Bocah berambut pirang itu baru saja melewati metal detector di bandara Soekarno-Hatta saat petugas mengingatkan kalau topinya ketinggalan. Si anak dengan refleks menjawab, “not mine”. Bisa dengan refleks berucap, “bukan milik saya” pada sesuatu yang merupakan hak orang lain atau milik publik adalah luar biasa. Hal itu menunjukkan orang tua si anak berhasil menanamkan sikap anti korupsi sejak dini dalam lingkungan keluarga.
Kita yang biasanya berteriak lantang mengelu-elukan KPK tiap kali melakukan Opersi Tangkap Tangan seringkali terlihat gagap jika yang jadi pelaku korupsi adalah kerabat atau sahabat dekat kita. Pada saat lain tanpa merasa bersalah menyodorkan lembaran rupiah pada petugas di jalan raya saat terjaring razia. Sialnya semua itu dilakukan tanpa rasa bersalah.
Prilaku korup dan nepotisme yang kita pertontonkan dalam keseharian kita secara vulgar bisa dengan mudah dijumpai di jalan raya antara petugas dan pengendara atau prilaku transaksional tiap kali ada hajatan politik antara kandidat dan konsituennya. Tapi jika orang lain yang tertangkap KPK kita lantas memaki mereka tidak bermoral dan layak dihukum mati. Sikap paradoks ini menunjukkan ada yang keliru dalam ikhtiar kita memberantas korupsi.
Dalam membangun sistem pemberantasan korupsi, kebijakan anti korupsi yang diterapkan bangsa ini terlalu fokus pada aspek penindakan sehingga terkesan mengabaikan aspek pencegahan. Meminjam metafor Fahri Hamza, “Melakukan OTT lewat penyadapan itu ibarat berburu di kebun binatang, terlalu enteng dibanding membangun budaya serta sistem anti korupsi yang baik”. Kita tahu Fahri sedang meledek KPK saat mengatakan ini, namun Fahri tentu saja paham aspek penindakan juga bagian penting dari sistem yang baik. Memproduksi perangkat keras anti korupsi tanpa menunbuhkan sikap mental anti korupsi hanya menegaskan kesimpulan Gunnar Myrdal 49 tahun silam dalam “The Challange of Worl Poverty” yang memasukkan Indonesia dalam kategori negara lembek atau soft state. Negara dengan aturan berjibun tapi tidak dilaksanakan, soal nepotisme misalnya.
Membangun tradisi anti korupsi dan nepotisme dalam masyarakat yang mengagumkan kultur paguyuban sangat tidak mudah. Kita sering sulit membedakan hal yang bersifat publik dan yang privat. Ignas Kleden salah seorang ilmuwan sosial terbaik Indonesia pernah mengingatkan kalau budaya luhur bangsa Indonesia seperti tolong-menolong seharusnya tidak diseret memasuki urusan yang bersifat publik. Bayangkan jika seorang pejabat publik memprioritaskan kerabatnya dalam kompetisi suatu jabatan publik tertentu karena dianggap hal yang wajar dan tidak bertentangan bahkan sesuai anjuran budaya.
Pemahaman memadai mengenai pemisahan secara ketat antara hal bersifat privat dan publik pun tidak cukup tanpa membangun tradisi anti korupsi sejak dini dalam rumah tangga dan masyarakat. Jawaban refleks bocah di bandara itu menunjukkan pribadi yang tumbuh dari lingkungan keluarga dan masyarakat dengan kultur anti korupsi yang kuat akan berpengaruh signifikan terhadap prilaku anti korupsi seseorang dalam masyarakat.
Ikhtiar pemberantasan kejahatan dengan lebih menekankan pada aspek penindakan terbukti tidak cukup signifikan mengurangi tingkat kejahatan. Jika tak percaya tengok ancaman terhadap para pengedar narkotika yang bisa berujung hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati namun tak meninggalkan efek jera. Bandingkan regulasi anti korupsi di negara di mana seorang anak dengan refleks mengatakan tidak pada seauatu yang bukan miliknya.
Menumbuhkan sikap anti korupsi seharusnya memang dimulai dari rumah lalu menjalar dalam masyarakat membentuk tradisi. (RT)