Merespon kritik publik terhadap Batalyon 120 Walikota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto yang akrab disapa Danny Pomanto atau DP mengusulkan nama Bro 120 sebagai pengganti. Dengan menyematkan nama Bro 120 kesan militeristik pada ormas bentukan Walikota bersama Kapolrestabes Makassar diharapkan sirna.
Apakah dengan perubahan nama lantas publik bisa menerima keberadaan Batalyon 120?
Untuk membahas itu penting menengok kembali alasan penolakan publik terhadap eksistensi Batalyon 120. Polemik ini berawal ketika Iptu Faizal Kanit Reskrim Polsek Tallo dicopot dari dari jabatannya usai terlibat penggerebekan di Markas Batalyon 120 dan menyita ratusan anak panah, botol minuman keras dan senjata tajam mebuai protes publik. Pencopotan terhadap Iptu Faizal diduga publik karena Batalyon 120 merupakan bentukan Walikota Makassar bersama Kapolrestabes Makassar dan atas restu Kapolda.
Kehadiran Batalyon 120 menurut DP memiliki tujuan mulia sebagai wadah pembinaan bagi pelaku kriminal jalanan agar bisa kembali bermanfaat bagi masyarakat. Menurut DP kehadiran Batalyon 120 justru bertujuan menjaga suasana kondusif dan terbukti menurungkan angka kriminalitas di Kota Makassar. Hal senada diakui Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Budhi Haryanto yang mengklaim bahwa semenjak kehadiran Batalyon 120 perang atau tawuran kelompok di Makassar turun drastis. Sementara kehadiran Batalyon 120 menurut sejumlah kalangan justru membuat resah masyarakat karena selama ini markas mereka yang terletak di Jl. Korban 40.000 jiwa selalu dipenuhi kendaraan sehingga mengganggu pengguna jalan termasuk mengganggu masyarakat yang tinggal di sekitar markas Batalyon ini.
Berdasarkan penjelasan Kapolsek Tallo Kompol Badollahi dimuat kumparanNEWS, 15 September 2022: “Empat puluh (48) anggota Batalyon 120 dipulangkan karena ratusan barang bukti senjata tajam yang ditemukan tidak digunakan untuk kejahatan. Melainkan, barang sitaan Batalyon 120 dari warga”. Penjelasan Badollahi mengingatkan kita akan Pam Swakarsa di masa lalu yang dihadirkan dan dimobilisasi untuk kepentingan kekuasaan.
Catatan ini bermaksud melihat kaitan signifikan antara kehadiran Batalyon 120 dengan gagasan menghidupkan kembali Pam Swakarsa untuk membantu tugas kepolisian dengan dasar legitimasi Peraturan Kapolri No. 4 Tahun 2020 tentang pengamanan swakarsa atau Pam Swakarsa serta potensi kekerasan serta konflik horisontal di tengah masyarakat.
Pelibatan masyarakat dalam pertahanan keamanan negara berangkat dari doktrin Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) yang digagas Jenderal TNI A. H Nasution yang dituangkan dalam bukunya berjudul “Pokok-pokok Gerilya”. Dalam buku tersebut, Nasution menjabarkan mengenai peran penting rakyat dalam membantu perjuangan TNI saat Revolusi Kemerdekaan.
Di masa orde baru di bawah pemerintahan Soeharto gagasan Nasution ini dibekukan menjadi doktrin perang ABRI lewat Keppres Nomor 55 Tahun 1972 di mana pertahanan nasional adalah tanggung jawab seluruh rakyat termasuk keterlibatan organisasi pertahanan sipil sepertu Hansip dan Wankamra. Seiring perjalanan waktu SBY membubarkan Hansip dan wankamra Perpres No 88 Tahun 2004 namun tetap mempertahankan Sishankamrata sebagai doktrin pertahanan negara.
Pemisahan institusi Polisi dari ABRI sebagai buah reformasi tidak serta merta diikuti perubahan secara radikal di tubuh Polri. Polisi tidak mudah menanggalkan karakter militerisme akibat terlalu lama di bawah militer, bahkan sebaliknya Polri berusaha mempertahankannya. Secara simbolik misalnya Polri masih memakai model kepangkatan khas militer. Sementara doktrin Sishankamrata mulai dihidupkan semenjak Jenderal Idham Azis menjabat Kapolri dan meneken Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa di 2020.
Kebijakan idham Azis ini ditindaklanjuti oleh penerusnya Jenderal Listyo Sigit Prabowo dimana gagasan mengenai Pam Swakarsa ini diajukan sebagai visi Kapolri saat fit and proper test calon Kapolri di hadapan Komisi III DPR-RI.
Gagasan menghidupkan kembali Pam Swakarsa dengan mengabaikan konteks kelahirannya di masa lalu dan semata-mata mempertimbangkan kebutuhan praktis membantu aparat menjaga Kamtibmas bisa berimplikasi serius terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi dan penghargaan pada HAM. Pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa atau Pam Swakarsa pada 1998 lahir atas perintah Jenderal Wiranto yang saat itu menjabat Panglima ABRI sekaligus Menhankam di era Presiden Bacharudin Jusuf Habibie. Pam Swakarsa merupakan kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR (SI MPR) tahun 1998.
Dr. Connie Rahakundini Bakrie, akademisi, penulis, pengamat bidang militer dan pertahanan keamanan mengingatkan salah satu masalah strategis yang dihadapi institusi kepolisian sejak berpisah dengan TNI adalah masalah span of control atau rentang kendali yang terlalu luas, bahkan terluas di dunia. Republik Indonesia ini kata Connie seluas eropa tapi dilayani satu kepolisian. Gagasan pelibatan kelompok sipil dalam menjaga keamanan dan ketertiban berangkat dari fakta keterbatasan kemampuan Polri mengontrol wilayah kerja yang sedemikian luas sehingga sebagian kewenangan Polri ingin diserahkan pada kelompok sipil.
Kaitannya dengan fenomena Batalyon 120 yang kehadirannya diinisiasi oleh Walikota Makassar dan Kapolrestabes serta direstui oleh Kapolda penting untuk melihat sejauh kehadiran Batalyon 120 yang dalam perspektif publik mirip dengan Pam Swakarsa dalam konteks membantu kepolisian menjaga Kamtibmas. Pernyataan Walikota Makassar serta Kapolrestabes mengenai kontribusi Batalyon 120 dalam menurunkan angka kriminalitas menunjukkan Batalyon 120 memiliki peran yang sama dengan Pam Swakarsa di masa lalu. Apa lagi peran pencegahan bahkan pengendalian masalah Kantibmas diserahkan pada sekelompok anak muda yang masih labil dan butuh penanganan khusus karena merupakan eks kriminal jalanan. Penjelasan Kapolsek Tallo Kompol Badollahi dilepasnya kembali empat puluh (48) anggota Batalyon 120 karena ratusan barang bukti senjata tajam yang ditemukan tidak digunakan untuk kejahatan melainkan hasil sitaan dari warga merupakan pengakuan kepolisian mengenai kewenangan menyita yang dimiliki Batalyon 120.
Ketidakjelasan batasan kewenangan yang dimiliki Polri dalam melibatkan atau menggerakkan Batalyon 120 dalam aktivitas keamanan serta ketidakjelasan kualifikasi Batalyon 129 yang nenjalankan tugas sebagian tugas Polri bisa berujuk bentrok dengan organisasi atau massa lain di lapangan yang bisa berujung pada kekerasan atau konflik horisontal di tengah masyarakat. Apa lagi bila elit politik tergoda memanfaatkan keberadaan Batalyon 120 untuk mendukung aktivitas politik mereka dalam kontestasi politik pemilu misalnya.
Dalam konteks ini penting mengingatkan kembali pesan Dr. Connie bahwa perbaikan pada institusi kepolisian tidak mungkin diperbaiki secara parsial dibutuhkan perubahan secara radikal lewat perubahan konstitusi. Penyerahkan sebagian kewenangan kepolisian pada kelompok sipil justru berpotensi melahirkan kekerasan serta konflik horisontal hingga pelanggaran HAM.
Perubahan nama Batalyon 120 menjadi Bro 120 berdasarkan usulan DP tidak merubah subtansi Batalyon 120 yang diduga jelmaan Pam Swakarsa lewat Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020 yang diteken Jenderal Idham Azis saat menjabat sebagai Kapolri. Gagasan menghidupkan Pam Swakars ini ditindaklanjuti Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan memasukkannya bagian dari visi misi yang disampaikan sang Jenderal saat fit and proper test calon Kapolri di hadapan Komisi III DPR-RI.
Dari sana gagasan menghadirkan Pam Swakarsa sebagai bagian dari pelibatan masyarakat untuk ikut serta menjaga Kamtibmas diterjemahkan di lapangan. Dan Bro 120 semacam test case untuk melihat sejauh mana gagasan ini bisa diterima publik.