Penulis: Andi Jaya Sose
Pilkada langsung hanya soal cara atau prosedur kelembagaan untuk mengambil keputusan, mencari pemimpin yang bermutu adalah esensi tujuannya.
Akan tetapi ketika para calon pemimpin memilih untuk menjadikan diri mereka penawar pada lelang popularitas, maka bakat mereka, dalam pembangunan suatu wilayah daerah, dipastikan tidak akan ada layanan. Mereka akan menjadi dealer, bukan leader, atau pemandu rakyat.
Dalam teori marketing dikenal istilah Resource Base Strategi (RBS) dan Market Base Strategi (MBS), yang bergerak seperti dua sisi mata uang. Kebanyakan paslon dalam tiap kontekstasi politik lebih banyak mempergunakan strategi Market Base Strategi karena fokus pada kebutuhan persaingan pasar sehingga bangunan citra diri atau personal brand yang diperlukan, agar lebih cepat diterima. Kerja ini menekankan pentingnya peran pasar atau faktor demand di masyarakat, prefrensi kecenderungan elektoral yang kompetitif untuk menjatuhkan pilihannya. Sehingga perilaku yang diperlukan yang kemudian memberikan implikasi pada kinerja tim, inilah yang banyak dipertontonkan di lapangan.
Sementara Resource Base Strategi digunakan jika figur yang ditampilkan teruji dari segi kemanpuan intelektual, interaksi socialnya terjamin kohesivitasnya. Kerja ini lebih pada sekmentasi pada masyarakat menengah dengan harapan akan berefek domino ke pemilih secara menyeluruh.
Fakta ini pernah dipertontonkan oleh Anies Baswedan dan Nurcholia Madjid (Cak Nur) dengan tim memiliki relawan yang un-organik bergerak sendri dengan segala fasilitas yang dimiliki. Persoalannya ada pada jangkaun secara menyeluruh, market segmentasi ini membutuhkan durasi waktu baru signifikan perolehan share-nya.
Dari mana datangnya inspirasi, dari visi turun ke kerja cerdas tanpa henti dan komprehensive. Tak sedikit orang atau calon pemimpin bervisi, tapi segelintir yang mampu menggerakkan banyak pribadi atau pemilih.
Suatu visi yang baik jika dapat menarik komitmen. Visi merupakan vigurasi dari suatu realitas, harapan yang bersifat abstrak tapi dapat dicapai.
Suara rakyat coba dijaring, dengan berbagai iming-iming. Visi-misi kadang dibahas, tapi banyak yang pilih jalan pintas.
Agar singkrong dengan RPJPD, bernegara memang harus ada haluan, hanya saja semua menjadi buyar dalam perjalanan karena menjadi barang tukar tambah.
RPJPD bukan slogan mati, tapi kerja kolektif untuk menyelaraskan visi. Jadi hemat saya lebih baik disebut perdebatan paradigma para calon Kepala Daerah dari pada menyebutnya visi.
Kekayaan termahal yang dimiliki oleh seorang pemimpin bukanlah yang diciptakan sebagai personal brand menjelang kontekstasi melainkan kesesuaian antara perkataan dan perbuatan itu yg lebih utama. Pemimpin mesti lahir dari kontrak social di tinjau dari sudut pandang sosiologi masyakat.