketatanegaraan kita jauh lebih rumit dari apa yang dibayangkan publik. Meskipun hak prerogatif tak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, materi hak prerogatif terkait kewenangan mengangkat menteri bisa dilihat pada Pasal 17 UUD 1945 yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Selain hak prerogatif dalam mengangkat menteri juga dalam hal mengangkat kapolri, panglima TNI termasuk mengangkat duta besar, pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi dengan persetujuan dan pertimbangan DPR. Faktor keharusan memperoleh persetujuan DPR ini yang menjelaskan mengapa presiden terpilih berusaha maksimal melobi elit parpol terutama partai peraih kursi signifikan dalam pemilu untuk bergabung dengan kubu pemenang.
Hak prerogatif atau hak istimewa sejatinya merupakan hak sisa atau residu kekuasaan diskresi raja yang bersifat absolut. Pada kasus Louis XIV, sang Raja Prancis menyamakan dirinya dengan negara itu sendiri. “L’État, c’est moi,” kata Louis XIV di depan anggota Parlemen Paris. Absolutnya kewenangan raja yang membuat rakyat melucuti haknya dan menyisakan secara terbatas yang kemudian dikenal sebagai prerogatif dalam sistem pemerintahan republik.
Adalah Montesqiueu, pemikir politik Prancis masa pencerahan yang juga anggota parlemen lokal Prancis yang dengan tulisan-tulisannya mampu menginspirasi pecahnya revolusi Prancis. Meskipun tak sempat menyaksikan langsung jalannya revolusi tulisan-tulisan Montesquieu memojokkan basis feodalisme para aristokrat dan menyerang gagasan hak ilahi para raja untuk memerintah. Montesquieu terpapar gagasan John Locke dan Thomas Jefferson mengenai kebebasan dan kesetaraan bagi setiap warga negara dan berhasil menjadikannya sebagai basis moral pecahnya revolusi Prancis.
Sayangnya revolusi Perancis tidak serta merta menerapkan gagasan Montesquieu mengenai pemisahan secara ketat antara eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk menciptakan check and balances. Dengan tidak diterapkannya pemisahan secara ketat antara ketiganya serta batasan kewenangan yang jelas agar tak saling mengintervensi satu sama lain revolusi Prancis kembali terjerembab dalam feodalisme. Sebaliknya gagasan besar Monresqiueu trias politika diadaptasi dalam revolusi Amerika membuat negara tersebut mampu menegakkan kehidupan demokrasi berlangsung stabil.
Naifnya dalam praktik pemerintahan di Indonesia terjadi penyimpangan yang mengakibatkan fungsi check and balances tidak bisa berjalan dengan baik. Fungsi penegakan hukum yang berada di tangan Jaksa Agung misalnya membuat presiden memegang kendali atas penegakan hukum mengingat sentralnya institusi kejaksaan dalam penegakan hukum pidana.
Menariknya, hak prerogatif presiden yang di blow up menjelang pengangkatan menteri ternyata tidak sepenuhnya ditentukan presiden melainkan hasil kompromi yang melibatkan elit politik terutama koalisi pemerintah. Jadi meskipun di atas kertas yang menentukan menteri itu presiden tapi kenyataannya proses penentuan oleh presiden merupakan proses tarik menarik serta negosiasi yang alot antara presiden dan terutama elit politik partai karena merupakan ajang bargaining presiden terpilih sebagai harga yang harus dibayar untuk memperoleh dukungan politik agar pemerintahannya bisa berjalan aman.
Fase bagi-bagi kue kekuasaan lewat pengangkatan menteri ini yang merupakan salah satu spot krusial yang ikut menentukan proses demokratisasi bangsa ke depannya, bukan sekadar siapa pemenang pemilu. Presiden yang tidak mengakomodir kepentingan parpol dalam hal pembagian kue kekuasaan akan menuai masalah serius dalam menjalankan pemerintahan. Dinamika politik akan terus memanas dan eksekutif akan terus direcoki hingga tidak akan bisa maksimal menjalankan tugas. Presiden dalam situasi tertentu berpotensi dimakzulkan.
Rendahnya kualitas partisipasi masyarakat dalam mengontrol jalannya kekuasaan dan terutama tingginya praktik transaksional dalam pemilu membuat elit politik merasa tidak perlu mempertimbangkan suara publik dalam mengelola kekuasaan. Selama penguasa merasa kebijakan politiknya tidak akan berimplikasi negatif terhadap eksistensi kekuasaan itu sendiri, terutama di saat pemilu membuat elit politik leluasa mendesign model koalisi diantara mereka tanpa perlu mempertimbangkan prinsip check and balances yang seharusnya menjadi prioritas dalam upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Akibatnya rakyat yang merupakan pemilik kedaulatan yang statusnya sebagai tuan yang seharusnya menerima manfaat terbesar justru hanya menerima remah-remah setelah dikuras habis dan dinikmati elit kekuasaan dan kroninya.
Ironisnya di tengah riuhnya perseteruan pembagian kue kekuasaan oleh elit politik justru para aktivis dan akademisi sibuk main tebak-tebakan siapa diantara para elit yang akan menempati posisi tertentu seakan dengan mampu menebak dengan benar merupakan prestasi. Padahal di momen krusial ini masyarakat sipil bisa terlibat aktif memberi batasan mereka yang pantas dan ideal menempati posisi tertentu dalam kabinet termasuk mendesak partai tertentu untuk beroposisi.
Membiarkan elit politik mempertontonkan secara vulgar politik dagang sapi dalam pengangkatan menteri yang berimplikasi langsung pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dimana tak seharusnya rakyat sebagai pemilik kedaulatan menyerahkan cek kosong untuk diisi elit politik tanpa mampu memberi sumbangsi akibat terhalang hak prerogatif. Sebaliknya presiden dan elit politik tidak boleh berlindung dibalik hak prerogatif untuk mengabaikan aspirasi publik.
Sebentar lagi narasi hak prerogatif akan terdengar ramai dan nyaring didaras di ruang publik sebagai mantra untuk melumpuhkan sikap kritis mereka yang mempermasalahkan kandidat menteri yang dianggap publik bermasalah. Ironisnya mantra hak prerogatif sebagai barrier yang membatasi ekspresi masyarakat justru dibela oleh mereka yang seharusnya menentangnya dengan keras. Faktanya dalam pengangkatan menteri keterlibatan pihak di luar presiden bukan sekadar memberi saran melainkan mendikte presiden menerima tawaran mereka sebagai bentuk balas jasa atas prestasi mereka selama pemilu berlangsung.
Tanpa sadar mantra hak prerogatif telah menghipnotis masyarakat termasuk para akademisi serta aktivis membuat kesadaran kritis mereka menjadi lumpu dan hanya manut dengan keputusan elit politik sebagai hasil praktik dagang sapi yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memiliki pijakan normatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Daripada sibuk tebak-tebakan siapa yang bakal jadi menteri apa, jauh lebih produktif mengusulkan syarat yang sebaiknya dipenuhi untuk bisa diangkat menjadi pembantu presiden sebagai wujud partisipasi publik mengontrol jalannya pemerintahan.