Oleh: Zainal Arifin Ryha*
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No.60/PUU-XXII/2024 mengejutkan banyak pihak karena mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024.
Merespon putusan tersebut, Baleg DPR buru-buru mengadakan rapat kilat guna menyiapkan RUU tentang Pilkada, tapi urung di sahkan akibat tekanan massa yang curiga jika manuver DPR bermaksud menelikung putusan MK untuk kepentingan politik tertentu.
Publik pun terbelah. Sebagian beranggapan putusan itu sudah selayaknya karena lebih mencerminkan asas kedaulatan rakyat, sebagian lagi beranggapan putusan tersebut kebablasan karena MK telah keluar jalur dan memasuki ranah legislasi yang menjadi domain DPR.
Putusan ini pada akhirnya melahirkan diskursus akan batas-batas kewenangan MK, juga soal penyelesain sengketa kewenangan jika terjadi konflik antara MK dan lembaga negara lainnya.
Pasal 24C ayat 1 UUD menyatakan sengketa kewenangan antar lembaga negara diadili oleh MK. Tetapi dalam rangka menjaga imparsialitas hakim, ada asas nemo judex idoneus in propria causa yang bermakna hakim tidak boleh menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
Tetapi dalam prakteknya MK telah beberapa kali mengadili sengketa kewenangan terkait dirinya selaku lembaga maupun posisi para hakim MK itu sendiri. Salah satunya sengketa antara MK vs Komisi Yudisial (KY).
Kita tahu gesekan antara KY dengan MK selama ini bersifat laten, meski intensitasnya melandai saat ini. Konflik bermula dari pencabutan norma UU oleh MK yang memberi kewenangan kepada KY untuk mengawasi perilaku etik para hakim MK.
MK juga menolak permohonan JR yang menghendaki agar syarat usia bagi hakim MK minimal 55 tahun, dimana salah satu hakim yang mengadili perkara tersebut adalah Saldi Isra yang saat itu belum berumur 55 tahun.
Ke depan, sangat potensial terjadi sengketa kewenangan yang lebih luas lagi, misalnya antara MK dengan DPR atau lembaga negara lainnya disebabkan MK kerap kali mendefenisikan diri dan kewenangannya sedemikian rupa sehingga terkesan melampaui kewenangan yang diberikan UU kepadanya.
Dengan lahirnya putusan No.60/PUU-XXII/2024 menjadikan MK tidak hanya berwenang menguji konstitusionalitas norma UU terhadap UUD, tetapi juga berwenang membuat norma baru layaknya lembaga legislatif.
Padahal salah satu fungsi hukum adalah memberi batas kewenangan kepada negara (pemerintah dan lembaga negara lainnya) untuk mencegah terjadinya abuse of power oleh lembaga-lembaga negara tersebut.
Harus diketahui proses konseptualisasi UU oleh DPR bersama Presiden tidak ujug-ujug sifatnya, tetapi melalui proses yang panjang. Dimulai dengan menyerap aspirasi warga, disusul pembuatan naskah akademik dengan tiga pendekatan: filosofis, yuridis dan sosiologis, berlanjut publik hearing, dan seterusnya.
Sementara MK ketika putusannya memuat norma baru, hanya lewat musyawarah para hakim dengan pendekatan yang lebih terbatas sehingga tidak ada jaminan akan lebih baik dari sisi subtansi dibanding norma UU sebelumnya, terutama bila menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis seperti dalam putusan terkait UU Pilkada di atas.
Terbukti putusan MK agar pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan serentak, menyebabkan ratusan petugas KPPS di berbagai daerah meninggal dunia karena kelelahan, disebabkan beratnya beban tugas akibat penggabungan kedua pemilu tersebut, merupakan indikasi ketidakcermatan para hakim MK membuat putusan menyangkut teknis kepemiluan.
Lebih jauh lagi, lahirnya putusan MK yang mengubah ambang batas bagi Parpol untuk mengusung calon kepala daerah merupakan bentuk inkonsistensi MK dalam putusannya. Sebelum itu MK berkali-kali menolak permohonan JR untuk mengubah ambang batas Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold dengan dalih open legal policy.
Tindakan memperluas kewenangan sendiri oleh MK juga tampak dalam penyelesaian sengketa Pilpres. Kini MK tidak hanya mengadili sengketa hasil (PHPU) yang sifatnya kuantitatif seperti diatur dalam UU Pemilu, tetapi juga mengadili sengketa proses yang merupakan kewenangan Bawaslu dan PTUN.
Konsep TSM yang dimunculkan MK pada sengketa Pilkada Jatim tahun 2008 menjadi yusrisprudensi, meskipun telah diakhiri dan hanya berlaku pada rezim pilkada, tetapi senantiasa muncul kembali dalam sengketa Pilpres dengan mengambil dasar perbandingan hukum dengan sengketa Pilpres di beberapa negara.
Tidak heran jika saling silang yang mengemuka dalam sidang sengketa Pilpres, lebih didominasi perdebatan saksi ahli pemohon vis a vis ahli pihak terkait soal ruang kompetensi absolut MK dalam penyelesaian sengketa.
Dalil-dalil gugatan pemohon lebih banyak berupa dugaan kecurangan yang bersifat TSM, yang secara langsung berhadapan dengan pihak terkait. Tidak ada data rekapitulasi KPU yang secara serius dipersoalkan layaknya sengketa PHPU.
Kondisi ini memunculkan kekuatiran publik akan ketidakpastian hukum yang dapat berakibat tercederainya prinsip legalitas, berikut lahirnya putusan MK yang bersifat ultra petita, yang potensial menjadi ultra vires.
Saya tidak sedang “mengadili” integritas para hakim MK saat ini. Juga tidak menolak pendekatan-pendekatan yang sifatnya individual, yang menempatkan faktor integritas para hakim MK sebagai variabel paling determinan untuk menjamin putusan yang dihasilkan berkualitas dan adil.
Saya percaya orang-orang baik dan berintegritas itu ada realitasnya, bahkan banyak. Tetapi pendekatan semacam ini tidak memiliki parameter obyektif dan terukur untuk menakar efektivitasnya. Saya lebih percaya pada pendekatan sistemis-struktural yang lebih awet untuk menjamin obyektivitas dan imparsialitas putusan yang dihasilkan MK.
Secara faktual, pencermatan terhadap perilaku para hakim MK selama ini memperlihatkan terdapat hakim yang berintegritas, tapi juga ada yang tercela.
Hamdan Zoelva sebagai contoh, ia menolak keharusan mengikuti fit and proper test agar terpilih kembali untuk periode selanjutnya. Bagi Hamdan, keharusan itu akan merendahkan martabatnya sebagai ketua MK dan memilih mundur dari proses pencalonan, meskipun sayup-sayup terdengar akan adanya jaminan ia bakal terpilih kembali jika mengikuti fit and proper test seperti pertama kali mendaftar sebagai hakim MK.
Tapi kita juga tahu, dua hakim MK dibui karena terlibat suap. Juga tujuh dari sembilan hakim MK saat ini menyandang status pelanggar etik. Salah satu hakim bahkan sudah tiga kali terbukti melanggar etik, tetapi tidak kunjung diberhentikan seperti ketentuan yang berlaku di MK. Tersiar khabar, hakim bersangkutan bahkan diam-diam aktif meloby anggota DPR untuk terpilih kembali sebagai hakim MK.
Mungkin saatnya bagi bangsa ini melakukan evaluasi menyeluruh terhadap eksistensi MK. Usulan yang menggema di ruang publik agar dilakukan revisi UU MK guna memberi batasan yang tegas terhadap kewenangan MK, saya setuju meski disaat bersamaan terbesit keraguan jangan-jangan MK berdasarkan kewenangan yang dirumuskannya sendiri saat ini, kembali membatalkan norma UU baru yang membatasi kewenangannya seperti pengalaman sebelumnya.
Fenomena MK yang mendefenisikan kewenangannya nyaris tanpa limit, mengingatkan saya pada sosok Terminator (diperankan Arnold Schwarzenegger) dalam film berjudul “Terminator Judgement Day.”
Film yang berkisah tentang perang manusia melawan mesin-mesin canggih ciptaannya sendiri, para robot cyborg yang ingin memusnahkan umat manusia dan menguasai dunia, yang saking canggihnya sehingga tak lagi bisa dikontrol dan kendalikan oleh pembuatnya.
Lantas jika kemudian MK menjelma layaknya terminator, siapa yang harus berperan sebagai Kyle untuk menghentikan kebrutalan para terminator itu?
*Penulis merupakan fungsionaris KAHMI dan mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar.