Pasca menuai kritik tajam berbagai pihak karena menganggap IKA Unhas sebagai organisasi, “Setingkat di atas kelompok arisan” JK akhirnya dapat sokongan dari Ilham Paulangi, intelektual publik, mantan aktivis kampus dan NGO yang juga alumni Unhas. Melalui catatan fb yang ditulis beberapa hari lalu, Ilham berusaha menerjemahkan maksud dari narasi “setingkat di atas kelompok arisan” yang disematkan JK terhadap IKA. Bagi Ilham kemampuan naratif yang dimiliki JK merupakan endapan pengalaman panjang sebagai organisatoris, politisi dan juga pengusaha.
Dengan mengutip rumusan Robert Putnam mengenai social capital yang meliputi jaringan, nilai dan trust, Ilham berusaha melegitimasi narasi “Setingkat di atas kelompok arisan” dalam bingkai akademik. Ilham memuji pilihan narasi yang digunakan JK untuk menggambarkan eksistensi IKA yang menurutnya mampu menghindarkan IKA terjebak sebagai arena pertarungan kepentingan halnya organisasi politik atau kelompok kepentingan. Sayangnya Ilham tidak menjelaskan kaitan antara kritik tajam terhadap kinerja JK selama puluhan tahun menjadi nahkoda IKA yang disorotinya dengan eksistensi IKA sebagai social capital. Kritik keras terhadap tata kelola IKA yang amburadul dan tertutup sama sekali tidak bermaksud menegasikan potensi IKA sebagai social capital.
Problemnya adalah bagaimana IKA bisa menjadi social capital yang kokoh tanpa trust? Bagaimana mungkin trust terbangun dari mekanisme tata kelola yang bersifat oligarkis, tertutup dan tidak partisipatoris?
Penggunaan idiom budaya (baca: kelompok arisan) dalam menggambarkan serta merumuskan eksistensi IKA oleh JK menurut Ilham dilakukan dengan sadar, soal ini saya sepakat. Namun di sini pula letak titik krusialnya ketika kelompok arisan sebagai idiom budaya yang prinsipnya mengedepankan gotong royong serta kekeluargaan dimanfaatkan sebagai dasar legitimasi tata kelola organisasi.
Menganalogikan IKA sebagai kelompok arisan menggiring kesadaran publik pada kesimpulan kalau segala keputusan organisasi ditentukan oleh kepala keluarga atau yang dituakan dan tidak boleh didebat. Halnya dengan performa organisasi yang buruk akibat kesalahan tata kelola harus bisa dimaafkan karena menyangkut urusan internal keluarga. Masalah ini jauh lebih fatal dari apa yang dicemaskan Ilham akan bahaya transaksional manakalah IKA dikelola bak korporasi atau institusi politik yang sarat kepentingan.
Menganggap IKA selama ini sebagai organisasi yang apolitis rasanya naif mengingat posisi Ketua Umum IKA secara politis sangat strategis. Ketua IKA selaku ex officio mengontrol satu suara dalam hiruk pikuk Pemilihan Rektor merupakan bukti paling telanjang betapa seksinya IKA secara politis. Belum lagi posisi strategis Ketua IKA dalam percaturan politik nasional sebagai representasi puluhan ribu alumni terdidik dari universitas terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Fakta ini yang menjelaskan mengapa energi elit politik ikut tersedot dalam pusaran Mubes IKA dengan agenda utama memilih Ketua Umum.
Upaya tetap mempertahankan sistem tata kelola IKA sebagai kelompok arisan bisa pula dibaca melalui perspektif ini. Strategi ini memiliki kesamaan pola dengan prilaku elit orde baru yang memanfaatkan gagasan negara integralistik (kekeluargaan) yang diperkenalkan Soepomo dalam mengoperasikan kekuasaan.
Menurut Michel Foucault kekuasaan tidak beroperasi melalui aparatus yang koersif, menekan serta menindas. Sebaliknya kekuasaan beroperasi dalam senyap sehingga tidak disadari dan dirasakan sebagai praktik kekuasaan yang mengendalikan tubuh. Kekuasaan dioperasikan sehari-hari lewat wacana atau diskursus sehingga diterima sebagai sesuatu yang normal atau wajar, hal ini yang oleh Foucault disebut normalisasi. Dari sini bisa dipahami bagaimana narasi ‘kelompok arisan’ dimanfaatkan sebagai legitimasi tradisional dengan tujuan mendikte kesadaran publik bahwa IKA Unhas hanya setingkat di atas kelompok arisan dan karena itu dikelola layaknya kelompok arisan.
Dengan menganalogikan IKA sebagai kelompok arisan maka otomatis mekanisme pemilihan ketua serta pengurus hingga pertanggungjawaban mengikuti pola kelompok arisan sehingga terhindar dari pertanggungjawaban profesional yang bersifat publik. Perspektif ini yang akan menjelaskan mengapa pertanggungjawaban pengurus IKA di bawah rezim kelompok arisan ini diprediksi “terbebas” dari pertanggungjawaban pada Mubes IKA kelak.
Mubes IKA yang akan berlangsung 4 hingga 6 Maret mendatang seharusnya menjadi momentum merumuskan ulang visi IKA sebagai organisasi dengan manajemen terbuka, partisipatoris serta akuntabel.
Ke depan IKA akan dihadang berbagai permasalahan yang makin kompleks yang tidak mungkin mampu direspon dengan model paradigma kelompok arisan. Suka atau tidak IKA dituntut dikelola secara profesional dan bertanggung-jawab. Sebagai bagian yang integral dengan universitas yang memayunginya, IKA akan memainkan peran sebagai mitra strategis Unhas agar tetap bisa eksis di bawah rezim PTN BH.
Tanpa tata kelola yang baik dan tanpa dukungan maksimal dari alumni, IKA tidak akan memiliki posisi tawar yang kuat terutama dalam menempatkan alumninya pada posisi strategis pemerintahan serta lembaga prestisius lainnya sebagaimana impian umumnya alumni.
Namun pencapaian alumni menempati posisi strategis tertentu dipandang tidak cukup tanpa korelasi signifikan terhadap peningkatan kualitas alumni, terutama performa IKA sendiri. Sebab sejatinya IKA Unhas adalah cerminan wajah Unhas yang sesungguhnya.
Selamat bermubes dengan riang gembira, jangan lupa tetap kritis.