Penolakan sejumlah pihak atas hasil musyawarah Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Hasanuddin (Unhas) masa bakti 2023-2027 yang menjatuhkan pilihan pada Prof. Alimuddin Unde sebagai Ketua MWA melebar ke ruang publik. Prof Idrus Paturusi, mantan Rektor Unhas menilai terpilihnya Prof Alimuddin sebagai Ketua MWA Unhas justru menyebabkan Unhas turun kelas. Hal senada disampaikan mantan Rektor Unhas dua periode, Prof. Dwia Aries Tina Pulubuhu yang juga salah satu anggota MWA terpilih menghendaki Ketua MWA berasal dari eksternal kampus serta berlabel tokoh nasional, bukan pemain lokal.
Pernyataan peyoratif Prof. Idrus dan Prof. Dwia diduga residu perseteruan pemilihan Rektor kemarin. Bagi mereka yang berpikir kritis sulit memahami argumen Prof. Dwia yang mensyaratkan Ketua MWA harus datang dari eksternal kampus dan memiliki reputasi nasional karena alasan jabatan ketua itu simbol.
Bila harus orang luar kampus meskipun tidak setiap saat bisa dihubungi jika dibutuhkan seperti dikeluhkan Prof. JJ harus dikesampingkan demi alasan citra, lalu mengapa tidak sekalian mengupayakan kesiapan Bill Gates atau Elon Musk yang punya reputasi mondial. Lagi pula bagaimana menjelaskan korelasi positif atau hubungan emosional yang mungkin terbangun antara civitas akademik dan alumni dengan Ketua MWA hanya karena yang bersangkutan merupakan tokoh nasional meskipun tanpa ikatan emosional sebagai sesama alumni.
Adakah yang bisa menggaransi mereka yang disanjung sebagai tokoh nasional dan dipandang pantas menjadi nahkoda MWA terbebas dari pengrusakan lingkungan misalnya?
Lalu siapa yang bertanggung-jawab andai saja ada diantara Ketua MWA ini yang terseret masalah hukum. Adakah kriteria integritas serta track record bersih dari korupsi juga dipersyaratkan untuk menduduki posisi terhormat sebagai Ketua MWA?
Kalau pertanyaannya ditarik lebih jauh, mengapa institusi pendidikan sebesar Unhas serta PTN-BH lainnya mengabaikan aspek etik kepemimpinan dan lebih mendahulukan hal-hal yang bersifat superfisial?
Menyangkut syarat tokoh nasional logika Prof. Dwia sama bermasalahnya dengan sudut pandang Prof. Idrus. Dalam ilmu logika kesimpulan Prof Idrus yang jumping disebut pola logika non sequitur atau dalam istilah sehari-hari ‘ngomong asal’.
Sejak awal konon Prof. Idrus menjagokan Prof. Dwia sebagai Ketua MWA namun tidak diamini Prof. JJ. Kekecewaan terhadap Ketua MWA terpilih yang dikemas dengan dalih yang bersangkutan bukan tokoh nasional atau belum memiliki reputasi nasional sekelas menteri atau mantan menteri seperti sebelum-sebelumnya. Mengutip Sekretaris Rektor Unhas, Dr. Sawedi Muhamad di PELAKITA.ID, 29 Maret 2023; “Ada yang menyatakan bahwa kenapa harus dari luar, bahwa dulu juga ketua dari dalam tapi tidak ada prestasi, dari luar juga tidak ada prestasi,” ucapnya mengutip pendapat para pihak“.
Sementara pernyataan Prof. Idrus mengusik logika publik, apa ukurannya hanya karena pernah atau sedang menjabat sebagai menteri lantas bisa dipastikan lebih baik dalam memimpin MWA dibanding Prof. Alimuddin tanpa memberinya kesempatan terlebih dahulu.
Kesimpulan Prof. Idrus bahwa Prof. Alimuddin yang baru dilantik dan belum bekerja berada di bawah kelas Komjen Pol (Purn.) Dr. (H.C.) Drs. Syafruddin Kambo, M.Si. yang akrab dipanggil Pak Syaf yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua MWA, atau SYL menunjukkan cacat logika yang serius.
Pernyataan Prof. Idrus sontak memicu debat terutama di kalangan civitas akademik Unhas. Mereka yang tidak sepakat dengan Prof Idrus dan Prof. Dwia menuding penolakan keduanya merupakan residu perseteruan pemilihan Rektor beberapa waktu lalu. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau Prof. Idrus adalah pendukung salah satu kubu yang tersingkir dalam pemilihan Rektor kemarin.
Masih segar dalam ingatan selain kubu Prof Kadir, kubu Prof Budu yang disokong penuh JK serta MWA di bawah nahkoda Pak Syaf dipaksa mengakui keunggulan kubu Prof. JJ.
Dalam kontestasi yang dimenangkan Prof. JJ, justru dukungan mayoritas MWA yang mengontrol 17 suara dimana Pak Syaf sebagai ketua dengan anggota antara lain, Sofjan Wanandi dan Chairul Tanjung adalah orang-orang yang dikenal publik punya hubungan dekat dengan JK dan ditarik sebagai anggota MWA di masa kepemimpinan Prof. Dwia sebagai Rektor.
Sudut pandang ini membantu menjelaskan mengapa pada pemilihan rektor kemarin anggota MWA dominan ke Prof Budu yang disokong penuh JK, sekaligus menjelaskan mengapa Prof. JJ melakukan bersih-bersih terhadap kompetitornya yang masih ingin memegang kendali lewat MWA di bawah kepemimpinannya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2015 tentang Statuta Unhas fungsi pokok MWA adalah menetapkan, memberikan pertimbangan pelaksanaan kebijakan umum, serta melaksanakan pengawasan di bidang non-akademik. Otoritas MWA yang sangat luas dan strategis juga meliputi kewenangan mengangkat dan memberhentikan Rektor.
Terkait pemilihan Rektor, secara teknis kewenangan menentukan mekanisme pemilihan berada di tangan MWA sekaligus memiliki hak suara pada putaran akhir dalam sistem pemilihan berjenjang.
Apa yang digambarkan Prof. Idrus pasca terpilihnya Prof. Alimuddin sebagai Ketua MWA seakan jadi petaka bagi Unhas rasanya terlalu berlebihan. Begitu pula anggapan keterlibatan Rektor menyaring kolega dan para pembantunya dengan alasan bisa bersinergi serta berkolaborasi sangat bisa dipahami. Bahkan bisa jadi stategi ini merupakan hasil adaptasi dari pendahulunya seperti Prof. Dwia Aries Tina Pulubuhu. Masih ingat bukan, siapa yang menjabat sebagai Ketua serta anggota MWA di masa kepemimpinan beliau.
Sebagai Rektor terpilih, Prof. JJ tentu saja ingin memperoleh sokongan penuh dari para kolega serta pembantunya dalam menjalankan tanggung-jawabnya termasuk dukungan dari MWA sebagaimana dilakukan para pendahulunya.
Kalau bukan dampak residu perseteruan pemilihan kemarin serta bagian dari strategi recovery agar tetap eksis di MWA, lantas bagaimana mengurai motif dibalik penolakan terhadap Ketua MWA terpilih?