Pasca debat kemarin serangan terhadap Gibran Rakabuming Raka masih terus berlanjut, dari serangan balik Co-Captain Timnas Amin, Thomas Lembong soal Tesla hingga Mahfud MD yg tak kunjung move-on akibat tingkah nakal Gibran menguji wawasannya soal isu lingkungan.
Dibalik kritik dan serangan balik terhadap Gibran menunjukkan kelas Gibran melesat jauh dan dipandang setara dengan para capres karena serangan yang sama, salah data atau salah informasi.
Sejak debat pertama Gibran tidak lagi diposisikan sebagai anak bodoh yang bahkan tak bisa membedakan asam folat dengan asam sulfat sebagaimana sebelumnya.
Sebaliknya Mahfud justru mengalami degradasi ke level setara dengan Gibran di tahap awal dimana Mahfud tidak bisa membedakan antara green economy dengan greenflation yang merupakan kosa kata lingkungan yang diakrabi kaum milenial.
Jawaban Mahfud memunculkan kesan bagi milenial terdidik serta merek yang terlibat dengan isu lingkungan sebagai orang yang maaf, “buta aksara” dengan kosa kata lingkungan hari ini.
Pernyataan yang berulang-ulang disampaikan Rocky Gerung di banyak kesempatan untuk meledek Presiden Jokowi adalah, kira-kira apa ya jawaban Presiden Jokowi kalau ditanya kaum milenial, “Mr. Presiden, do you speak environmentalism?”
Dan pertanyaan Rocky itu debat kemarin ditanyakan ulang Gibran ke Mahfud MD mewakili milenial; Mr Mahfud, do you speak greenflation?
Mengapa pertanyaan Gibran membuat Mahfud tak bisa move on tak dipermasalahkan sekeras orang-orang mempermasalahkan sikap Anies terhadap Prabowo soal etika.
Pertama, Gibran melakukan semacam pembelaan diri lewat pembuktian terbalik kalau dirinya bukan hanya tak sebodoh yang dituduhkan penyerangnya selama ini melainkan lebih cerdas bahkan dibanding seorang profesor sekelas Mahfud MD jika menyangkut isu lingkungan.
Gibran membanting Mahfud terlalu keras seperti ketika Rocky Gerung “menghabisi” seorang guru besar dengan menyindirnya berotak kecil.
Kedua, Gibran hanya sedikit berlebihan, kalau sekadar ingin menunjukkan kalau dirinya tidak bodoh sebenarnya stigma yang dilekatkan itu sudah raib sejak debat pertama.
Sikap sedikit berlebihan Gibran hanya butuh sedikit dipahami terutama para orang tua. Di usia yang tak lagi muda sebaiknya memang kita mengurangi konsumsi karbo. Gibran kelewat banyak menuang gula ke cangkir teh Mahfud.
Ketiga, karena Gibran tak memiliki utang budi pada Mahfud sebagaimana Anies terhadap Prabowo. Publik dengan enteng mengatakan itulah risiko debat terbuka yang bak pertarungan di atas ring tinju dimana moment menjatuhkan lawan secara dramatis dianggap prestasi terbaik.
Fenomena Gibran menjadi peringatan keras bagi mereka yang menyandang gelar guru besar dan para pengambil keputusan agar maaf, tak “buta aksara” dengan isu lingkungan.