Sudah seminggu Natal berlalu namun suasananya masih terasa. Di toko buku sebuah mall senja itu suara tenor Josh Groban mengalun syahdu, “Oh Holy Night” menerobos hingga ke relung hati. Sebenarnya saya tidak sedang butuh buku, jenuh dengan rutinitas berpengadilan membuat penat dan butuh refreshing. Dan toko buku seringkali menghadirkan kejutan menyenangkan.
Seperti senja itu, sembari menikmati lantunan kidung natal, saya celingak- celinguk di rak buku sosial-politik, lalu berpindah ke rak buku agama, rasanya tak ada yang menarik. Mungkin karena keseringan menyambangi toko buku dan buku di rak masih yang itu-itu juga. Jika tidak sedang ke luar kota, saya berusaha berkunjung ke toko di akhir pekan. Soal membeli buku urusan kedua. Rasanya begitu menyenangkan bisa mengetahui lebih cepat kalau-kalau ada buku bagus terbit.
Agak menonjol di sudut ruangan terdapat tumpukan buku dalam sebuah rak besar dengan ornamen warna-warni. Persis di atasnya terpampang tulisan Diskon hingga 70% pada sepanduk warna putih yang dibentangkan, semacam iklan. Mungkin juga bentuk apresiasi pemilik toko terhadap perayaan Natal. Didorong rasa penasaran, saya lalu menyelinap diantara kerumunan pengunjung. Saya sebenarnya tidak tertarik dengan acara discount di toko buku, karena biasanya, buku-buku yang masuk kategori discount itu adalah buku-buku praktis, semacan resep makanan yang digandrungi ibu-ibu, atau buku-buku dengan tema motivasi yang sudah ketinggalan, atau mungkin beragam kamus yang merupakan stok lama.
Saya bermaksud menarik diri dari kerumunan ketika tiba-tiba mata saya terantuk pada sebuah buku dengan cover depan bergambar seorang anak yang sedang bersandar pada pohon buku, sembari membaca. Selain gambar sampul yang memikat, lucu namun sarat makna juga terutama nama Nh. Dini pada sampul buku itu seperti sebuah magnet raksasa yang menyeret saya ke masa silam, dan saya tak berdaya. Nurhayati Sri Hardini yang akrab disapa Nh.Dini adalah nama istimewa yang saya kenal sejak dini, saat di Madrasah di era 80-an. Perkenalan saya dengan karya-karya Nh.Dini lebih karena rasa jenuh pada karya-karya Hamka dan ST. Alisyahbana.
Layaknya anak yang lahir dan besar di kampung, tentu tidak semudah mereka yang hidup di kota-kota besar. Bisa punya akses pada bacaan berkualitas khas anak sangat sulit di masa itu. Majalah Bobo, Donal Bebek atau cerita Anderson hanya bisa dilihat jika sedang berkunjung ke rumah kerabat di kota. Sebagai gantinya namun tidak kalah menarik adalah menikmati buku cerita terbitan Pustaka Jaya semisal Ciung Wanara, Maling Kundang atau kisah petualangan “Tiga Sekawan” (semoga saja tidak salah ingat), atau kisah penjelajahan “Marco Polo” yang mengesankan itu karena hanya itu yang tersedia gratis di perpustakaan sekolah. Celakanya, jumlah buku cerita berlatar Nusantara ini sangat terbatas, tidak seperti majalah Bobo yang terbit setiap minggu secara berseri. Akibatnya, tidak ada pilihan lain kecuali belajar mengakrabi novel terbitan Balai Pustaka jika tetap ingin membaca. Novel pertama milik Balai Pustaka yang saya tamatkan adalah “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk“, seterusnya “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka di Madrasah Tsanawiyah serta beberapa karya Sutan Takdir Alisyahbana seperti “Layar Terkembang”, “Anak Perawan di Sarang Penyamun” dan beberapa karya penulis besar lainnya.
Dari penjelasan sastrawan dan akademisi Aslan Abidin saya baru mengerti kalau pada awal pemerintahan orde baru, masalah pendidikan dasar mendapat perhatian serius. Maklum saja, saat itu pada awal tahun 1970-an, masih banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati pendidikan dasar dengan berbagai alasan. Mulai dari jarak ke sekolah yang jauh, tidak ada biaya, hingga harus membantu orang tua bekerja.
Di sisi lain, Indonesia saat itu mendapat berkah yang luar biasa dari produksi dan kenaikan harga minyak. Karena itulah pemerintah berupaya membangun sekolah dasar secara besar-besaran di berbagai pelosok termasuk salah satu yang sangat fenomenal adalah buku Inpres yang tersedia melimpah di perpustakaan sekolah.
Saat duduk dibangku SMA di kota kabupaten terasa ada yang mengganjal dengan karya-karya Hamka dan Takdir yang belakangan baru saya ketahui kalau karya kedua tokoh ini ternasuk karya yang didaktik, menggurui. Bagi seorang A.S. Laksana misalnya, karya ST. Alisyahbana, dituding sebagai khotbah yang Melodramatik dan tak universal. Karya-karya Takdir dianggap tak memenuhi syarat karya sastra yang baik. Senada dengan A.S. Laksana, sastrawan Seno Gumira Ajidarma menyebut ada tiga alasan mengapa orang menjauhi sastra karena sastra dianggap identik dengan curhat, mendayu-dayu serta menggurui. Karya Hamka termasuk dalam kategori terakhir.
Mungkin juga kejenuhan pada Hamka dan ST. Alisyahbana disebabkan karena ketertarikan saya yang mendalam pada pemikir islam modern seperti Gus Dur, Johan Effendi yang menghembuskan angin demokrasi dan toleransi. Kepulangan Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid ke tanah air setelah lama sekolah di Amerika seperti memberi nafas baru pada dunia intelektual islam yang mulai menggeliat saat itu. Saya rajin membaca Panji Masyarakat, lagi-lagi karena hanya itu satu-satunya majalah yang tersedia di kampung. Mengikuti perdebatan yang kadang panas tapi sangat bernas soal isu-isu kemoderenan dalam islam antara para pembaharu dengan rivalnya merupakan kenikmatan tersendiri dan sangat mewah kala itu.
Seingat saya kak Marwah (Marwah Daud Ibrahim) termasuk yang rajin menulis artikel di Panjimas serta seorang kolumnis perempuan yang kalau tidak salah namanya Rifa’atul Mahmuda. Ketika kak Marwah pulang dari Amerika dan langsung bergabung dengan Partai Golkar, salah seorang wartawan Panjimas menanyakan pada beliau, mengapa memilih in system dan tidak mengambil jarak dengan kekuasaan dan memperkuat civil society. Saya sudah lupa jawaban kak Marwah karena ingatan saya terfokus pada kata in sistem karena itu pertama kali saya mendengar istilah itu yang kalau tidak salah saya di kelas 3 Tsanawiyah atau sudah di SMA.
Kembali ke Nh. Dini, saya kemudian berkenalan dengan karya-karya Nh. Dini: “Namaku Hiroko“, “Padang Ilalang Di Belakang Rumah” dan “Pada Sebuah Kapal” saya baca dengan sangat bersemangat. Pada Nh. Dini saya menemukan spektrum keagamaan berbeda, tepatnya spiritualitas yang universal dan tidak mendikte. Kelebiham lain Nh. Dini terlihat pada kemampuan daya ungkapnya yang luar biasa serta keterampilan mendongengnya yang mematikan. Pada “Sebuah Lorong Di Kotaku” misalnya, Dini mengisahkan kembali peristiwa yang dialaminya di masa penjajahan Belanda hingga masuknya tentara Jepang. Ia bercerita antara lain mengenai pengalamannya bersama-sama menangkap ikan saat banjir di belakang rumah, atau saat mengunjungi kakek dan nenek, dan banyak lagi.
Setelah kuliah di Makassar selera novel saya membaik, saya kepincut novel klasik Rusia dan sejumlah pemenang nobel. “To be Continue”