Saat saya SMA kelas 1 seorang perempuan bule datang ke kampung, sepertinya sedang melakukan riset. Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata berulangkali mengajak saya ngobrol macam-macam hal dan saat pamit dia memberi saya kaos berwarna dasar hijau muda bertuliskan “save the earth now” seluruhnya menggunakan huruf kecil dengan warna putih mencolok, sejajar dengan otot deltoideus.
Pada momen tertentu saat orang-orang banyak berkumpul saya dengan bangga memamerkan kaos tersebut layaknya aktivis lingkungan dengan agenda besar penyelamatan bumi.
Hingga puluhan tahun kemudian saya sering tanpa sadar merasa perlu bertindak menyelamatkan bumi dari ancaman kehancuran akibat ulah manusia dengan ikut mengkampanyekan penyelamatan bumi, salah satunya lewat anjuran menanam pohon.
Sejak kapan menanam pohon bisa menyelamatkan bumi, pikir saya suatu ketika. Sejak kapan muncul anggapan kalau bumi akan hancur karena ulah manusia?
Apa justru bukan sebaliknya, manusia sendiri yang akan punah di atas bumi jika terus-terusan melawan hukum bumi.
Bumi sudah ada jutaan tahun sebelum manusia hadir dan akan tetap ada setelah manusia punah. Bumi punya mekanisme memulihkan diri dari eksploitasi manusia dengan berbagai cara, lewat pandemi covid atau dengan sedikit menghentakkan tubuhnya beban di pundaknya akan terlepas.
Sepakat atau tidak bumi akan melakukan pergeseran rutin dalam kurung waktu tertentu tanpa manusia mampu mencegahnya. Sesar Palu Koro akan bergerak tanpa meminta persetujuan manusia dan menghancurkan apa saja yang bertengger di atasnya.
Bumi akan berubah menjadi wajan raksasa yang akan menggoreng semua mahluk jika manusia tak berhenti berulah sehingga menyebabkan suhu bumi terus memburuk dan tak terkendali.
Agar terbebas dari ancaman likuifaksi manusia hanya perlu menghindar dari zona rawan bencana. Dengan bantuan ilmu pengetahuan serta pengalaman panjang hidup di atas bumi manusia mampu memetakan dengan baik apa yang boleh serta pantas dilakukan terhadap bumi jika spesiesnya tetap ingin beranak pinak di atasnya. Meyakini kalau zona sepanjang jalur sesar Palu Koro merupakan wilayah kekuasaan dedemit yang akan mengamuk dan menciptakan bencana bila dieksploitasi manusia jauh lebih bijak serta efektif menghindari bencana tinimbang berpegang teguh pada keyakinan teologis bahwa manusia adalah khalifah di atas bumi dan atas dasar itu zona bencana boleh dieksploitasi.
Untuk terbebas dari ancaman banjir di Luwu serta tanah longsor di Toraja pemerintah tidak perlu capek-capek memobilisir seluruh stakeholder mengkampanyekan menanam pohon di Hari Bumi karena tidak memiliki kaitan signifikan dengan longsor dan banjir bandang yang menyebabkan sungai meluap melainkan cukup dengan menerbitkan regulasi serta memperketat larangan mengalifungsikan daerah resapan sekaligus menertibkan semua aktivitas manusia sepanjang jalur sungai dari hulu di pegunungan hingga hilir yang bermuara ke laut.
Pemimpin yang tak mengerti permasalahan dan tak punya gagasan serta terbiasa ikut-ikutan hanya bisa melihat setiap momentum sebagai ajang selebrasi. Mendengar isu Hari Bumi lalu sibuk konferensi pers mencanangkan penanaman pohon dan seterusnya. Setelah itu senyap lalu kembali sibuk konferensi pers soal pembangunan pabrik baru, pembangunan stadion, jalan, jembatan serta infrastruktur yang menelan zona merah yang sudah ratusan tahun berfungsi sebagai wilayah resapan.
Pemimpin boleh datang dari pelosok paling terpencil dengan merangkak dari kelas paling gembel atau berlatar peternak kura-kura, petani pisang Cavendish atau mungkin meniti karir sebagai supir truk lalu berhasil membangun kerajaan bisnisnya bukan syarat menjadi pemimpin yang punya gagasan genuine. Pemimpin tidak otomatis lahir dari sekolah yang didirikan khusus untuk mendidik dan melahirkan pemimpin namun faktanya justru melembagakan kekerasan.
Selama jenis vertebrata dengan jumlah dopamin lebih besar di otaknya ini tak menyadari kalau dirinya hanya pendatang di muka bumi dan tak lebih mulia dari seekor kadal gurun maka akan tetap merasa pongah sebagai khalifah yang sok jago dari hewan lain, cepat atau lambat hanya akan mengantar spesiesnya menghilang di permukaan bumi.
Konsep antroposentrisme dimana manusia menempatkan diri sebagai spesies terpenting di muka bumi dengan gelar mentereng Khalifah fil Ardhi yang diterjemahkan secara harfiah sebagai penguasa atau pengatur di muka bumi. Antroposentrisme yang sekian lama mendominasi paradigma pembangunan yang jejaknya misalnya bisa dilihat pada aktivitas tahunan berupa kegiatan menanam pohon di Hari Bumi sebagai bentuk komitmen pada pembangunan secara berkelanjutan. Pada level mondial agenda serupa dikemas apik dengan nama Sustainable Development Goals (SDGs) dan merupakan bentuk komitmen global dan nasional dalam upaya menyejahtrakan masyarakat yang sejatinya hanya lip service untuk menunjukkan komitmen palsu negara maju demi melindungi kepentingan industrinya yang bahan bakunya berada di negara berkembang.
Landasan filosofis pembangunan berkelanjutan ini pada dasarnya bersifat instrumentalis terhadap alam. Jadi alam dilihat sebatas instrumen bagi kehidupan manusia dan bersifat antroposentrisme atau berpusat pada manusia yang justru menjadi penyebab berbagai permasalahan ekologi di muka bumi.
Upaya menggeser paradigma dari antroposentrisme ke ecosentrisme berlangsung riuh di era 70-an. Ecosentrisme secara teoritis tidak hanya berhasil meletakkan secara setara antara manusia dengan organisme lain tetapi juga terhadap entitas non organik seperti gunung, sungai, laut, pohon atau jambu biji sebagai bagian tak terpisahkan dalam suatu ekosistem. Paradigma ini kemudian dikenal luas sebagai Deep Ecology atau Ekologi Dalam yang melihat seluruh entitas itu sebagai satu kesatuan dalam ekosistem yang seluruh bagiannya dipandang setara. Tindakan tidak etis terhadap gunung atau laut maupun sungai dipandang setara dengan tindakan tidak etis terhadap manusia itu sendiri. Lingkungan tidak lagi diposisikan sebagai obyek eksploitasi melainkan merupakan subyek yang setara dengan manusia. Dari sini gagasan lingkungan sebagai subyek hukum berawal.
Di bawah payung Deep Ecology sejumlah pemikir radikal berhasil mendekonstruksi hak istimewa manusia dengan tidak lagi menempatkannya sebagai pusat di muka bumi melainkan sejajar atau setara dengan cacing tanah. Di tanah air isu ini belakangan secara aktif disuarakan ke ruang publik oleh Rocky Gerung dengan menyebutnya sebagai pendekatan environmental ethics.
Adalah Arne Naess pencetus Deep Ekology atau Bapak Ekologi Dalam menawarkan gagasan baru dengan terlebih dahulu mengeritik pandangan yang melihat alam sekadar instrumen untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai paradigma Ekologi Dangkal yang berbasis pada nilai Antroposentrime. Sebaliknya menurut Naess, Deep Ecology menganut paradigma Egalitarianisme Biosfer serta prinsip keanekaragaman dan simbiosis.
Bertolak dari pemahaman itu, Naess menyimpulkan bahwa alam itu hidup, luhur, baik, suci, kreatif, inklusif, sempurna dan bernilai pada dirinya serta patut menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.
Pandangan Deep Ecology ini kemudian merambah ke seluruh aspek. Paus Fransiskus telah mengeluarkan Ensiklik Laudato Si sebuah ensiklik apostolik pertama yang membicarakan tentang ibu bumi sebagai rumah bersama. Lewat pertobatan ekologis sebagaimana tertuang dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus mengajak semua orang terlibat berbuat untuk kepentingan ibu bumi. Istilah pertaubatan ekologis ini mengingatkan kita ungkapan tobat ekologis yang disampaikan Cak Imin atau Gus Muhaimin dalam debat wapres dengan tema lingkungan beberapa waktu lalu.
Penolakan terhadap antroposentrisme juga datang dari Seyyed Hossein Nasr, pemikir islam kelahiran Taheran, Iran yang berkesimpulan bahwa untuk dapat menciptakan perdamaian dan harmoni dengan alam, manusia harus bersedia hidup harmoni dan selaras dengan langit, dengan sumber dan asal-usul segala mahluk. Inilah yang dimaksud Seyyed Hossein Nasr dengan menumbuhkan spiritualitas dalam diri manusia dengan mengikuti gerak alam.
Spritualitas yang dimaksud Nasr adalah kerendahan hati untuk mengakui dimensi spiritual alam yang akan membawa manusia menyelam ke dalam iman filosofis teologis agar bisa melahirkan manusia spiritual ekologis dalam tatanan alam dunia yang terus berevolusi.
Sayangnya upaya yang dirintis Nasr tidak banyak mendapat perhatian dan ekplorasi lanjut oleh para cendekiawan muslim Indonesia yang lebih memilih mengkonsumsi pandangan siap saji dari para pemikir kritis penganut mazhab deep ecology yang kemungkinan masih sulit diterima ummat islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafii.