Darurat Covid, Antara Radikalisme Agamben dan Kecemasan Harari

Covid

Sejak awal pandemi saya menulis beberapa catatan, tepatnya status facebook mengenai Covid-19. Sebagian dimuat di media online sementara yang lain tertinggal sebagai status facebook. “Darurat Covid, Antara Radikalisme Agamben dan Kecemasan Harari,” adalah salah satu catatan yang saya suka. Catatan ini saya tulis di bulan Maret 2020 saat covid mulai mengganas dan pemerintah pusat terlihat kebingungan menentukan sikap menghadapi pandemi yang saat itu makin tak terkendali.

Saya memutuskan mengangkutnya ke Opini RT seiring kecamuk varian Omicron dan kecemasan akan ancaman pandemi gelombang kedua.

Berikut catatannya:

Di tengah kesibukan beberapa negara mengatur perbatasannya untuk mencegah lalu lintas manusia antar negara, beberapa propinsi bahkan kabupaten kota di Indonesia telah mengambil langkah lockdown tanpa restu pemerintah pusat. Di Sulsel sekelompok guru besar meminta Pangdam XIV Hasanuddin mengambil alih penanganan Covid-19 karena keadaan darurat. Sebelumnya, Wali Kota Tegal, Dedy Yon Supriyono, menerapakan pembatasan wilayah untuk menekan penyebaran Covid-19 dengan menutup seluruh akses menuju Kota Tegal menggunakan road barrier beton. Meskipun dilarang presiden, Gubernur Lukas Enembe bersama seluruh walikota dan bupati membuat keputusan bersama menutup pintu masuk Papua dari semua jalur.

Langkah pemerintah daerah yang tidak prosedural dianggap wajar bahkan didukung karena alasan kedaruratan. Dalam perspektif politik tindakan indisipliner macam ini bisa dikategorikan sebagai pembangkangan jika dalam keadaan normal. Respon daerah terhadap darurat COVID-19 tanpa perlu restu pusat serta sikap pemerintah pusat yang ekstra hati-hati dan terkesan lamban menunjukkan situasi yang paradoksal dan tidak mudah menemukan titik kompromi. Pandemi COVID-19 membuat setiap negara bahkan kabupaten kota hingga desa dan RT merasa berhak menentukan kebijakan sendiri dengan hanya berdasarkan kalkulasi untung-rugi tanpa memperdulikan kepentingan bersama. Ketakutan berlebihan telah menciptakan kepanikan massal membuat banyak orang kehilangan kepercayaan dan solidaritas sosial yang justru merupakan modal utama melawan wabah.

TERKAIT:  Pelajaran dari Rara

Situasi serba panik seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengambil langkah tegas. Pemerintah telah didesak bersikap tegas dengan menerbitkan regulasi yang bisa mengontrol semua tindakan, baik pemerintah maupun masyarakat, terutama menertibkan langkah zig-zag pemerintah daerah dan tokoh masyarakat yang mengambil alih kendali kebijakan di akar rumput. Menggunakan instrumen undang-ndang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, atau maklumat institusi kepolisian maupun anjuran tokoh masyarakat dianggap tidak efektif di tengah kepanikan.

Keadaan ini mengingatkan kita pada langkah radikal George Bush Jr. yang memaklumatkan state of emergency pasca serangan 9/11. Meski menuai banyak kritik karena dituding mengabaikan konvensi internasional menyangkut HAM, terutama langkah Amerika Serikat menginvasi Irak dan Afganistan karena alasan kedua negara tersebut melindungi para teroris yang telah menghancurkan Word Trade Centre dengan membunuh sekitar tiga ribu orang. Dengan meletakkan negara dalam status extra ordinary karena ancaman terorisme, George Bush Jr. merasa berhak melakukan langkah di luar hukum untuk mengamankan kepentingan negara dan warga negara Amerika Serikat.

Adalah Giorgio Agamben, penulis buku Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1998) yang ditulis dua bulan pasca serangan 9/11 memantik perdebatan sengit terkait konsep kedaruratan. Professor of philosophy pada European Graduate School in Saas-Fee, Switzerland, seakan menjustifikasi tindakan George Bush Jr. dengan mengkaji subjek kedaruratan atau state of exception. Bagi Agamben kedaruratan tidak mengenal hukum, melainkan membuat hukumnya sendiri atau menegasikan hukum yang berlaku. Terinspirasi dari Carl Schmitt, filsuf yang ikut mendukung fasisme Nazi–Jerman, Agamben merumuskan bahwa hukum yang lahir dalam situasi kedaruratan atau state of exception menegasikan hukum yang berlaku dan memindahkannya ke tangan sovereign untuk membuat hukum baru. Di titik ini Agamben menuai pujian karena idenya mendobrak kemapanan pendekatan kedaruratan sekaligus kecaman karena berpotensi mengubah arah demokrasi ke totalitarian.

TERKAIT:  Ada Sofjan Wanandi & Chairul Tanjung di MWA Unhas

Dalam sistem hukum liberal sebagaimana umumnya negara-negara yang menganut demokrasi di dunia termasuk Indonesia, konsep kedaruratan merupakan bagian dari hukum itu sendiri. Dalam keadaan darurat karena kegentingan memaksa presiden berhak mengeluarkan Perppu tanpa harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan DPR. Karena konsep kedaruratan merupakan bagian dari hukum itu sendiri, maka berbagai rambu tetap harus ditaati presiden sebelum Perppu dikeluarkan. Berbeda dengan state exception dalam konsep pemikiran Giorgio Agamben yang memberi hak sepenuhnya pada pemangku sovereignt membuat hukum baru dan mengabaikan hukum yang berlaku. Kebijakan George Bush Jr. mengenai Patriot Act untuk mengantisipasi dan memburu teroris yang membahayakan Amerika Serikat pasca 9/1 walau mengesampinkan berbagai aturan termasuk konvesi Jenewa mengenai larangan menginvasi negara lain, dipandang lebih dekat dengan konsep Agamben.

Yuval Noah Harari dalam, “The Word After Coronavirus” yang ditulis di tengah pandemi nampak tidak tertarik mengulas implikasi terhadap masa depan akibat perbedaan cara pandang serta strategi kebijakan setiap negara dalam mengatasi coronavirus. Sebaliknya Harari yang dikenal sebagai ilmuwan pesimis berhasil menemukan ceruk pesimisme itu pada dilema pemanfaatan teknologi biometrik oleh pemerintah dalam pengawasan tubuh warga negara dalam mendeteksi coronavirus.

Bagi Harari bahaya terbesar pasca pandemi bukan terletak potensi munculnya virus yang sama akibat tidak munculnya kekebalan massal seperti yang diharapkan pada pendukung teori herd immunity, atau potensi pergeseran idiologi dunia akibat keberhasilan China mengatasi coronavirus dengan efektif. Kecemasan terbesar Harari justru terletak pada ancaman masa depan akibat efek jangka panjang pemanfaatan teknologi biometrik dalam mengatasi coronavirus oleh pemerintah. Dengan memanfaatkan teknologi biometrik dan algoritma untuk mencegah penyebaran coronavirus makin meluas, pemerintah pasca coronavirus berpotensi memanfaatkan data biometrik warga negara untuk kepentingan mengontrol aktivitas pribadi mereka. Berbekal data biometrik yang berhasil dipanen saat pandemi berlangsung dengan kemajuan teknologi pemerintah bisa mengetahui bahkan mengarahkan pilihan politik setiap warga negara tanpa mereka sadari. Situasi ini yang oleh Harari disebut transisi dramatis dari pengawasi “di atas kulit” ke pengawasan “di bawah kulit”. Bagi Harari, model pengawasan biometrik yang bersifat totalitarian ini yang menjadi ancaman serius terhadap masa depan pasca coronavirus.

TERKAIT:  Status Quo

Namun Harari tidak hanya menyodorkan potensi masa depan yang suram pasca coronavirus dalam artikel panjangnya. Harari menawarkan jalan keluar jangka pendek terhadap situasi pandemi yang terus memburuk saat ini. “Kita butuh rencana global,” kata Harari. Setiap negara harus berbagi informasi secara terbuka, halnya kerjasama dalam memproduksi dan mendistrbusi peralatan medis. Umat manusia perlu membuat pilihan. Apakah akan memilih jalan perpecahan atau memilih mengadopsi jalan solidaritas global?”.

Sialnya di tengah ajakan solidaritas global dengan strategi kerjasama global, di Indonesia kita memilih langkah perpecahan. Masing-masing pemimpin di daerah merasa lebih paham dan mampu mengatasi sendiri penyebaran wabah tanpa merasa tergantung pada daerah lain. Strategi yang dalam pandangan Harari tidak hanya membuat krisis makin panjang tapi juga berpotensi menimbulkan bencana yang lebih buruk di masa depan. (RT)