Apakah fenomena kotak kosong yang diprediksi berlangsung di beberapa pilkada termasuk pemilihan gubernur Sulsel dapat disimpulkan sebagai wujud kebangkrutan demokrasi atau justru sebaliknya, kehadiran kotak kosong selain memastikan proses demokrasi tetap berlangsung sekaligus secara radikal bisa disebut bentuk keterwakilan paling representatif?
Eksistensi kotak kosong sebagai konsekuensi pemilihan langsung yang dimungkinkan undang-undang disadari kehadirannya akan menuai respon keras di tengah hiruk pikuk bakal calon yang telah mendeklarasikan diri ikut berlaga dalam pilkada.
Prediksi hadirnya kotak kosong sebagai jawaban atas calon tunggal usungan parpol dalam pemilu di negara dengan sistem demokrasi yang mapan merupakan anomali namun tidak dengan kontestasi pilkada langsung di Indonesia dengan sistem multi partai dengan permasalahan yang kompleks.
Dalam pertaruhan politik yang membutuhkan effort serta pengorbanan besar seperti dalam panggung pilkada siapa pun akan berusaha memenangkan kompetisi yang jika dimungkin jauh lebih baik di menit-menit awal selama prosesnya legal. Di Sulsel publik pernah menyaksikan fenomena dramatis tersebut dalam dua pilkada, pilwalkot Makassar serta pilkada Kabupaten Sinjai saat dua petahana tersingkir sebagai peserta di tahap awal kompetisi dan itu sah-sah saja.
Jika sejumlah akademisi serta pengamat menengarai fenomena calon tunggal melawan kotak kosong merampas hak demokrasi publik akan beragamnya pilihan juga tidak sepenuhnya benar. Sebab kalau pernyataan tersebut diteruskan akan memunculkan pertanyaan, apa benar sistem threshold 20 persen yang sepenuhnya dikontrol partai politik lantas masyarakat bisa ikut memastikan calonnya tampil berlaga atau kandidat terbaik bisa muncul?
Faktanya tidak demikian, maksimalisasi jumlah kandidat yang bisa ikut dengan sendirinya terbatasi oleh jumlah kursi partai di parlemen serta perbedaan perolehan kursi masing-masing partai.
Secara matematis untuk pemilihan gubernur Sulsel dengan total 85 jumlah kursi parlemen dengan threshold 20 persen jika terbagi rata paling banter memunculkan 7 paslon dimana setiap paslon paling sedikit harus mengantongi 17 kursi sebagai syarat pengusung.
Bayangkan jika setiap dukungan kursi parpol dibanderol sebesar satu miliar rupiah, maka setiap kandidat wajib mengeluarkan 17 miliar hanya untuk syarat dukungan partai, belum lagi logistik kampanye dan seterusnya.
Jangan heran kalau beredar rumor kalau berharap memenangi pilkada gubernur Sulsel dibutuhkan hingga 500 miliar. Mungkinkah ada tokoh politik di Sulsel yang memiliki dan bersedia merogo kocek sendiri untuk budget sebesar itu dalam pilkada. Dari sini diskusi keterlibatan cukong dalam kontestasi politik bermula.
Katakanlah ada 5 balon pilgub Sulsel yang berhasil lolos sebagai paslon, pada saat yang sama bisa disimpulkan kalau paslon tersebut memiliki logistik berlimpah plus diduga punya kedekatan khusus dengan elit partai. Sementara tokoh tertentu yang dipandang kapabel dan didukung publik karena reputasi serta track record-nya yang bersih hanya karena minim logistik dan tanpa back up elit politik harus tersingkir.
Jadi kesimpulan keterwakilan masyarakat melalui calon kepala daerah lebih demokratis bila kandidatnya lebih banyak juga tidak berdasar.
Andai argumen kehadiran kotak kosong dimaknai secara positif sebagai representasi ketidakterwakilan setiap orang yang kandidatnya tersingkir maka kehadiran kotak kosong jauh lebih demokratis dibanding diwakili 2 atau paling banyak 4 paslon yang disodorkan koalisi parpol yang diseleksi berdasarkan kemampuannya membayar mahar politik.
Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah kekuatan logistik para pemilik modal terlibat menentukan kekuasaan lewat pemilu kepala daerah langsung halnya dalam pilpres bisa dicegah?
Kalau mau jujur nyaris seluruh percakapan di ruang publik dipenuhi prediksi keikutsertaan dalam pilkada hingga peluang kemenangan kandidat dihitung berdasarkan besarnya logistik serta dukungan elit politik di belakang kandidat bersangkutan.
Munafri Arifuddin tidak akan sepopuler sekarang sebagai politisi dan balon Wali Kota Makassar kalau beliau bukan anak mantu Aksa Mahmud, pengusaha dan politisi Indonesia. Berdasarkan catatan Forbes, founder Bosowa Corp ini menempati peringkat 38 dalam daftar 40 orang terkaya Indonesia dengan jumlah kekayaan sebesar US$780 juta. Demikian dengan Indira Yusuf Ismail yang namanya tidak akan moncer sebagai balon Wali Kota Makassar jika beliau bukan istri Moch Ramdhan Pomanto, Wali Kota Makassar dua periode atau Fatmawati Rusdi andai di belakang namanya tak melekat nama besar RMS sebagai politisi yang juga pengusaha.
Sementara nama Andi Amran Sulaiman tidak bisa dipungkiri merupakan mesin utama menggelembungnya nama Andi Sudirman Sulaiman sebagai pemantik isu calon tunggal pemilihan gubernur Sulsel.
Kegagapan argumentasi para analis politik serta mereka yang menyerang fenomena kotak kosong karena mendasarkan analisanya pada tesis yang menolak keterlibatan modal besar di belakang hadirnya paslon tunggal yang diusung koalisi partai. Tesis ini tidak akan bisa menjelaskan fenomena demokrasi modern terutama pada sistem pemilu langsung.
Amerika Serikat yang dipandang sebagai kampiun demokrasi liberal dengan pemilu presiden langsung, presidennya juga tidak lebih dari simbol dalam menentukan kebijakan politik ekonomi Amerika.
Jangan pernah berkesimpulan kalau arah politik ekonomi Amerika dikendalikan Joe Biden, politisi gaek 81 tahun asal partai demokrat melainkan sudah sejak lama politik ekonomi negara adidaya tersebut didikte oleh deep state serta corrupt two party system berserta kroninya yang punya kepentingannya sendiri. Dari berbagai sumber di internet, di tahun 2023 saja total dana yang digelontorkan US corporation untuk melobi pemerintah sebesar $4,26 miliar atau Rp 60-70 triliun. Intinya presiden Amerika hanya simbol.
Tinimbang menghabiskan energi mendiskreditkan kandidat yang diduga disokong pemilik modal mendesign kotak kosong lewat spanduk yang dipasang di mana-mana jauh lebih produktif mendorong reformasi total di tubuh parpol agar lebih fokus serta konsisten menjalankan kaderisasi lewat pendidikan politik untuk melahirkan calon pemimpin berintegritas serta memiliki leadership yang kuat dari kader sendiri dan berkomitmen tidak perlu menuntut mahar politik sebagai syarat memperoleh usungan partai.
Tampilnya pemimpin berintegritas dengan leadership yang kuat di panggung politik sebagai konsekuensi berlangsungnya kaderisasi di tubuh parpol secara konsisten diharapkan mampu mengontrol dominasi pemilik modal dalam mengendalikan kebijakan politik ekonomi negara.