Berita kematian satu peserta lomba tarik tambang yang digelar dalam rangka pelantikan pengurus IKA Unhas wilayah Sulawesi Selatan bikin sesak nafas. Apalagi ditingkah pernyataan ketua terpilih yang juga Walikota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto yang berkesimpulan kematian peserta yang merupakan warga Kota Makassar murni kecelakaan. Buru-buru menyimpulkan penyebab kematian pada kasus yang membutuhkan investigasi yang ketat merupakan tindakan gegabah.
Catatan ini tidak bermaksud mendesak pihak kepolisian melakukan investigasi untuk menemukan pelaku atau mereka yang secara signifikan terbukti lalai sehingga menyebabkan kematian peserta lomba. Sebab prinsipnya tindak pidana akibat kealfaan atau kelalaian termasuk yang diprioritaskan penyelesaiannya lewat restorative justice, tentu dengan syarat tertentu. Tanpa diingatkan, pihak IKA tentu sudah mengambil langkah antisipasi.
Bagi yang menganggap hanya kematian akibat kesengajaan yang bisa dipidana, ada baiknya membaca ulang rumusan delik kealfaan yang diatur dalam Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Tidak ada pengendara mobil atau motor yang sengaja menabrak pejalan kaki hingga tewas. Namun pengendara yang tancap gas di jam pulang kantor di kawasan perkantoran lalu menabrak pejalan kaki padahal yang bersangkutan seharusnya menyadari di area tersebut pada jam pulang kantor padat oleh pejalan kaki sehingga tindakannya yang kurang berhati-hati mengakibatkan tewasnya pejalan kaki bisa dikategorikan memenuhi unsur Pasal 359 KUHP tentang kealfaan yang menyebabkan kematian orang lain. Bayangkan lomba tarik tambang yang melibatkan 5.000 manusia dengan sistem keamanan dan keselamatan yang biasa digunakan untuk standar ratusan peserta misalnya.
Kecelakaan yang mengakibatkan luka berat bahkan kematian peserta tarik tambang bukan hal baru. Putusnya tali tambang yang menjadi penyebab kecelakaan hingga kematian karena riwayat penyakit kronis peserta lomba pada event yang jumlahnya hanya orang terjadi berulang kali. Insiden yang menyebabkan kematian misalnya terjadi pada lomba tujuh belasan yang jumlah pesertanya puluhan orang.
Lantas bagaimana dengan lomba yang digelar IKA Unhas yang konon melibatkan 5.000 manusia. Sulit membayangkan kesiapan panitia mengingatkan atau memastikan kondisi kesehatan setiap peserta serta memastikan seluruh fasilitas lomba maupun arena terbebas dari kemungkinan risiko kecelakaan.
Mereka yang dulu menolak sikap JK yang memosisikan IKA setingkat di atas kelompok arisan dan berharap IKA menjadi wadah memperjuangkan kepentingan alumni agar bisa terserap pasar kerja atau berharap lewat IKA lahir gagasan besar dan brilian bagaimana seharusnya negara dikelola agar distribusi keadilan lebih merata atau dari IKA muncul tawaran paradigma pembanguan yang tidak hanya mensyaratkan keberlanjutaan tapi juga inklusif tentu merasa kecewa melihat peran IKA justru direduksi sekedar piawai memobilisasi massa yang lazimnya diselenggarakan oleh organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Sialnya untuk kegiatan semacam itu IKA Unhas terbukti lebih buruk.
Apa yang publik saksikan hari ini membuat sebagian alumni dongkol oleh ulah mereka yang mengerdilkan IKA dengan kegiatan yang absurd. Bermaksud meninggalkan legacy dengan menunjukkan kemampuan terbaik IKA memobilisasi massa layaknya kampanye partai politik sungguh memprihatinkan.
Mereka yang berada dibalik kegiatan ini secara moral mesti meminta maaf secara terbuka ke seluruh alumni.
Upaya pemecahan data rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) lewat lomba tarik tambang dengan peserta terbanyak lebih terkesan cari sensasi ketimbang mengedepankan esensi yang ingin dicapai. Panitia tidak pernah menjelaskan ke publik terutama ke alumni apa yang ingin diraih dengan menggelar kegiatan yang melibatkan ribuan peserta. Apa manfaatnya buat alumni serta IKA sendiri.
Dengan berseloroh seorang kawan alumni berucap, “Mungkin memang IKA Unhas lebih baik tetap diposisikan satu level di atas kelompok arisan sebagaimana pendapat JK”.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi alumni Unhas kembali mendiskusikan visi IKA dan memastikan tetap berada di rel yang benar dan menolak IKA diasuh oleh mereka yang hanya ingin memanfaatkannya untuk kepentingan sesaat.