Di Lahan Eks Kebun Binatang, Jeruk Makan Jeruk?

Jeruk makan Jeruk

Keluhan masyarakat terkait dugaan kepemihakan Badan Pertanahan terhadap kekuasaan dan pemilik kapital dalam sengketa pertanahan secara telanjang bisa dilihat pada konflik pertanahan antara ahli waris M. Said pemegang Sertifikat Hak Milik (SHM) 1984 yang diwakili Ernawati Yohanis (EY) sebagai kuasa mengurus dengan PT Phinisi Inti Property pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang terbit 2013 dan 2014 dimana nama Wilianto Tanta disebut-sebut tercatat sebagai komisaris.

Dari berbagai sumber diketahui keberadaan PT Phinisi Inti Property di atas lahan eks Kebun Binatang hasil peralihan hak dari Alm. Latief Makka yang dimenangkan pengadilan ketika berperkara dengan pihak lain yakni, Balobo daeng Ugi atau adik perempuan Jenderal Hertasning serta Drs. Arifuddin Donggeng, anak dari Bupati Takalar pertama Donggeng. Hanya saja dalam gugatan perdata tersebut ahli waris pemilik SHM 4212 atas nama M. Said tidak dilibatkan dalam gugatan sehingga otomatis keberadaan SHM 4212 tidak tidak bisa dikesampingkan. Apa lagi dasar hukum klaim kepemilikan pihak yang bersengketa bukan sertifikat.

TERKAIT:  Saat Kepala Daerah Terjebak Korupsi Wakilnya di Mana?

Merasa memenangkan perkara Alm. Latief Makka lantas mengajukan permohonan pensertifikatan di BPN Makassar yang direspon dengan penjelasan resmi kalau di atas lahan yang dimohonkan terdapat Sertifikat 4212 atas nama M. Said dengan luas 5,9 hektar. Jawaban resmi BPN di Tahun 2000 tersebut copy-nya beredar di publik. Namun belakanh diperoleh informasi kalau di Tahun 2013 dan 14 terbit SHGB atas nama PT Phinisi Inti Property.

Melihat situasi ini publik lantas bertanya, mengapa permohonan persertifikatan eks Kebun Binatang oleh Alm. Latief Makka ditolak sementara SHGB atas nama PT Phinisi Inti Property muncul kemudian. Halnya dengan penolakan BPN untuk sekedar menjawab permintaan resmi EY sebagai pemegang kuasa pengurusan sertifikat mengenai keberadaan SHM 4212 atas nama M. Said.

TERKAIT:  Nasib Petani & Retorika Politik

Prilaku Badan Pertanahan ini yang melanggar prinsip “Equality before the law” dalam arti tidak membuka atau memberi akses yang sama terhadap setiap orang dalam pengurusan sertifikat. Menolak rakyat kecil untuk sekedar mengetahui status sertifikat miliknya pada saat yang sama memberi kemudahan pemilik kapital bahkan diduga dengan cara melanggar hukum bukan saja tidak profesional tapi seharusnya dipermasalahkan oleh aparat penegak hukum.

Diamnya aparat penegak hukum terhadap dugaan penyimpangan prilaku oknum aparat BPN makin menegaskan kecurigaan publik terhadap posisi Badan Pertanahan yang lebih sering memosisikan diri sebagai perpanjangan tangan pemilik kapital dibanding tugas utamanya sebagai birokrasi negara, tepatnya pelayan publik yang seharus bersikap netral sebagai pemegang otoritas di bidang administrasi pertanahan.

TERKAIT:  Pengunduran Diri Hotman, Pelajaran Penting Bagi IDI

Kecurigaan publik makin mengental ketika mengetahui Yan Septedyas, S.T., S.H. Kepala BPN Kota Makassar kalah itu turun langsung melaporkan dugaan pemalsuan Sertifikat 4212 yang terbit 1984 milik ahli waris M. Said yang merupakan produk lembaganya sendiri.