Penggantian Balon Wakil Bupati Maros dan Praktik Demokrasi Prosedural dalam Pilkada

Langkah A.S. Chaidir Syam yang telah mengajukan penggantian balon wakilnya pada pilkada Maros pasca keluarnya rekomendasi KPU karena tidak memenuhi syarat kesehatan sebaiknya dibaca dalam konteks ketaatan terhadap perintah undang-undang di mana posisi KPU sendiri berperan sebatas corong undang-undang.
 
Situasi ini membuat posisi Chaidir Syam jadi dilematis. Di satu sisi berharap wakilnya tetap bisa dipertahankan namun di sisi lain harus realistis dan bertindak cepat untuk mencegah turbulensi berkepanjangan serta risiko yang jauh lebih besar yang bakal menimpa bila gagal melakukan langkah antisipasi. Maros dipastikan akan dipimpin oleh mereka yang bukan merupakan pilihan rakyat hingga pilkada berikutnya.
 
Bagi Chaidir Syam, apa pun keputusan KPI terkait permasalahan ini pijakannya jelas, ketentuan undang-undang serta keputusan KPU. Halnya bila pasca pengajuan pengganti balon wakil terjadi kebijakan sebaliknya dari penyelenggara misalnya dengan mengembalikan Suhartina Bohari ke posisi semula tentu Chaidir Syam akan senang hati mengikuti ketentuan tersebut.

TERKAIT:  Kekuatan Visual diantara Sampah Narasi

Sementara langkah Suhartina Bohari mengupayakan second opinion ke institusi yang dipandang kredibel (BNN DKI) untuk menguji validitas analisis tim profesional dari rumah sakit yang ditunjuk sesuai klasifikasi berdasarkan peraturan perundangan karena dianggap telah merugikan dirinya juga merupakan hal yang jamak.

Yang menarik dicermati adalah sikap resmi KPU pasca pernyataan pihak Suhartina melalui pengacaranya yang telah mengajukan keberatan ke KPU Maros dengan hasil tes bebas narkoba dari BNN DKI sebagai perbandingan dan menuntut kliennya dikembalikan pada posisi semula.

Selanjutnya langkah lawyer Hj. Suhartina bisa ditebak akan segera mengajukan sengketa administrasi ke Bawaslu dan meminta menunda tahapan hingga keluarnya putusan resmi.

Pertanyaannya, apakah Bawaslu memandang masalah ini sebagai sengketa administratif dalam arti upaya pemohon mengajukan hasil tes kesehatan tandingan merupakan bagian dari prosedur administrasi kelengkapan berkas pendaftaran paslon dalam pilkada atau bukan?

Secara normatif yang dirumuskan sebagai pelanggaran administrasi pemilu berdasarkan undang-undang meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam UU Pemilu, Peraturan KPU, dan keputusan-keputusan KPU.

TERKAIT:  Mahfud MD, Titik Temu Jokowi-Mega & Pesta yang Telah Usai ?

Pertanyaannya sekali lagi, apakah bukti hasil tes kesehatan yang dikeluarkan oleh institusi yang ditunjuk berdasarkan syarat dan kategori yang diatur dalam peraturan perundangan bermasalah secara prosedural, terlepas debat mengenai subtansi atau isi dari materi tersebut.

Sebaliknya, apakah hasil tes kesehatan yang dikeluarkan BNN DKI yang subtansinya bertolak belakang dengan hasil yang dikeluarkan tim yang ditunjuk secara resmi merupakan bagian dari prosedur teknis yang diatur terkait pilkada Maros atau Sulsel?

Faktanya KPU tetap kekeh mempertahankan keputusan sebelumnya dengan terus melanjutkan tahapan dan mengabaikan keberatan lawyer Suhartina dengan alasan soal hasil tes yang dikeluarkan institusi yang ditunjuk secara resmi bukan kewenangan memberi penilaian dan hanya memastikan prosedur teknis telah dipenuhi.

TERKAIT:  Potensi Korupsi Dalam Pengajuan Perselisihan Di MK Pada Pilkada Yang Diikuti Kotak Kosong

Sementara sejumlah pihak berharap KPU berani memutus rantai prosedural yang mengekangnya sehingga berani mengoreksi diri serta memberi ruang tegaknya kebenaran subtansial melalui mekanisme yang transparan demi memastikan klaim kebenaran mereka yang berseteru termasuk dalam kasus yang bergulir di KPU Maros.
 
Mengapa penyelenggara selama ini menolak mekanisme di luar yang sudah ditentukan secara prosedural karena bisa jadi dipandang berpotensi memunculkan masalah baru yang tidak ada habisnya dan beresiko mengganggu tahapan yang sudah dijadwalkan dengan pertimbangan penganggaran yang ketat serta mengacaukan momentum pelaksanaan yang sudah diperhitungkan matang dari berbagai aspek.
 
Penyelenggara yang didesign berpikir prosedural ini sulit didesak mendorong tegaknya demokrasi yang subtansial lewat keberanian mengambil risiko keluar dari cangkang proseduran yang mengurungnya selama ini.
 
Butuh waktu lama untuk bisa mengubah sudut pandang yang mengutamakan prosedural menuju pendekatan yang bersifat subtantif sehinggah ending perseteruan ini bisa ditebak.